Menuju konten utama
Mozaik

Setelah Runtuh, Majapahit Eksodus ke Bali dan Jawa Tengah

Saat Kerajaan Majapahit runtuh, tidak semua warga dan petingginya lari ke Bali, sebagian justru ke Jawa Tengah, mendekati kekuatan baru: Kerajaan Demak.

Setelah Runtuh, Majapahit Eksodus ke Bali dan Jawa Tengah
HEADER MOZAIK Migrasi Majapahit ke Jawa Tengah. tirto.id/Tino

tirto.id - Artikel sebelumnya

Bagian 1: Sailendra dan Prasasti Melayu Kuno di Tanah Jawa

Bagian 2: Ekspansi Kerajaan Mataram Kuno ke Timur di Era Dyah Balitung

Bagian 3: Bencana Ekonomi Membuat Kerajaan Mataram Kuno Berpindah ke Timur

Bagian 4: Lasem: Pelabuhan Majapahit yang Terlupakan

Abad ke-15 bagi para sejarawan kuno sering kali dijadikan sebagai era senjakala Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Secara historis, titik balik peradaban itu ditandai dengan peristiwa mangkatnya Hayam Wuruk dan dilanjutkan dengan meletusnya Perang Paregreg.

Hasan Djafar dalam buku Masa Akhir Majapahit: Girindrawarddhana dan Masalahnya membantah keras bahwa aspek utama yang menghantam eksistensi Majapahit adalah Kerajaan Islam Demak. Baginya, konflik internal yang berlarut-larut—sehingga seakan-akan lebih mirip tradisi bermusuhan lantaran diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya—telah menyebabkan Majapahit hancur berkeping-keping.

Majapahit di muara sejarahnya menghadapi bentrokan hebat setelah raja vasal di Kediri memulai pemberontakan yang amat destruktif, sampai ibu kota Wilwatikta (Majapahit) runtuh.

Apa yang terjadi kemudian? Apakah Majapahit benar-benar sirna ilang kertaning bhumi seperti dinarasikan Serat Kanda dan Babad Tanah Jawi? Mungkinkah negeri semegah Majapahit musnah dalam beberapa dasawarsa?

Walau jawaban akan pertanyaan ini mungkin muskil untuk tidak ambigu, yang jelas jejak-jejak akhir Majapahit di Jawa tidak benar-benar "menghilang". Setidaknya hal itulah yang terlihat dalam beberapa situs arkeologi di Jawa Tengah bagian timur.

Beberapa tinggalan kepurbakalaan dari akhir tarikh Majapahit bertetangga dengan tinggalan-tinggalan periode Sailendra. Monumen-monumen Wilwatikta itu membentang dari Gunung Lawu di selatan hingga Gunung Muria di utara.

Skema Lama: Eksodus ke Timur

Dulu, para sejarawan maupun orientalis Belanda percaya bahwa para pelarian Majapahit bergerak ke arah timur Jawa hingga menyebrang ke Pulau Bali. Hal itu terkesan masuk akal karena peristiwa eksodus tersebut tergambar dalam sejumlah babad yang ditulis di Bali.

Agus Aris Munandar dalam disertasinya Palebahan: Upaya Pemberian Makna pada Puri Bali abad 14-19 M (1999), menulis bahwa salah satu kasus paling ikonik dalam menggambarkan peristiwa eksodus itu adalah cerita Danghyang Nirartha yang legendaris. Sosok pendeta yang dinarasikan datang dari Majapahit ini diduga pindah ke Bali sekitar tahun 1550-an. Ia disebut-sebut sebagai resi kenamaan yang pernah berguru di Candi Penataran, Blitar, yang kemudian berpindah ke Pasuruan dan juga Blambangan (Banyuwangi).

Dengan alasan yang kurang jelas—menurut satu versi babad dituduh menggoda istri Raja Blambangan—ia pindah ke Bali dan diterima dengan baik oleh Raja Gelgel, Dalem Waturenggong. Di sana ia menjadi pendeta yang amat berpengaruh karena dijadikan semacam guru spiritual bagi sang raja.

Waturenggong meminta agar ditahbiskan oleh sang pendeta setelah menaklukan Pulau Sumbawa, Lombok, juga daerah tapal kuda di Jawa Timur. Dalam babad, ritual ini disebut 'diniksa', atau dengan kata lain ritual yang secara simbolis menandakan kelahiran kembali sang raja.

Di luar kisah Danghyang Nirartha dan popularitasnya di kalangan umat Hindu Bali, keberadaannya seakan menunjukkan bukti bahwa para cendekiawan Majapahit banyak yang melarikan diri ke arah Bali. Skema pelarian ke timur ini juga menegaskan posisi Bali sebagai penerus tradisi religio-kultural Majapahit dengan lestarinya eksistensi naskah-naskah warisan Majapahit di sana, seperti Nagarakrtagama (walau ditemukan di Lombok, sebenarnya tetap berasal dari Bali), Pararaton, dan Sutasoma.

Munandar menunjukkan gejala eksodus kebudayaan Majapahit ke Bali pada penataan pola tiga nista-madya-utama atau jaba-madya-jero pada kasus puri dan pura di Bali. Pola ini bagi Munandar merupakan bentuk modifikasi konsep triloka dari era Jawa Tengahan (abad ke-8 M sampai 10 M).

Bedanya, jika pada periode sebelumnya penataan ruang berdasarkan konsep kosmologi Hindu-Buddha ini disusun secara vertikal (dalam bentuk bangunan), maka pada periode Majapahit susunannya dibuat horizontal, seperti Candi Penataran yang terdiri atas tiga teras.

Saatnya Melihat ke Barat

Seperti disinggung sebelumnya, jejak Majapahit tidak sepenuhnya tersisa di timur Jawa Timur. Sebagian temuan Majapahit era akhir juga ditemukan di wilayah barat Jawa Timur, dan bahkan menyeberang ke wilayah Jawa Tengah. Namun, jejak yang ditinggalkan Majapahit di barat "agak" berlainan dengan apa yang muncul dan berkembang di Bali.

Dari segi bentuk fisiknya, beberapa tinggalan arkeologi di wilayah Jawa Tengah justru menunjukan gejala "revivalisme" kebudayaan asli Nusantara, dengan kata lain berarti kebudayaan megalitik.

Kasus paling terkemuka akan hal ini misalnya terjadi di Gunung Lawu, yang tinggalan Majapahit-nya secara paralel dihubung-hubungkan dengan yang ada di Gunung Wilis dan Penanggungan di Jawa Timur.

Bangunan peribadatan khas karesian atau katyagan Majapahit terlihat jelas pada situs Candi Sukuh dan Candi Cetho—belum termasuk punden berundak yang sukar dihitung jumlahnya di jalur pendakian Hargo Dumilah, di mana tema keagamaannya terikat dengan dunia ruwat yang memang digandrungi para pujangga Majapahit akhir.

Secara historiografis, penanggalan pasti tinggalan-tinggalan Majapahit itu pernah dikaji oleh Bachtiar Agung Nugraha dalam Prasasti-Prasasti Candi Sukuh: Suatu Tinjauan Aksara dan Bahasa (2012), yang menyebut secara paleografi bentuk aksara pada inskripsi-inskripsi di Candi Sukuh berkesesuaian dengan pakem tradisi karesian di Jawa Timur.

Tidak mengherankan, bahwa pada masa yang kurang lebih bersamaan, tumbuh produktif beberapa skriptorium penerus tradisi literasi Majapahit di Jawa Tengah, yakni Merapi-Merbabu (termasuk Gunung Ungaran). Berbeda dengan Gunung Lawu yang kekurangan keterangan historis pembanding, Gunung Merapi-Merbabu sebagai suatu petapaan disebut secara rinci dalam naskah Bujangga Manik dari abad ke-15 yang dibuat edisinya oleh J. Noorduyn dan A. Teeuw (2009).

Menurut Bujangga Manik, di Gunung Damalung (nama lama Merbabu) banyak ditinggali oleh orang-orang bijak Majapahit. Di sana ia sempat berguru pada orang-orang bijak itu dan mempelajari kesusastraan Jawa layaknya saat ia tinggal di Candi Penataran di Blitar.

Garin D. Pharmasetiawan dan Agus Aris Munandar dalam penelitiannya mengenai kolam kuno yang berjudul "Liminalitas Air: Pola Persebaran Patirthān di Sisi Utara hingga Tenggara Gunung Ungaran" (2023) menunjukkan suatu fenomena yang menarik di Gunung Ungaran, Kab. Semarang. Di satu kolam kuno bernama Promasan, yang terletak di sekitar lereng timur Ungaran, terdapat indikasi bahwa situs tersebut pernah digunakan sejak zaman Mataram Kuno hingga zaman Majapahit.

Artinya, dari indikasi itu masyarakat masa Majapahit rupanya tetap mengenali benda-benda leluhurnya dan terus memanfaatkannya hingga periode akhir Hindu-Buddha. Selain itu, kedudukan benda tersebut yang berada di Semarang, menunjukkan bahwa masyarakat Hindu-Buddha tidak pernah benar-benar lari dari kekuatan Islam. Karena toh mereka tinggal tidak jauh dari pusat politik kerajaan tauhid itu, yakni Demak.

Baca juga artikel terkait SEJARAH MAJAPAHIT atau tulisan lainnya dari Muhamad Alnoza

tirto.id - News
Kontributor: Muhamad Alnoza
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Irfan Teguh Pribadi