Menuju konten utama
Mozaik

Tidak Ada Matahari Kembar di Selat Bali

Pasang surut hubungan dan persaingan Jawa dengan Bali dipungkas oleh serangan Majapahit yang menyebabkan runtuhnya Kerajaan Bali Kuno selama-lamanya.

Tidak Ada Matahari Kembar di Selat Bali
Header Mozaik Perseteruan Jawa vs Bali. tirto.id/Fuad

tirto.id - Sejak abad ke-9 Masehi, Kerajaan Bali sudah eksis. Pada beberapa periode berikutnya, mereka senantiasa menjadi bayang-bayang politik bagi sejumlah dinasti di Jawa.

Bali yang berada di sebelah timur Pulau Jawa, seakan-akan luka di kelopak mata raja-raja Jawa. Mereka menganggap raja-raja Bali sebagai saingan ekonomi-politik atas Indonesia Timur.

Hal ini paling tidak, berkaitan dengan apa yang disampaikan oleh B.J.O. Schrieke dalam Kajian Historis Sosiologis Masyarakat Indonesia Jilid II (2016).

Schrieke berteori bahwa kebiasaan raja-raja Jawa Kuno yang hobi membangun candi, telah mendorong degradasi ekonomi masyarakat Jawa secara drastis.

Aspek kekurangan dana dan sumber daya manusia jadi biang kerok, sehingga memaksa raja-raja Jawa untuk mencari peluang ekonomi via perdagangan maritim.

Arus komoditas rempah dari Indonesia Timur yang melintasi pantai utara Jawa ke area Selat Malaka menjadi pilihan yang menarik, sehingga sejak abad ke-11 Jawa bagian timur mulai dilirik oleh penguasa Jawa yang awalnya berkedudukan di Jawa bagian tengah.

Bersamaan dengan dibukanya pelabuhan-pelabuhan dagang, para raja Jawa sadar betul bahwa Bali adalah batu sandungan dari perdagangan maritim yang sedang mereka bangun.

Pernikahan Politik

Persentuhan perpolitikan monarki di Jawa dan di Bali paling awal terjadi saat Dinasti Śailendra mulai merambah wilayah timur Pulau Jawa.

Rakai Watukura Dyah Balitung yang menerbitkan Prasasti Kubu Kubu pada 827 Śaka (905 M) memberikan beberapa keterangan yang menjadi tengara akan keterhubungan Jawa dan Bali secara politis di masa lalu.

Menurut Galih Abi Khakam dalam skripsinya Prasasti Kubu Kubu 827 Śaka: Tinjauan Ulang (2014), prasasti ini menjadi bukti invasi Balitung yang pusat pemerintahannya di Jawa bagian tengah ke wilayah Jawa bagian timur.

Di tengah agenda invasi itu, disebutkan pula nama "Bantan" sebagai salah satu sasaran serangan Balitung. Kata ini memiliki kesamaan arti dengan "Bali"--dalam khazanah Jawa Kuno sama-sama berarti "persembahan".

Sayangnya berita yang tertulis di era Balitung itu tidak menjelaskan apakah penyerangan tersebut berhasil menaklukkan Bali atau tidak.

Persentuhan Jawa dan Bali makin tinggi eskalasinya pada periode berkuasanya Dinasti Iśyana yang didirikan oleh Raja Sindok pada abad ke-10. Di periode ini Jawa bagian timur telah berkembang menjadi pusat politik, sosial, dan ekonomi kerajaan di Jawa. Artinya, kepentingan raja-raja Jawa dan Bali kian beririsan.

Bukti paling otentik aktivitas politik bilateral dua kerajaan di timur dan barat Selat Bali ini adalah Prasasti Pucangan berbahasa Sansekerta (959 Ś/1037 M).

Sebagaimana disebut oleh Vernika H. Witasari dalam Prasasti Pucangan Sansekerta: Suatu Kajian Ulang (2009), Raja Airlangga telah membuat satu keterangan yang amat jelas ihwal bagaimana ia lahir dari keluarga campuran Jawa dan Bali.

Disebutkan bahwa Airlangga dilahirkan dari rahim putri Jawa bernama Mahendradatta Gunapriyadharmmapatni, sedangkan ayahnya adalah Raja Udayana yang berkuasa di Bali atas naungan bendera Dinasti Warmadewa.

Jelas kiranya, Airlangga dan manuver politiknya di Jawa pun sebenarnya juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari agenda pernikahan politik Dinasti Iśyana dan Dinasti Warmadewa.

Taktik Kbo Parud dan Serangan Gajah Mada

Pernikahan aliansi antara Dinasti Iśyana di Jawa dan Dinasti Warmadewa di Bali kemudian mengalami pergolakan. Pasalnya, rezim di Jawa berubah ketika Kerajaan Kãdiri harus menghadapi pemberontakan melawan Tumapel.

Pemberontakan yang menghantarkan Kādiri pada kejatuhannya dan membidani lahirnya Kerajaan Singhasari itu menjadi awal titik didih hubungan Jawa-Bali pada abad ke-13.

Gong pecahnya konflik terbuka Jawa-Bali baru berlangsung di masa pemerintahan Raja Kertanegara. Gesekan yang terjadi antara Kerajaan Singhasari dengan Kerajaan Bali merupakan buah dari cita-cita penyatuan “Dwipantara” yang digaungkan oleh Kertanegara pasca konfrontasi dengan Dinasti Yuan.

Bali yang menjadi "pintu belakang" Pulau Jawa, bagi Kertanegara harus diamankan terlebih dahulu demi berjaga-jaga akan kemungkinan perang besar melawan bangsa Mongol.

Di sisi lain, raja-raja Bali yang sejak lama menjadi kerabat dekat Kerajaan Kãdiri, juga dianggap Kertanegara sebagai ancaman yang kapan saja bisa mengganggu keamanan cita-cita besar Singhasari.

Sesuai dengan keterangan Kakawin Nāgarakṛtâgama yang ditransliterasikan oleh T.G.T. Pigeaud (1960), ekspedisi armada Singhasari ke Bali terjadi sekitar tahun 1206 Śaka (1284 M). Ekspedisi ini disebut-sebut berhasil meluluhlantakkan Bali, karena akhirnya raja Bali ditangkap dan dibawa menghadap Kertanegara ke Tumapel.

Sebagai gantinya, Kertanegara menempatkan seorang pejabat Jawa bergelar "rajapatih"--dalam bahasa Jawa Kuno kurang lebih bersinonim dengan "gubernur jenderal"--bernama Mahisa Bungalan.

Tokoh ini menjadi penguasa sah Bali di bawah naungan Kerajaan Singhasari. Namun, sosok ini sepertinya tidak lama berkuasa, karena akhirnya Mahisa Bungalan digantikan oleh anaknya yang bernama Kbo Parud.

Sosok ini sebagaimana dilaporkan oleh I Gusti Putu Ekawana dalam "Selembar Prasasti Raja Patih Kbo Parud" (1983), sebagai Gubernur Jenderal Bali yang paling banyak mengeluarkan prasasti.

Taktik politik Kbo Parud bisa dibilang cerdas pada masanya, karena pada periode itu ia sudah memainkan strategi propaganda untuk menggalang legitimasi dari orang-orang Bali.

Mula-mula ia mendesain agar formasi pemerintahannya benar-benar mengikuti birokrasi Kerajaan Bali. Lantas, sebagaimana disebut dalam Prasasti Kintamani, Kbo Parud mendaku diri sebagai perwujudan Wisnu.

Infografik Mozaik Perseteruan Jawa vs Bali

Infografik Mozaik Perseteruan Jawa vs Bali. tirto.id/Fuad

Pemilihan anasir Wisnu sebagai persimbolan dewaraja Kbo Parud bukan tanpa alasan. Apabila diperhatikan kembali keterangan Kakawin Nāgarakṛtâgama, raja-raja Bali Kuno oleh Kerajaan Singhasari dan kemudian Majapahit memang dipandang sebagai "orang-orang yang jahat dan nista" (duśśila nīcchā).

Stigma ini praktis dimanfaatkan oleh Kbo Parud dalam klaimnya sebagai Wisnu, karena dalam mitologi Hindu-Buddha, Wisnu dipercaya sebagai penumpas raksasa dan orang jahat di muka bumi.

Namun, kecerdikan Kbo Parud dalam memerintah Bali ternyata tidak sanggup menghadapi gempuran zaman. Kertanegara rupanya telah dikudeta oleh besannya sendiri, yakni Jayakatwang, dan rezim di Jawa pun bergulir ke periode pemerintahan Majapahit.

Perubahan rezim ini memperlemah koloni Singhasari di Bali, sehingga akhirnya koloni itu diperkirakan binasa karena pemberontakan masyarakat Bali.

Nāgarakṛtâgama mencatat, setelah kehancuran itu muncul kembali Kerajaan Bali yang diperintah oleh orang asli Bali. Urusan dengan Bali, kembali menjadi diskursus geopolitik Jawa setelah Gajah Mada memulai proyek penyatuan Nusantara.

Penyerangan Majapahit ke Bali terjadi sekitar tahun 1343 M yang dipimpin oleh Gajah Mada dan Adityawarman sang Pangeran Malayu.

Menurut Agus Aris Munandar dalam Istana Dewa Pulau Dewata (2005), dalam beberapa sumber historis Bali seperti Kidung Pamancangah dan Babad Arya Kutawaringin, serangan Gajah Mada-Adityawarman itu sangat dahsyat dan menyebabkan runtuhnya Kerajaan Bali Kuno selama-lamanya.

Baca juga artikel terkait MOZAIK atau tulisan lainnya dari Muhamad Alnoza

tirto.id - Politik
Kontributor: Muhamad Alnoza
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Irfan Teguh Pribadi