Menuju konten utama
Mesin Waktu

Arca Harihara dari Simping, Tradisi dan Simbol Politik Dewaraja

Setelah wafat, Raja Kertarajasa di-dharma-kan di Simping dalam figur Harihara. Tengara Tradisi dewaraja yang berkembang di Nusantara Kuno.

Arca Harihara dari Simping, Tradisi dan Simbol Politik Dewaraja
Header Mesin Waktu Arca Harihara. tirto.id/Tino

tirto.id - Rakawi Prapanca dalam kakawin Desawarnana mengisahkan perlawatan Raja Rajasanagara ke daerah yang kini disebut Blitar pada 1283 Saka (1361 Masehi). Raja Majapahit tersebut menghadiri sebuah upacara pemujaan di tempat suci yang kini disebut Candi Penataran.

Usai prosesi upacara, Rajasanagara berkenan untuk tetirah ke Sawentar dan lalu ke Lodaya di pesisir selatan Blitar. Perjalanan Paduka lalu berlanjut ziarah ke sebuah prasada di Simping.

Prasada itu amat berarti bagi Rajasanagara lantara. menjadi tempat pen-dharma-an kakeknya, Raja Kertarajasa Jayawarddhana sang Pendiri Majapahit. Seturut Desawarnana, raja yang juga dikenal sebagai Sanggrama Wijaya itu wafat pada 1231 Saka (1309 Masehi).

Ternyatalah bangunan suci itu rusak. Maka Paduka pun menitahkan pemugarannya yang berhasil diselesaikan dua tahun kemudian. Sebuah upacara pemberkatan lalu digelar untuk meresmikan kembali prasada tempat pendarmaan Kertarajasa itu.

Bangunan suci itu kini masih dikenal sebagai Candi Simping. Lazim juga disebut orang Candi Sumberjati. Namun, ia tentu saja tak bisa melawan kikisan waktu.

Sayangnya, candi saat ini tinggal bagian kaki candi saja. […] Pada keempat sudut kakinya terdapat bekas-bekas tempat miniatur candi. Arca yang semula ada di candi tersebut juga sudah tidak ada ditempatnya,” tulis Edi Sedyawati dkk. dalam Candi Indonesia: Seri Jawa (2013).

Pembaca boleh berlega hati. Arca yang dimaksud itu bukanlah raib karena dicuri atau hancur, melainkan kini disimpan di Museum Nasional Indonesia. Dan seperti halnya objek-objek purbakala yang telah diulas dalam Mesin Waktu, arca itu juga istimewa.

Ialah arca mendiang Raja Kertarajasa Jayawarddhana yang diwujudkan sebagai Harihara—persatuan Dewa Siwa dan Wisnu.

Ia adalah arca perwujudan kedua dalam daftar program Mesin Waktu, tapi kita belum membahas persoalan uniknya. Apa yang dimaksud sebagai “perwujudan”? Lalu, mengapa seorang raja diarcakan sebagai dewa?

Pembaca, Arca Harihara dari Sumberjati tersebut akan memberi kita sejumput wawasan tentang konsep religius dan filosofis yang menjadi fondasi kerajaan dan kuasa raja-raja Nusantara Kuno.

Dewaraja

Arca perwujudan adalah karya seni religius yang khas dari era kesenian Klasik Akhir yang merentang dari 1250-an hingga 1500-an Masehi. Seturut Waridah Muthi’ah dkk. dalam studi “Komparasi Busana Arca Harihara Era Majapahit” (2021), arca perwujudan adalah arca manusia, biasanya penguasa, yang diwujudkan sebagai figur dewata.

Seperti Arca Harihara dari Sumberjati, arca perwujudan lazimnya dibuat setelah sang raja wafat. Tradisi ini tentu saja tidak muncul dari ruang kosong.

“Keberadaan arca perwujudan tidak terlepas dari konsep dewaraja, yakni konsep yang menyejajarkan seorang penguasa dengan dewa,” tulis Muthi’ah.

Meski raja dan dewa disebut “sejajar”, konsep dewaraja tidaklah sesederhana pemujaan raja sebagai dewa belaka. Konsep ini merupakan derivasi dari kosmologi masyarakat Hindu-Buddha.

Menurut Robert von Heine-Geldern dalam “Conceptions of State and Kingship in Southeast Asia” (1942), masyarakat Asia Tenggara Kuno yang terpengaruh Hinduisme dan Buddhisme percaya pada hubungan paralel antara dunia manusia (mikrokosmos) dan jagat raya (makrokosmos). Bahwa kerajaan adalah cerminan dari jagat raya.

Jagat raya dalam pandangan Hinduisme dan Buddhisme berbentuk lingkaran dengan Gunung Meru sebagai pusatnya. Di gunung itulah, para dewa bersemayam. Di sekelilingnya, terdapat tujuh benua dan tujuh lautan yang membentuk lingkaran konsentris.

Masyarakat Asia Tenggara Kuno membentuk kerajaannya berdasarkan gambaran jagat raya itu. Dalam konteks ini, ibu kota kerajaan diandaikan sebagai Gunung Meru dan keraton sebagai kahyangan para dewa.

“Maka ibu kota kerajaan bukanlah sekadar pusat politik dan budaya. Lebih dari itu, ibu kota merupakan pusat magis dari seluruh kerajaan,” tulis von Heine-Geldern.

Di keraton yang merupakan gambaran kahyangan, raja bertakhta sebagai dewaraja—penjelmaan atau inkarnasi dewa di dunia.

Lalu menurut I.W. Mabbet dalam “Devaraja” (1969), konsep dewaraja merupakan fondasi dari legitimasi politik seorang raja. Klaim dewaraja itu tak bisa sembarangan. Ia mestilah divalidasi oleh otoritas religius melalui upacara penahbisan.

Transformasi Budaya

Von Heine-Geldern dan Mabbet dalam studinya masing-masing selalu mengetengahkan Kerajaan Khmer (Kamboja) sebagai pelopor tradisi dewaraja. Tradisi ini memang tumbuh subur dan langgeng di sana. Raja-raja Khmer diketahui menahbiskan dirinya sebagai Dewa Siwa.

Bukti tertulis atas praktik dewaraja yang tertua di Kamboja adalah Prasasti Sdok Kak Thom. Prasasti bertarikh 974 Saka (1052 Masehi) itu mengabarkan tentang Raja Jayavarman II yang pada 724 Saka (802 Masehi) ditahbiskan sebagai cakravartin (raja ideal dalam Hinduisme).

Dengan bimbingan seorang brahmana, sang raja juga ditetapkan sebagai perwujudan Dewa Siwa melalui ritual viddhi atau pendirian lingga. Penahbisan dan ritual itu dilakukan demi melepaskan Khmer dari kuasa Mataram Kuno.

Meski Jayavarmann II selalu ditunjuk pertama kali untuk menjelaskan kultus dewaraja, ada dugaan bahwa ia membawa praktik tersebut dari Jawa (Mataram Kuno).

Agus Aris Munandar dalam bunga rampai Mitra Satata: Kajian Asia Tenggara Kuna (2014) malah menelusuri lebih jauh lagi. Menurutnya, tradisi dewaraja yang berkembang di kerajaan-kerajaan Asia Tenggara Kuno bukan murni berasal dari India.

Ia juga bukan tradisi yang benar-benar baru mekar usai masyarakat Nusantara bersentuhan dengan budaya India. Bibit tradisi ini diperkirakan merupakan transformasi lebih lanjut dari tradisi pemujaan arwah leluhur yang berkembang di Asia Tenggara sejak zaman Perundagian.

“Ketika budaya India menawarkan nama-nama dewa tertinggi untuk menjuluki kekuatan supernatural, masyarakat Austronesia dapat menerima dan menyetarakan konsepsi dewa-dewa itu dengan arwah nenek moyang yang mereka puja,” tulis Munandar.

Tradisi pemujaan arwah nenek moyang dengan “baju baru” kultus dewaraja kemudian tidak serta-merta muncul ke permukaan kala kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha terawal di Nusantara lahir.

Di masa Tarumanagara, ia muncul dalam bentuknya yang implisit. Tengaranya bisa ditilik melalui simbol-simbol Raja Purnawarmman yang diasosiasikan dengan kedewataan. Dalam Prasasti Ciaruteun, misalnya, telapak kaki Paduka disamakan dengan milik Dewa Wisnu.

Di masa Mataram Kuno, praktik tersebut mengalami evolusi dengan digubahnya kakawin Mahabarata dari India yang memuat konsep astabrata atau delapan sifat dewa mata angin pada diri raja.

Boleh jadi, praktik-praktik religius semacam itulah yang dijumpai dan diserap oleh Jayavarmman II kala mengungsi ke Jawa pada akhir abad ke-8.

Selepas itu, kultus dewaraja memang berkembang menjadi lebih eksplisit dengan praktik pen-dharma-an, yaitu mendirikan candi dan mengarcakan raja yang wafat dalam wujud dewa.

Infografik Mesin Waktu Arca Harihara

Infografik Mesin Waktu Arca Harihara. tirto.id/Tino

Simbol Politik

Beberapa ahli purbakala, di antaranya A.J. Bernet Kempers (1959), Soekmono (1973), dan Agus Aris Munandar (2014), sepakat bahwa Arca Harihara dari Simping merupakan perwujudan sang Pendiri Majapahit.

Kisahnya dari seorang menantu raja terakhir Singhasari, Kertanagara, hingga dinobatkan sebagai raja Majapahit adalah saga nan epik. Dia berhasil lolos dari serangan Kediri dan membuka hutan yang menjadi cikal bakal Majapahit. Dengan amat sabar, dia menyusun kekuatan baru bersama Arya Wiraraja dari Madura.

Kedatangan pasukan Mongol lalu membuka kesempatannya untuk membalas serangan Kediri. Dia berhasil menghancurkan Kediri dengan memanfaatkan Mongol. Pada 1216 Saka (1294 Masehi), Wijaya naik takhta dengan gelar Kertarajasa Jayawarddhana.

Tentang penobatannya itu, Prapanca dalam Desawarnana menulis, “Selama Kertarajasa Jayawarddhana duduk di takhta, seluruh Jawa bersatu padu, tunduk menengadah.”

Masa kuasa Kertarajasa mungkin bukanlah masa yang gemilang, pun tak lepas pula dari pemberontakan. Namun, bagaimanapun juga dialah founding father Majapahit. Pemilihan Dewa Harihara untuk perwujudan Kertarajasa boleh jadi merefleksikan citra politiknya itu.

Sifat Hara (Siwa) yang dilambarkan pada Wijaya paralel dengan kebijakan politik eksternalnya sebagai membasmi musuh-musuh Singhasari dan kemudian Majapahit. Sementara itu, sifat Hari (Wisnu) tercermin dari sikap politik internalnya yang mencoba untuk memelihara dan menyejahterakan masyarakat Majapahit di masa sulit.

Paralelisme tersebut sebenarnya telah juga tersirat melalui gelarnya. Unsur kerta dan warddhana mewakili sifat-sifat dari Wisnu, yaitu pelindung dan pemelihara. Di saat yang sama, dia juga menyandang rajasa dan jaya yang mewakili sifat-sifat dari Siwa, yaitu penggempur dan penakluk musuh musuh-musuhnya.

Permainan citra politik religius yang berkaitan dengan Harihara juga bisa ditemui di Kamboja Kuno. P.A. Lavy dalam studi “As in Heaven, So on Earth: The Politics of Visnu, Siva and Harihara Images in Preangkorian Khmer Civilisation” (2003) menyebut para penguasa Khmer lazim mengadopsi figur Harihara sebagai simbol politik sejak masa Pra-Angkor (sebelum abad ke-6 Masehi).

Di masa itu, figur Harihara tampil dalam beragam nama, seperti Sambhu-Wisnu, Sankara-Narayana, Hara-Acyuta, dan Hari-Isvara.

Meski Harihara merupakan paduan dari Siwa dan Wisnu, masyarakat Khmer Pra-Angkor lebih lazim menyimbolkannya dengan lingga. Padahal, lingga merupakan kekhasan dari Siwa. Boleh jadi, meski telah menjadi entitas tunggal, mereka tetap menganggap Siwa berkedudukan lebih tinggi ketimbang Wisnu.

Raja-raja Khmer juga menggunakan Harihara untuk kepentingan pada politik eksternalnya. Dalam konteks ini, Sang Dewa melambangkan superioritas Kerajaan Khmer di antara kerajaan-kerajaan lain di Asia Tenggara, terutama kerajaan seberang seperti Tarumanagara yang bercorak Waisnawa.

Beda di India, Beda di Jawa

Herna Lestari dalam risetnya Arca Harihara Jawa Koleksi Museum Nasional Jakarta: Suatu Kajian Ikonografi dan Gaya Seni (1994) menyebut bahwa Arca Harihara sebenarnya cukup umum ditemui di Jawa. Selain dari Candi Simping, Museum Nasional juga mengoleksi setidaknya sepuluh Arca Harihara lain yang berasal dari Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Namun, di antara arca-arca sejenisnya, Arca Harihara dari Sumbejati adalah satu-satunya yang diketahui sebagai arca perwujudan seorang raja. Dan lagi, arca ini merupakan representasi dari langgam seni arca masa Klasik Akhir yang masih sangat terawat dan utuh kondisinya.

Maka cukup pantaslah menjadikannya sebagai tengara dari tradisi dewaraja yang berkembang di Nusantara. Lagi pula, di masa Singhasari dan Majapahit-lah tradisi ini mencapai bentuknya yang paling eksplisit dan agung.

Meski begitu, Harihara di kampung halamannya punya latar belakang yang berbeda. Persatuan Siwa dan Wisnu menjadi satu tubuh bukan hanya berdimensi mitologis, tapi juga punya arti sosial riil yang signifikan.

Di Hindustan, Hinduisme punya banyak sekali aliran. Waisnawa pemuja Wisnu dan Saiwa pemuja Siwa adalah dua di antaranya. Kedua aliran ini rupanya punya riwayat konflik yang panjang.

Indikasi atas konflik itu bahkan bisa kita temui dalam karya sastra mitologis. Misalnya kisah Narasimha (Wisnu) melawan Hiranyakasipu (pemuja Siwa) dan kisah Gandaberunda (Wisnu) melawan Sharabha (Siwa).

Figur Harihara lantas muncul ketika konflik di antara kedua aliran itu mereda. Figurnya mungkin merupakan semacam bentuk resolusi atas pertentangan kedua aliran. Gambaran akan figur dua dewa yang bersatu itu di antaranya tertuang dalam epos Hariwangsa yang merupakan sempalan dari Mahabharata.

Dalam hal ini, Harihara mencerminkan dualitas yang membentuk harmoni dalam satu entitas. Maka dalam Harihara terkandung sifat agresif sekaligus kasih, juga pemusnah sekaligus pemelihara.

Baca juga artikel terkait MESIN WAKTU atau tulisan lainnya dari Muhamad Alnoza

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Muhamad Alnoza
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Fadrik Aziz Firdausi