tirto.id - Menjenjang langkah pertama ke Gedung Arca Museum Nasional Indonesia, kita akan disapa oleh sosok dewa bijak nan ramah. Setiap pengunjung Museum Nasional Indonesia pastilah bertemu muka dengannya. Namun, kita agaknya telah lancang karena dalam petualangan-petualangan sebelumnya, kita melewatkan dirinya begitu saja.
Kita telah jauh masuk ke dalam ruang-ruang koleksi Museum Nasional Indonesia dan bertualang mengikuti kisah-kisah Nekara Makalamau dari Pulau Sangeang hingga Prasasti Kedukan Bukit. Namun, kita melewatkan dia yang selalu menyambut kita di bagian depan Gedung Arca.
Untungnya, kali ini adalah saat yang tepat untuk balik menyapa dewa berjuluk Sang Penghalau Mara Bahaya ini. Kita juga bisa memintanya membawa kita bertualang ke masa lalu dan mengail wawasan karena dia juga dikenal sebagai Dewa Ilmu Pengetahuan.
Lihatlah, di tangan kiri dia memegang modaka, mangkuk berisi saripati ilmu pengetahuan yang tiada habisnya. Selain modaka itu, kita juga bisa menengarai kedewataannya darisirascakra, jatamakuta, dan empat tangannya. Di tangannya yang lain, Sang Dewa juga memegang tiga benda yang menjadi ikon khasnya, yaitu patahan gading (ekadanta), kapak perang (parasu), dan tasbih (aksamala).
Terlepas dari simbol-simbol kedewataan itu, Pembaca pasti langsung dapat mengenali Sang Dewa dari kepala gajahnya. Kau benar jika menyebut Sang Dewa sebagai Ganesa, putra Siwa dan Parwati.
Adikarya dari Candi Banon
Arca Sang Ganesa dahulu pastilah berdiri di sebuah kuil pemujaan. Itulah Candi Banon yang sudah lama menghilang.
Candi Banon merupakan satu dari sekian banyak monumen tinggalan era Hindu-Buddha yang tersebar di Magelang, Jawa Tengah. Lokasinya tidaklah jauh dari Candi Borobudur dan Candi Pawon. Para ahli purbakala menaksir candi beranasir Hindu ini dibangun pada masa Kerajaan Mataram Kuno sekitar abad ke-8 sampai ke-9 M.
Sayangnya, kala ditemukan sekira awal 1900-an, kondisinya telah tercerai-berai. Tidak diketahui secara jelas mengapa Candi Banon berantakan begitu. Arkeolog Willem Frederik Stutterheim dalam tulisannya yang dimuat dalam De Locomotief (20 Desember 1930) memperkirakan bahwa Candi Banon rusak gara-gara tangan usil manusia.
Dugaan Stutterheim boleh jadi ada benarnya. Pasalnya, tak seperti mayoritas candi-candi Jawa Tengahan yang bermaterial batu andesit, Candi Banon tersusun dari batu bata.
Terkait hal itu, Rapporten van de Commissie in Nederlandsch-Indie voor Oudheidkundig Onderzoek op Java en Madoera 1911(1912) menyebut, “Hal serupa (penggalian) juga terjadi di tempat lain, di sekitar Candi Banon, yang ditemukan sejumlah besar batu bata tua.”
Material batu bata tentu tak sekuat andesit sehingga mudah terkikis. Bata Candi Banon kemungkinan juga menjadi sasaran pencurian oleh penduduk setempat di masa lalu.
Meski demikian, awak Oudheidkundig Commissie (Komisi Purbakala) yang menggali dan meneliti candi itu menemukan berbagai macam arca andesit yang secara umum sangat baik dan indah pengerjaannya. Bolehlah kita menyebutnya sebagai adikarya dari masa lalu.
“Arca Siwa, Wisnu, Brahma, Agastya, dan Gaṇesa yang berasal dari Candi Banon termasuk ke dalam arca-arca bermutu tinggi (masterpiece) di Jawa Tengah, karena memiliki kualitas seni yang amat baik,” ungkap Atina Winaya dalam studi “Penggambaran Motif Kain pada Arca Ganesa di Jawa: Ragam dan Makna” yang terbit dalam Menggamit Minat Ragam Hias Nusantara (2020).
Tentu saja, tidak semua arca tersebut dalam kondisi benar-benar utuh sempurna. Arca Agastya, misalnya, bagian tangan sebelah kanannya sudah hilang. Begitu pula Arca Brahma yang kedua bagian tanggannya hilang. Hanya ada satu arca yang kondisinya terbilang utuh dan baik, yakni Arca Ganesa yang tengah kita bahas.
Sementara Candi Banon kemudian benar-benar menghilang, Arca Ganesa tersebut berikut arca-arca dewa yang lain sekarang tersimpan di Museum Nasional Indonesia. Di sana, keberadaan ia sangat mudah ditemukan lantaran dipamerkan tepat di bagian depan Gedung A.
Sang Penolak Bala nan Masyhur
Kini, Ganesa lebih lazim dijuluki dewa ilmu pengetahuan dan memang itulah salah satu aspek kedewataannya. Namun seturut mitologi asalnya, dia semula terlahir sebagai Wigneswara sang penghalau rintangan.
Dia adalah aspek kekuatan Siwa yang lahir dari rahim Dewi Parwati. Kelak, Wigneswara maju ke medan perang untuk mengalahkan para asura (raksasa) yang mengancam kedewataan. Dia jugalah Ganapati alias pemimpin gana, para prajurit dan pengabdi Dewa Siwa.
Karena itulah, Ganesa amat populer bagi penganut Hindu Saiwa. Seturut Eri Budiarto dkk. dalam Dewa Dewi Masa Klasik (2009), Ganesa merupakan salah satu dari parswadewata atau “keluarga” yang selalu hadir di candi-candi pemujaan Siwa. Sang Ganapati selalu hadir bersama Resi Agastya dan Durga Mahisasuramardhini menemani Dewa Siwa.
Bahkan, secara khusus, Ganesa pun punya sekte pemuja tersendiri yang disebut Ganapatya. Dan ketimbang aspeknya sebagai dewa ilmu pengetahuan, masyarakat Jawa Kuno agaknya cenderung lebih mengutamakan aspek Ganesa sebagai penghalau bahaya.
Mereka lazim memuja Sang Wigneswara sebelum memulai perjalanan, perdagangan, atau urusan penting. Arca Ganesa juga lazim ditempatkan di daerah-daerah rawan, seperti lereng gunung berapi atau sungai berarus deras, bahkan tanpa harus ada candi yang menaunginya.
“Arca Ganesa Bara (Blitar, Jawa Timur) merupakan satu contoh penempatan Ganesa di pinggir sungai, yaitu Sungai Brantas,” tulis Eri dkk.
Ledakan Seni Religius
Dalam studinya, Atina menyebut, “Bersama Trimurti (Siwa, Wisnu, dan Brahma), Ganesa menjadi tokoh dewata yang paling banyak diwujudkan dalam bentuk arca.”
Dalam berbagai variasi bahan, bentuk, dan ukuran, arca Ganesa ditemukan di berbagai daerah. Arca Ganesa dari Candi Banon hanyalah salah satu di antaranya. Meski begitu, seperti yang bisa kita saksikan kini, ia adalah salah satu yang paling rupawan.
Karenanya, Arca Ganesa dari Candi Banon adalah representasi yang pantas untuk mengisahkan peristiwa “ledakan” seni religius yang terjadi di Nusantara, khususnya Jawa, pada abad ke-8 hingga ke-9 M. Ketika keimanan dan keterampilan seni berpadu, hal-hal spektakuler pun lahir.
Kerajinan atau kesenian batu sebenarnya bukanlah hal baru di Nusantara. Sebelum pengaruh India datang, nenek moyang masyarakat Nusantara telah membuat serbaneka kerajinan batu. Mulai dari yang sesederhana kapak batu hingga yang kolosal seperti punden berundak.
Nenek moyang kita telah memiliki basis keterampilannya dan indianisasi yang datang kemudian lantas memolesnya ke level yang belum terbayangkan sebelumnya.
“Pengalaman membuat monumen batu merupakan suatu modal penting untuk kemudian dikembangkan setelah mendapat pengaruh dari peradaban India, menjadi kemahiran membuat bangunan candi dengan teknik menumpuk yang rumit,” jelas Edy Sedyawati dalam Indonesia Dalam Arus Sejarah II: Kerajaan Hindu-Buddha (2012).
Memasuki abad ke-7 M, kebudayaan Hindu-Buddha makin mapan di Kepulauan Nusantara. Jawa pun mulai jadi panggung utama setelah seabad sebelumnya Sriwijaya menegaskan eksistensinya di Sumatra.
Bukan hanya panggung politik, Jawa juga menjadi ladang subur kerajinan dan kesenian keagamaan. Sponsor kerajaan, melalui penetapan sima (tanah perdikan yang otonom), turut pula menyuburkan pertumbuhan seni-budaya ini.
Di abad ke-8, ketika Arca Ganesa mulai dipahat dan Candi Banon dibangun, Mataram Kuno dan Dinasti Syailendra adalah sentral kebudayaan Hindu-Buddha. Bangunan-bangunan suci yang mereka dirikan adalah sekaligus karya seni.
Terkait hal ini, arkeolog Agus Aris Munandar dalam bunga rampai Antarala Arkeologi Hindu-Buddha (2018) menulis, “Bangunan candi merupakan tempat berekspresinya para arsitek keagamaan dan seniman pahat untuk menumpahkan gejolak estetiknya, bukan estetika yang bebas melainkan yang selalu didasarkan pada konsep keagamaan.”
Di masa itu, pembangunan monumen suci dan pembuatan arca adalah pekerjaan yang rumit. Itu melibatkan pula pekerjaan-pekerjaan tertentu yang terspesialisasi.
Edi Sedyawati dkk. dalam Candi Indonesia Seri Jawa (2013) menyebut bahwa pembangunan candi dan pengarcaan adalah domain para silpin alias seniman keagamaan. Para silpin masih pula terbagi dalam beberapa spesialisasi pekerjaan.
Pertama, sthapati yang bertugas sebagai arsitek perencanaan. Kedua, sutragrahin yang bertugas menghitung daya tarik dan daya beban. Ketiga, taksaka sebagai ahli pahat ornamen, relief, bagian-bagian candi. Keempat, vardhakin sebagai ahli lukis dan ornamen.
Para silpin Jawa Kuno selalu berpatokan pada kitab-kitab Silpasastradan Purana. Semua tentu bersumber dari India, tapi para silpin (seniman) Jawa Kuno rupanya demikian lihai meramu sumber-sumber asli itu dengan lokalitas.
Hasilnya adalah monumen dan arca yang dapat kita kenali keindiaannya, tapi terang pula ia adalah kreasi baru yang sepenuhnya berbeda.
Demikianlah dahulu para taksaka memahat Arca Ganesa di Candi Banon dengan menerapkan ikonografi India dan sekaligus mengguratkan kekhasan yang kemudian dikenali para arkeolog sebagai langgam Syailendra. Langgam ini di antaranya dapat dikenali melalui pahatan ornamen yang raya, penubuhan yang proporsional, raut wajah yang kalem, dan gestur yang “hidup” dan realistis.
Menurut arkeolog Agus Aris Munandar, langgam Syailendra ini rupanya tak hanya mekar di Jawa, tapi juga menyebar ke Sumatra, Semenanjung Malaya, hingga Thailand. Penyebaran ini kemungkinan terjadi seiring dengan menguatnya pengaruh politik dan keagamaan Dinasti Syailendra di jalur maritim Asia Tenggara.
==========
Mesin Waktuadalah program terbaru di kanal Mild Report Tirto.id yang bertitik kisar pada arkeologi dan sejarah. Berbeda dari naskah-naskah sejarah kami yang membahas peristiwa atau masa tertentu, program ini menjadikan artefak koleksi museum sebagai titik tolak untuk membaca perjalanan sejarah Indonesia. Melalui program ini, kami membawa pembaca menelusuri Museum Nasional Indonesia dan meneroka cerita serta menggali pengetahuan dari benda-benda bersejarah yang menjadi koleksinya.
Setiap minggu, program Mesin Waktu akan terbit setiap Jumat di kanal Mild Report.
Penulis: Omar Mohtar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi