tirto.id - Regenerasi pelestari budaya jadi tantangan besar dalam menjaga sebuah tradisi. Jika prosesnya macet, maka ia menghadapi ancaman kepunahan.
Paidi adalah salah satu yang dihantui bayang kekhawatiran akan hal itu. Generasi ketiga Empu Kereta Kuda ini merasa tak punya pewaris yang dapat meneruskan eksistensi usahanya.
Anak sulung dari lima bersaudara ini membeberkan, dia bersama para saudaranya mulai belajar memperbaiki kereta kuda sejak duduk di bangku sekolah dasar.
"Nama usaha kami ini Bengkel Kereta Pandawa Lima, karena lima orang yang mengerjakan. Saya dan adik-adik, laki semua," ujar lansia 67 tahun itu saat kontributor Tirto bertandang ke rumahnya di Padukuhan Jetis, Kalurahan Patalan, Kapanewon Jetis, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, pada Selasa (11/2/2025).
Menurut Paidi, kini bengkelnya hanya memberdayakan empat orang, lantaran salah satu saudaranya sudah meninggal dunia.
Dalam benak Paidi, pewaris kepandaian memperbaiki kereta kuda merupakan pekerjaan pria. Sehingga keturunan mereka yang mayoritas adalah perempuan, tidak wangun (pantas) untuk menjadi penerus usaha.
"Saya itu [punya] anak dua, perempuan semua. Adik-adik saya, juga anaknya perempuan. Cuma satu yang laki-laki, tapi nggak tahu apa akan berminat [meneruskan usaha bengkel kereta]," ujarnya.
Di samping itu, Paidi merasakan usaha bengkel kereta kudanya tidak dapat menjadi penopang utama perekonomian. Sehingga dia tetap mengandalkan penghasilan dari pertanian.
"Yo corone, nek iki ming nggo samben kaleh tani (bisa dikatakan, usaha bengkel kereta kuda ini hanya untuk sampingan sambil bertani). Soale yo ora cukup (karena tidak cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan)," ucapnya, kemudian melepas tawa.
Namun, Paidi tetap mempertahankan usaha bengkel karena dua alasan. Pertama, menjaga amanah keluarga karena bengkel kereta ini merupakan usaha turun-temurun. Kedua, dia dan dua adiknya yang lain merupakan abdi dalem Keraton Yogyakarta.
"Nama keraton saya Wedono Rotopariwiro," ungkap dia.
Sebagai abdi dalem, Paidi dan adik-adiknya tentu menjadi jujugan. Kereta milik Keraton Yogyakarta yang mengalami kerusakan, mesti diantar ke halaman rumahnya untuk diperbaiki.
"Saya juga mengerjakan untuk Pakualaman. Enam kereta baru selesai beberapa hari lalu," bebernya.
Paidi mengungkap, ada laku tradisi yang dilakukan sebelum memperbaiki kereta kuda dari Keraton Yogyakarta dan Pakualaman. Menurutnya, perlu ada ritual khusus yang antara lain adalah berpuasa.
"Namanya juga melestarikan budaya. Puasanya macam-macam, ada yang puasa tujuh hari, puasa mutih, puasa brangkah. Tergantung masing-masing," jelasnya.
Kereta-kereta yang rusak itu mayoritas bermasalah pada bagian kayu. Itu sebabnya, Paidi tidak merasa kesulitan mencarikan material pengganti meski kereta aslinya merupakan peninggalan masa kolonial yang diimpor dari Eropa.
"Saya sudah punya langganan kayu. Tinggal pilih, mau kualitas yang seperti apa," ujarnya.
Paidi bersaudara sejatinya bukan cuma mampu memperbaiki kereta kuda. Mereka juga mampu membuat kereta kuda. Sehingga mereka layak disebut Mpu Kereta Kuda.
"Proses kalau dari nol sampai rampung itu dua bulan," ujarnya.
Selain mengganti material yang rusak, Paidi bersaudara juga melakukan pengecekan fungsi pendukung, seperti bel kereta.
Sumardi, adik Paidi sebagai anak ketiga, tampak fokus memperbaiki bel kereta. Mula-mula dia membunyikan bel. Didengarnya dulu, kemudian dia bongkar. Tiap bagian dia periksa secara teliti dan dibersihkan. Terakhir dia lumasi dengan oli dan menyatukannya kembali.
"Saya sama dengan yang lainnya, bisa mengerjakan semua [bahkan membuat kereta dari nol]. Kan belajar dari SD," ujar pria kelahiran tahun 1962 itu.
Seperti Paidi, Sumardi juga menegaskan bahwa regenerasi bengkel kereta kuda milik keluarganya macet. Semua anaknya perempuan. Sementara pewaris usaha yang saat ini masih menggeluti bengkel tinggal berempat dan telah berusia senja.
"Pertama itu Paidi, kedua Sugeng, terus saya sendiri, keempat Tugiman almarhum, kelima Giyono," katanya.
Dukuh (pembantu kepala desa atau lurah) Jetis, Eka Wulanjari, menilai macetnya regenerasi bengkel kereta kuda bukan hanya sekadar persoalan keturunan, tapi juga faktor utama yang mendorong profesi ini terancam punah adalah ekonomi.
"Realistis, anak muda sekarang butuh sesuatu yang pasti (penghasilan yang mampu mencukupi kebutuhan keluarga)," ujarnya saat diwawancarai di lokasi yang sama.
Eka mengatakan, sebetulnya bengkel kereta kuda di sekitar Kapanewon Jetis ada beberapa titik. Tapi kondisinya relatif sama. Pelaku yang masih mempertahankan profesi tersebut tergolong sudah sepuh.
"Makanya, saya ingin mendorong lokasi ini (Bengkel Kereta Pandawa Lima) untuk dikenal luas," ujarnya.
Eka mengaku telah mencoba berdialog dengan pemangku kebijakan di pemerintahan Kabupaten Bantul. Jika pun regenerasi sulit, dia ingin keberadaan bengkel kereta kuda tetap lestari. Entah jadi museum, lokasi edukasi, tempat syuting, atau lainnya.
"Pokoknya tetap ada peninggalannya, kan bisa jadi bahan penelitian juga," kata dia.
Terkait dengan pemberdayaan ekonomi para pelaku budaya, Eka mengaku kesulitan membuat konsep yang kuat agar dapat menarik kunjungan wisata agar tercipta perputaran ekonomi di padukuhannya.
"Ya, harapannya nanti di sini ada perhatian khusus," tandasnya.
Dihubungi terpisah, Kepala Dinas Kebudayaan Bantul, Yanatun Yunadiana, mengatakan bahwa kereta kuda atau di DIY dikenal dengan sebutan andong telah ditetapkan sebagai warisan budaya. Oleh sebab itu, dia melakukan koordinasi lintas sektor yang kaitannya dengan pelestarian budaya agar berdaya ekonomi.
"Akan kami buatkan komunitas. Nanti langkah selanjutnya koordinasi untuk UMKM dan pariwisata. Harapannya, pelestarian juga menyejahterakan pelaku budaya," ucapnya, dihubungi kontributor Tirto, Selasa (11/2/2025).
Penulis: Siti Fatimah
Editor: Irfan Teguh Pribadi