Menuju konten utama
Horizon

Pemberdayaan Perempuan Tak Pernah Mati di Pesantren Seblak

Semangat kesetaraan dan pemberdayaan perempuan di pesantren ini mula-mula diembuskan oleh Khoiriyah Hasyim, putri kedua pendiri NU, Hasyim Asy'ari.

Pemberdayaan Perempuan Tak Pernah Mati di Pesantren Seblak
Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Seblak yang terletak di Dusun Seblak, Desa Kemarin, Kecamatan Diwek, Jombang (Foto: Muhammad Akbar Darojat Restu Putra)

tirto.id - Pelataran Pondok Pesantren Seblak tampak sepi pada Senin malam, (3/2/2025). Seluruh santri berada di dalam pondok untuk mengaji kitab klasik. Sayup-sayup suara mereka terkadang menembus hamparan pelataran. Itu pertanda bahwa kehidupan masih berdenyut di pesantren yang usianya sudah menapak 104 tahun.

Di area pesantren, berdiri sebuah rumah yang menjadi kediaman pengasuh. Ketika pintu rumah itu tersingkap, tampak sejumlah kursi dan meja tertata rapi. Berbagai makanan dan minuman terhidang di meja yang disajikan bagi para tamu.

Seorang perempuan duduk di salah kursi. Ia mengenakan baju hitam, kerudung hitam, dan rok yang juga hitam. Ia banyak bercerita tentang sejarah pesantrennya, sejarah kehidupan pendiri dan penerusnya, sepenggal kehidupannya, juga pernak-pernik pesantren.

Begini mula kisahnya...

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang. Peribahasa ini pas untuk menggambarkan sosok Khoiriyah Hasyim. Ia tak hanya mewariskan bangunan pondok dengan santrinya, tapi juga pikiran dan laku bahwa perempuan bukanlah konco wingking yang hanya bisa di dapur, sumur, dan kasur.

“Mbah Djamilah sebagai pengasuh selanjutnya itu memiliki semangat yang sama dengan Mbah Khoiriyah,” kata Emma Rahmawati kepada kontributor Tirto, Senin (3/2/2025).

Djamilah Ma’shum adalah anak kedua dari Khoiriyah Hasyim. Ia mulai memimpin Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah, Seblak, Jombang, ketika ibunya masih hidup, tepatnya pada tahun 1969.

Kala itu kesehatan ibunya, Khoiriyah Hasyim, mulai menurun, sehingga sang ibu memandatkan tanggung jawab pesantren pada punggung Djamilah. Apalagi sang kakak, Abidah Ma’shum, telah turut suaminya, KH. Mahfudz Anwar, mengurus Pendidikan Guru Agama Putri Nahdlatul Ulama.

“Mbah Khoiriyah anaknya ada tujuh. Cuma yang masih hidup ada dua, yakni Mbah Djamilah sama Mbah Abidah. Yang lainnya sudah meninggal sejak masih kecil,” kata Emma yang merupakan cucu dari Djamilah.

Sebelum memimpin pondok pesantren, Djamilah Ma’shum dikenal sebagai veteran perang. Ia pernah turut mengangkat senjata dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kala berperang, ia menitipkan buah hatinya pada sang suami, KH. Noor Aziz.

“Nah, uniknya di sini. Justru Mbah Djamilah yang ikut perang, sementara suaminya yang jaga anak. Itu pada masa agresi militer Belanda. Ini membuktikan bahwa perempuan bukan hanya bisa mengasuh anak sebagaimana anggapan banyak orang,” ungkap Emma.

Sekitar tahun 1970-an, Dajmilah yang yang pernah menjabat Ketua Muslimat NU Jawa Timur itu mendirikan Madrasah Tsanawiyah (MTS) dan Madrasah Aliyah (MA) di belakang pesantrennya.

Ia yang pernah menjabat sebagai anggota DPRD Kota Malang itu juga mengembangkan sarana-prasana pesantren dan mendirikan panti asuhan. Kelak, setiap unit yang berdiri di sekitar pondoknya ia satukan dalam sebuah yayasan bernama Khoiriyah Hasyim yang berdiri pada tahun 1979.

“Yang dilakukan oleh Mbah Djamilah saat itu bisa dibilang semacam pembaharuan pendidikan formal,” tegas Emma.

Djamilah Ma'shum

Potret Khoiriyah Hasyim, Ulama perempuan dari Pondok Pesantren Seblak Jombang (Foto: Arsip Pondok Pesantren Seblak Jombang)

Inspirasi dari yang Dipajang

Emma lahir dari pasangan Umar Faruq dan Mahsunah. Ayahnya meninggal pada tahun 2003. Kini ia membantu ibunya dalam mengurus Yayasan Khoiriyah Hasyim. Selain mengajar santri putri di pesantren, ia juga mengajar para siswa di sekolah.

“Sejak Mbah Djamilah meninggal, kepengurusan pesantren dibagi menjadi tiga. Kompleks pondok sebelah timur diurus oleh kami, keluarga Umar Faruq yang merupakan anak Mbah Djamilah. Kompleks pondok sebelah barat yang mengurus keluarga Ibu Laili Rahmawati yang juga anak beliau. Sebelah selatan itu yang mengurus keluarga Mbah Abidah, kakak beliau,” terang Emma.

Selain mengajar, ia juga memiliki usaha donat kentang bernama Mooi yang membuka cabang di sejumlah kota, seperti Jombang, Mojokerto, dan Yogyakarta. Lain itu, ia juga tengah mengambil studi pascasarjana Jurusan Islam dan Kajian Gender di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

“S1 dulu saya mengambil studi filsafat di UGM. Tapi karena kemudian ingin mendalami gender, saya mengambil studi di UINSUKA karena tidak ada studi khusus gender di UGM,” kata Emma.

Studi gender adalah kajian yang sudah Emma minati sejak ia masih menjadi mahasiswa di UGM. Dorongan untuk mematangkan minat itu kian kukuh ketika ia mengenal lebih dekat sosok Khoiriyah Hasyim. Itu terjadi saat pandemi Covid-19, kala ia mengikuti kaderisasi Pengkaderan Ulama Perempuan (PUP) yang diadakan oleh Rahima, organisasi non-pemerintah yang berfokus pada peningkatan kesadaran tentang Islam, gender, dan hak-hak perempuan.

Selepas mengikuti kegiatan itu, Emma seakan baru mengenal sepak terjang dan pemikiran nenek buyutnya. Rupanya, orang yang fotonya dipajang di rumahnya adalah ulama besar perempuan yang berpentas dalam dunia pendidikan.

Terpengaruh oleh nenek buyutnya juga, ia kemudian terjun dalam bidang sosial-kemasyarakatan dengan menjadi Koordinator Gusdurian Jombang, anggota divisi ekonomi Fatayat PW Jawa Timur, anggota Lazisnu Jombang, dan anggota Simpul Rahima Jatim.

“Rahima ini salah satu yang ikut menggagas KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia),” jelasnya.

Napas Emansipasi Perempuan Tetap Berembus

Emma yang dipanggil oleh para santri dengan sebutan Ning Emma, menganggap pesantrennya cukup unik bila dibandingkan dengan pesantren lain. Sejarah pesantrennya menunjukkan bahwa perempuan memiliki andil dan kontribusi yang besar. Maka itu, kata dia, perempuan tak pernah tersingkir dalam memandu arah dan perkembangan Pesantren Seblak.

“Saya sering dapat curhatan dari para ning kalau bapaknya atau suaminya meninggal, mereka akhirnya tersingkirkan dan terpinggirkan. Kalau di pesantren ini nggak. Mungkin karena Mbah Khoiriyah ini kan anak perempuannya Mbah Hasyim. Beliau punya anak juga perempuan. Makanya kemudian berpihak kepada perempuan,” ujar Emma.

Menurut Emma, perempuan dalam susunan pimpinan sekolah formal yang berada di bawah naungan yayasan pesantren, juga akan selalu menempati jabatan pimpinan, entah kepala sekolah atau wakil kepala sekolah.

Djamilah Ma'shum

Surat Pengangkatan Djamilah Ma'shum sebagai pengasuh dari Khoiriyah Hasyim (Foto: Arsip Pondok Pesantren Seblak Jombang)

Ia menambahkan, selain menyusupkan pendidikan kesetaraan gender ketika mengajar kitab Islam klasik, pesantrennya juga mendorong para santriwati untuk berani terjun di lapangan masyarakat.

“Ini agar mereka memiliki kontribusi pada masyarakat. Salah satunya alumni pesantren di sini ya Ibu Nur Rofiah,” katanya.

Perempuan yang disebut oleh Emma itu adalah pegiat dan ahli kajian gender. Ia kini menjadi Dosen di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah dan Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ). Keduanya bertempat di Jakarta.

Selain menjadi pemateri KUPI dan Ngaji Keadilan Gender Islam (Ngaji KGI), Nur Rofiah juga aktif menulis. Dua buku yang pernah ia tulis adalah Kajian Tentang Hukum dan Penghukuman Dalam Islam: Konsep Ideal Hudud dan Praktikan (2018), dan Nalar Kritis Muslimah: Refleksi Atas Keperempuanan, Kemanusiaan, dan Keislaman (2021).

Menurut Emma, pendidikan kesetaraan gender juga diberikan pada aktivitas yang tampak kecil. Misalnya, ketika pesantren menghelat sebuah acara, para santriwati tak selalu mendapat bagian mengurus dapur. Emma juga akan menggilir para santri putra untuk memegang bagian itu agar para santriwati bisa mengurus dan mengonsep acara.

“Ini agar santri putra belajar bahwa perempuan bukan hanya bisa menjadi konco wingking. Selama dibuat seperti ini, santriwati nggak pernah minder karena mereka mayoritas di pesantren ini,” sambungnya.

Dengan cerita-cerita yang ia suguhkan, Emma menganggap napas emansipasi pendidikan bagi perempuan tetap berembus kendati Khoiriyah dan Djamilah sudah tiada. Hal ini setidaknya, sambung Emma, dapat menjadi teladan bagi pesantren lainnya.

“Tujuan Islam itu kan memanusiakan perempuan. Jadi, seharusnya bukan hanya Pondok Pesantren Seblak yang menerapkan nilai luhur ini, melainkan juga pesantren lainnya. Sebab, seperti laki-laki, perempuan adalah subjek penuh,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait EMANSIPASI WANITA atau tulisan lainnya dari Muhammad Akbar Darojat Restu

tirto.id - News
Kontributor: Muhammad Akbar Darojat Restu
Penulis: Muhammad Akbar Darojat Restu
Editor: Irfan Teguh Pribadi