tirto.id - Pemerintah seperti tidak habis akal untuk melibatkan semua entitas dalam pengelolaan tambang, yang sudah banyak diungkap penelitian–menimbulkan segudang kerugian. Usai muncul wacana kampus ikut mengurus tambang, kemudian dibatalkan dan berujung menjadi penerima manfaat atas konsesi tambang, kini gagasan itu merambat ke pesantren.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, belum lama ini mengungkap pihaknya membuka peluang pesantren dapat mengelola bisnis tambang, seperti ormas keagamaan, usaha kecil dan menengah (UKM), dan koperasi. Peluang itu disebut akan dikomunikasikan dengan Presiden Prabowo Subianto.
“Kami [berikan] pengelolaan tambang kepada organisasi kemasyarakatan keagamaan. Sampai ke pesantren? Belum sampai ke sana, tetapi nanti kami minta arahan petunjuk dari Bapak Presiden Prabowo,” kata Bahlil saat ditemui di Pondok Pesantren Miftahul Huda, Manonjaya, Tasikmalaya, Jawa Barat, Minggu (16/3/2025) sebagaimana dikutip Antara.
Dalam sambutannya, pria yang kini menduduki jabatan Ketua Umum DPP Partai Golkar itu juga menyinggung soal urgensi pemberian izin pengelolaan tambang kepada ormas keagamaan.
Bahlil mengatakan, ulama memiliki peran penting saat masa prakemerdekaan melalui fatwa jihadnya. Namun, setelah Indonesia merdeka, sumber daya alam hanya dikelola segelintir orang.
Atas dasar itu, dengan dalih agar tidak hanya dimiliki konglomerat, Bahlil atas izin Presiden Prabowo dan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, mengemukakan wacana izin pengelolaan sumber daya alam kepada ormas keagamaan.
Hal itu tertuang dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba), yang telah disahkan menjadi Undang-Undang (UU) dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-13 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024–2025, Selasa (18/2/2025).
Alih-alih diamini sebagai bentuk keadilan, pemberian “jatah pengelolaan” tambang ke ormas keagamaan ini justru banyak mendapat reaksi keras dari sejumlah pihak.
Belum lagi jika karpet merah ini dibentangkan bagi pesantren yang notabene jadi lembaga yang mengurus persoalan ilmu pengetahuan dan moral bangsa. UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren sudah menegaskan ruang lingkup fungsi pesantren, yang meliputi pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat.
Konsolidasi Kekuatan Non-Negara untuk Agenda Jahat Rezim
Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Ekologi Misykat Al-Anwar, Roy Murtadho, merupakan salah satu pihak yang menyatakan kontra terhadap gagasan pesantren ikut mengelola tambang.
Sebagai pengelola pesantren, ia mengaku terganggu oleh ide konyol ini lantaran percaya bahwa pesantren dan lembaga pendidikan, utamanya pendidikan keagamaan, punya fungsi untuk memberikan pencerdasan kepada masyarakat.
Menurut dia, pesantren juga bertanggung jawab dalam proses pendidikan keagamaan, pendidikan politik, dan kewargaan.
“Dengan tawaran Bahlil semacam itu justru menegaskan oligarki rezim hari ini ingin merangkul semua entitas non-negara untuk terlibat dalam perusakan secara total. Jadi itu sangat berbahaya sekali, baik bagi agama maupun bagi pesantren,” tegas Roy saat berbincang dengan Tirto, Senin (17/3/2025).
Fungsi pendidikan yang dimaksud Roy juga mencakup, bagaimana seluruh pesantren, atau kolaborasi pesantren dan lembaga lintas agama lainnya, bisa memberikan pemahaman kepada masyarakat soal situasi krisis iklim yang tengah dihadapi. Sebab, kata Roy, kita hidup dalam suhu bumi terpanas sejak revolusi industri, sehingga hidup kita sedang dipertaruhkan.
“Masa semuanya mau olah tambang yang justru semakin mempercepat krisis iklim? Apalagi tambang batu bara itu penyumbang 46 persen, kalau enggak salah, nanti bisa dicek. 46 persen dari emisi karbon global, yang mestinya harus dihentikan, harus dimoratorium dan dievaluasi,” kata dia.
Roy menaksir, upaya pemerintah saat ini adalah untuk mengkonsolidasikan semua kekuatan non-negara dalam rangka mendukung agenda-agenda rezim. Dengan demikian, semakin ada legitimasi bagi praktik-praktik pertambangan yang merusak lingkungan.
“Sehingga orang enggak memberi ruang bagi masyarakat sipil untuk menyampaikan kritik yang benar. Itu tokoh agama sudah dukung, terus pesantren sudah dukung, apalagi yang mau kalian ributin, pasti begitu jadinya. Padahal ini manipulatif sekali,” sambung Roy.
Itu mengapa, Roy berkelakar, pesantren memang seharusnya membawa kitab kuning (kitab keislaman berbahasa Arab), bukan kitab mining. Dengan kata lain, pihak pesantren tidak akan paham mengenai urusan pertambangan.
Sudah berseliweran studi yang menunjukkan soal sisi gelap industri pertambangan, baik dari segi kesejahteraan warga sekitar dan lingkungan.
Riset Greenpeace Indonesia bersama Center of Economics and Law Studies (Celios) berjudul "Kesejahteraan Semu di Sektor Ekstraktif” misalnya, menyingkap bahwa desa-desa tambang kerap mengalami kesulitan dalam mengakses layanan dasar, seperti air bersih dan fasilitas kesehatan.
Desa-desa tambang juga disebut punya kecenderungan mengalami pencemaran air, tanah, dan udara yang lebih tinggi ketimbang desa lainnya. Aktivitas pertambangan seringkali menyebabkan kerusakan serius pada ekosistem lokal, termasuk deforestasi dan kontaminasi sumber air, yang pada gilirannya mengancam kesehatan dan mata pencaharian penduduk setempat.
Jika memang pemerintah berniat membantu pesantren, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menyatakan, jangan kemudian menyerahkan sesuatu yang bukan pada ahlinya.
“Itu pasti tambah rusak. Jadi pesantren tidak lagi fokus pada pendidikan moral, pendidikan agama, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat, tapi nanti disorientasi pesantren ya, menjadi lembaga bisnis dan ini merusak pasti, merusak lembaga pendidikan,” kata Ubaid kepada Tirto, Senin (17/3/2025).
Menurut Ubaid, jangan sampai pemerintah menjerumuskan pesantren dalam ranah bisnis, terlebih dalam bisnis tambang yang merusak lingkungan. Sudah terlalu banyak pendidikan yang mengarah pada komersialisasi, yang pada akhirnya tidak lagi berorientasi pada penguatan pendidikan karakter atau mencerdaskan kehidupan bangsa, tapi justru berorientasi pada profit.
“Jika dipaksakan, ujung-ujungnya ya konglomerat itu-itu lagi yang kelola atas nama pesantren. Ini kan hanya kedok atau akal-akalan untuk memperalat pesantren, bukan niat memberdayakan. Jadi solusinya tidak harus pesantren kelola tambang, bisa tambah rusak dan bukan kompetensi pesantren. Di samping itu, pesantren juga punya cara pandang eco teology yang jelas bertentangan dengan agenda tambang yang merusak lingkungan,” tegas Ubaid.
Edukasi soal Krisis Iklim Masih Jadi Tantangan
Wacana soal pesantren mengelola tambang memang hanya akan menambah masalah, di tengah edukasi soal krisis iklim yang masih diwarnai tantangan.
Sepengalaman Roy mengelola pondok Misykat Al-Anwar, tantangan terbesarnya yakni memberikan pemahaman yang benar dengan point of view yang benar. Apalagi yang didampingi adalah anak remaja, alias siswa SMP dan SMA.
“Jadi pemahamannya harus benar, ini loh masalahnya, akar masalahnya apa, terus kasih perspektifnya. Itu yang harus kita kasih tahu ke mereka, yang pertama. Yang kedua tantangannya, memberikan suasana kegentingan yang sama, karena mereka masih remaja, jadi wajar kan masih banyak maunya, masih seneng-seneng ya,” kata Roy.
Lebih jauh, Roy bilang, tidak mudah untuk memberikan pemahaman ke anak-anak didiknya bahwa generasinya bakal menanggung beban lebih berat akibat krisis iklim. Meski begitu, Roy menerapkan pendekatan demokratik lewat permainan dan peristiwa-peristiwa harian, seperti berkebun.
Jangan sampai kemudian gagasan pesantren ikut mengurus tambang justru semakin memperberat tantangan edukasi krisis iklim, atau yang lebih parah, justru memecah belah masyarakat.
Ketimbang melibatkan pesantren dalam pengelolaan tambang, Roy mengimbau pemerintah untuk memberi subsidi ke pendidikan dan ke pesantren.
“Ada fakta yang benar bahwa tanpa sekolah-sekolah pesantren, enggak semua siswa, anak-anak itu juga bisa diserap di sekolah-sekolah negeri dan banyak sekolah-sekolah swasta berbasis agama, baik Kristen maupun Islam, itu harus didukung gitu loh, jadi dikasih subsidi, terus banyak yang dikasih peluang misalnya,” kata Roy.
Senada, Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menyampaikan soal pentingnya anggaran khusus pemerintah untuk pesantren. Di sisi lain, kata Trubus, pesantren sebaiknya juga tidak pasif.
“Jangan kayak SD-SD, sekolah-sekolah itu jadi pasif karena ada [dana] BOS itu. Jadi itu kan harus diantisipasi, jadi pesantren harusnya inovasi cari anggaran,” ucap Trubus lewat sambungan telepon, Senin (17/3/2025).
Trubus juga sepakat kalau pemberian izin bagi pesantren untuk mengelola tambang akan menimbulkan masalah baru. Sebab, kata Trubus, fungsi pesantren tidak saja untuk persoalan agama, melainkan edukasi terkait dengan keteladanan perbuatan sehari-sehari, yang mengacu kepada Al-Qur'an dan hadis.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Abdul Aziz