Menuju konten utama

Konflik Kepentingan di Balik Ormas Keagamaan Kelola Tambang

Pemberian WIUPK kepada ormas keagamaan dapat menimbulkan konflik kepentingan antara tujuan sosial ormas dengan tujuan ekonomi dari kegiatan pertambangan.

Konflik Kepentingan di Balik Ormas Keagamaan Kelola Tambang
Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda (GP) Ansor Addin Jauharudin (kiri) memberikan keterangan kepada media usai Inaugurasi 'Menuju Ansor Masa Depan' di Istora Senayan, Jakarta, Senin (27/5/2024). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/aww.

tirto.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan aturan baru yang menyetujui pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan. Regulasi tersebut, termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 jo Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

“Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, WIUPK dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada badan usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan,” demikian bunyi Pasal 83 A ayat (1).

WIUPK akan diberikan ormas keagamaan sebagaimana yang dimaksud di dalam Pasal 83 A adalah wilayah bekas Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Selanjutnya pada ayat 3, IUPK dan/atau kepemilikan saham organisasi kemasyarakatan keagamaan pada badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dipindahtangankan dan/atau dialihkan tanpa persetujuan menteri.

Sementara, dalam keterangan lanjutan, kepemilikan saham organisasi kemasyarakatan keagamaan dalam badan usaha harus menjadi mayoritas dan pengendali. Ketentuan lebih lanjut mengenai penawaran WIUPK secara prioritas kepada badan usaha milik organisasi kemasyarakatan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres).

“Penawaran WIUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam jangka waktu lima tahun sejak Peraturan Pemerintah ini berlaku,” demikian bunyi Pasal 83 A ayat (6).

Karpet merah bagi ormas keagamaan, memang bukan barang baru. Pemerintah sebelumnya memang berencana membagi ruang IUP ke organisasi masyarakat keagamaan melalui revisi Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, saat itu menyebut proses pemberian IUP akan dilakukan dengan baik sesuai aturan. Dalam pemberian IUP ini, tidak boleh ada konflik kepentingan dan harus dikelola secara profesional.

"Dikelola secara profesional, dicarikan partner yang baik," kata Bahlil.

Sejak 2022, pemerintah mengevaluasi izin usaha pertambangan (IUP) yang diberikan kepada swasta. Hal itu berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Pada saat itu ditemukan bahwa sebanyak 2.078 IUP dianggap tidak melaksanakan rencana kerja dan anggaran biaya perusahaan. Kementerian Investasi/BKPM kemudian mendapat mandat untuk melaksanakan pencabutan dari Januari sampai dengan November 2022.

PEMERINTAH AKAN CABUT 2.078 IZIN USAHA TAMBANG BATU BARA

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia menyampaikan keterangan pers terkait pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP), Hak Guna Usaha (HGU), dan Hak Guna Bangunan (HGB) terhadap sejumlah perusahaan di Kantor BKPM, Jakarta, Jumat (7/1/2022). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/rwa.

Meski sudah mendapat lampu hijau dari pemerintah, namun beberapa ormas keagaaam mengaku belum mendapatkan tawaran langsung dari Jokowi. Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, menegaskan hingga saat ini tidak ada pembicaraan dan tawaran mengenai hal itu ke Muhammadiyah. Namun, kebijakan melegalkan izin usaha pertambangan kepada ormas keagamaan, adalah wewenang pemerintah.

"Sampai saat ini tidak ada pembicaraan dan tawaran untuk Muhammadiyah," kata Mu'ti saat dihubungi Tirto, Jumat (31/5/2024).

Sementara Ketua GP Ansor, Addin Jauharudin, menyambut baik kebijakan baru tersebut. Kendati, pihaknya sendiri belum diajak diskusi lebih lanjut perihal kewenangan baru Jokowi yang mengizinkan ormas keagamaan mengelola WIUPK.

“Belum. Tapi bahwa ide itu bagus lah. Kalau diajak ngobrol boleh. Saya kira itu kan kontribusi bersama terhadap komponen yang membangun negara ini lah. Salah satunya ormas,” ujar Addin di Istana Kepresidenan Jakarta, beberapa waktu lalu.

Kebijakan Blunder

Pemberian kewenangan pemerintah kepada ormas keagamaan kelola tambang justru mendapatkan reaksi keras sejumlah pihak. Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menilai kebijakan baru Jokowi tersebut merupakan blunder.

“Ada konflik kepentingan yang barangkali menimpa Jokowi. Misalnya, untuk kasih ke organisasi keagamaan pengelola WIUPK,” ujar Fahmy saat dihubungi Tirto, Jumat (31/5/2024) malam.

Menurut Fahmy, kebijakan baru tersebut tidak masuk akal. Karena sejatinya organisasi keagamaan ini tidak mengerti dalam pengelolaan tambang dan bukan sebuah pekerjaan mudah juga. Justru, dia khawatir yang terjadi nantinya ormas itu hanya sebagai makelar yang dapat WIUPK dan dijual ke swasta.

“Atau kalau misalnya nekat organisasi keagamaan akan kelola sendiri itu godaan moral hazard itu besar sekali. Saya khawatir dia akan terjerumus dalam, moral hazard tadi ini justru merugikan bagi organisasi keagamaan,” ujar dia.

Fahmy tidak menampik bahwa pemberian izin kelola tambang ke ormas keagamaan, menjadi semacam komitmen Jokowi sejak lama dan baru direalisasikan sekarang. Dalam hal ini, Jokowi seolah ingin meninggalkan legacy adil pada organisasi keagamaan.

“Itu memang komitmen Jokowi waktu kampanye seolah meninggalkan legacy bahwa dia sangat perhatikan organisasi keagamaan. Tapi dengan cara yang salah. Saya justru khawatir kalau cara itu dipakai itu justru akan bahayakan bagi organisasi keagamaan,” ujar dia.

Direktur Eksekutif Energy Watch, Daymas Arangga Radiandra, menambahkan bahwa kebijakan pemerintah untuk memberikan ruang bagi ormas keagamaan dalam mendapatkan WIUPK memang merupakan kebijakan yang kompleks. Sebab, pemberian WIUPK kepada ormas keagamaan dapat menimbulkan konflik kepentingan antara tujuan sosial ormas dengan tujuan ekonomi dari kegiatan pertambangan.

Selanjutnya, kurangnya pengalaman dan kapasitas dimiliki ormas juga menjadi kekhawatiran. Ormas keagamaan, kata Daymas, umumnya tidak memiliki pengalaman dan kapasitas teknis dalam mengelola kegiatan pertambangan.

“Hal ini dapat menimbulkan risiko terhadap keselamatan kerja, lingkungan, dan keberlanjutan usaha,” ujar dia kepada Tirto, Jumat malam.

Selain itu, lanjut Daymas, pemberian WIUPK kepada ormas keagamaan dapat menciptakan potensi monopoli dalam sektor pertambangan. Terutama jika ormas tersebut memiliki pengaruh politik yang kuat.

Kekhawatiran lainnya juga muncul mengenai transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan WIUPK oleh ormas keagamaan. Mengingat ormas tersebut tidak tunduk pada aturan yang sama ketat dengan perusahaan pertambangan.

“Maka perlu adanya pengawasan yang ketat untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan, penyalahgunaan wewenang, dan dampak negatif lainnya,” pungkas dia.

Kebijakan Baik tapi Sulit Dilakukan

Di sisi lain, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eddy Soeparno, memahami bahwa maksud kebijakan tersebut baik yakni memberikan kesempatan bagi ormas keagamaan untuk bisa berpartisipasi mengelola pertambangan. Tetapi permasalahannya, kata dia, mengelola pertambangan itu membutuhkan kompetensi, pemahaman teknis, keahlian, dan juga membutuhkan finansial tidak kecil.

“Oleh karena itu kita harus menyadari bahwa tentu ormas keagamaan memiliki persyaratan tersebut. Sehingga jangan sampai PP tersebut seakan-akan membuka peluang untuk ormas keagamaan, tapi ternyata persyaratan sulit dipenuhi tidak bisa dimanfaatkan juga,” jelas Eddy kepada Tirto, Jumat malam.

Menurut Eddy, pemerintah juga harus memberikan pemahaman kepada teman-teman dari ormas keagamaan tentang persyaratan dan berbagai tantangan ada di sektor pertambangan. Jangan sampai terkesan memudahkan proses, tetapi kenyataan dalam praktik pelaksanaan itu sulit.

“Secara tidak langsung kita menjerumuskan ormas keagamaan untuk masuk ke sebuah industri yang pengelolaannya tidak gampang,” ujar dia.

Karena menurut Eddy, balik lagi belum tentu semua ormas keagamaan memiliki keahlian, kecakapan dan finansial di sektor pertambangan. Meskipun nantinya akan kerjasama dengan perusahaan memiliki keahlian bahkan perusahaan besar sekalipun.

“Sehingga menikmati pada akhirnya pemain-pemain lama juga. Pemain yang itu-itu juga. Itu yang perlu kita cermati ke depannya,” pungkas dia.

Baca juga artikel terkait TAMBANG atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Politik
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Maya Saputri