tirto.id - Pemerintah resmi menetapkan tarif royalti baru untuk komoditas mineral dan batu bara (minerba), yang akan berlaku mulai 26 April 2025. Perubahan ini tertuang dalam dua regulasi terbaru: Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2025 dan PP Nomor 19 Tahun 2025 yang diundangkan pada 11 April lalu. Hal ini menjadi tantangan baru bagi pelaku industri ekstraktif yang merupakan salah satu penggerak utama ekspor Indonesia.
PP Nomor 18 mengatur soal perlakuan perpajakan dan/atau penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di sektor pertambangan batu bara, sementara PP Nomor 19 menetapkan jenis dan tarif atas PNBP yang berlaku di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Keduanya bertujuan mengoptimalkan PNBP untuk memperkuat ketahanan fiskal serta mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan dan berkeadilan.
“Untuk meningkatkan pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian ESDM, memberikan kepastian hukum dan perlindungan masyarakat, [sumber daya alam] perlu dikelola dan dimanfaatkan untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat,” bunyi PP 19/2025, dikutip Kamis (17/4/2025).
Salah satu tujuan utama aturan ini adalah menyesuaikan tarif royalti yang sebelumnya diatur dalam PP Nomor 26 Tahun 2022. Sejumlah komoditas mengalami perubahan signifikan, terutama dengan diberlakukannya sistem multitarif berdasarkan harga mineral acuan (HMA).
Dalam beleid baru ini, sejumlah komoditas mengalami perubahan tarif royalti, sebagian besar dari sistem tarif tunggal menjadi multitarif yang disesuaikan dengan harga mineral acuan (HMA).
Untuk batu bara open pit, tarif royalti naik menjadi 9 persen per ton untuk batu bara dengan kalori ≤4.200 kkal/kg dan harga batubara acuan (HBA) ≥ 90 dolar AS (sebelumnya 8 persen). Sementara itu, batu bara dengan kalori >4.200–5.200 kkal/kg dan HBA ≥ 90 dolar AS naik dari 10,5 persen menjadi 11,5 persen per ton.
Komoditas nikel juga mengalami penyesuaian signifikan. Royalti bijih nikel yang sebelumnya tarif tunggal 10 persen kini menjadi 14–19 persen per ton. Nikel matte naik dari 2 persen menjadi 3,5–5,5 persen, dan ferro nikel dari 2 persen menjadi 4–6 persen per ton.
Untuk tembaga, tarif royalti bijih tembaga naik dari 5 persen menjadi 10–17 persen per ton. Konsentrat tembaga dari 4 persen menjadi 7–10 persen, sedangkan katoda tembaga dari 2 persen menjadi 4–7 persen per ton.
Sementara itu, emas dan perak dikenakan penyesuaian di berbagai bentuk olahan. Emas dalam bijih tembaga, konsentrat tembaga, lumpur anoda, hingga bullion timbal kini dikenakan tarif 7–16 persen per troy ounce (naik dari rentang sebelumnya 3,75–10 persen). Perak dalam bentuk yang sama naik menjadi 5 persen dari sebelumnya 3,25–4 persen. Emas primer juga mengalami kenaikan ke 7–16 persen dari 3,75–10 persen, dan perak primer ke 5 persen dari 3,25 persen.
Logam lainnya, seperti platina (dari lumpur anoda), mengalami kenaikan dari 2 persen menjadi 3,75 persen per troy ounce. Logam timah yang sebelumnya dikenakan tarif tunggal 3 persen per ton kini menjadi multitarif 3–10 persen tergantung harga acuan.
Sementara itu, untuk memastikan kenaikan tarif royalti tak terlalu membebani sektor pertambangan, Kementerian ESDM mengaku berencana menggelar pertemuan dengan para pengusaha tambang. Pertemuan ini sekaligus juga sebagai respon pemerintah atas keberatan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) terhadap kebijakan kenaikan tarif royalti ini.
“Akan diskusi bagaimana cara supaya margin mereka tetap bagus, tapi royalti naik. Semacam itu lah,” ujar Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bata, Tri Winarno kepada awak media, di Kantor Kementerian ESDM, Senin (15/4/2025).
Menurut Tri, sampai saat ini, pihak yang masih mengekspresikan ketidaksetujuan hanya APNI. Sedangkan pengusaha-pengusaha dengan produksi komoditas lainnya, seperti batu bara, tembaga, emas, perak, dan timah, menerima aturan ini dengan lapang dada. Ia pun menekankan bahwa kenaikan tarif diterapkan berdasarkan laporan keuangan perusahaan dan pembahasan aturan mengenai tarif royalti pun telah mempertimbangkan masukan-masukan dari dunia usaha.
“Tidak mungkin tiba-tiba pemerintah menetapkan kenaikan tarif,” tegas dia.
Bukan Waktu yang Tepat
Sementara itu, pihak lain melihat, kenaikan tarif royalti tak tepat dilakukan ketika kondisi ekonomi global dan domestik sedang tidak baik-baik saja. Sebab, penyesuaian tarif ini dikhawatirkan justru akan menambah tekanan terhadap hulu maupun hilir industri nikel
Pada akhirnya, daya saing industri nikel nasional dikhawatirkan kalah dengan negara-negara lainnya. Pun, dengan kontribusi industri nikel terhadap perekonomian nasional yang juga berpotensi anjlok karena penambahan tarif royalti.
“Dengan cadangan yang menyusut, tingkat produksi dan life of mine akan berkurang. Sehingga, secara long-term (jangka panjang), penerimaan negara justru akan berkurang,” kata Sekretaris Jenderal APNI, Meidy Katrin, dalam keterangan resminya, dikutip Tirto, Kamis (17/4/2025).
Berdasar estimasi Kementerian ESDM, pada 2024, Indonesia memiliki cadangan nikel sebesar 5,32 miliar ton bijih dan 56,11 juta ton logam nikel. Sementara menurut data Badan Geologi Amerika Serikat (United States Geological Survey/USGS), Indonesia tercatat memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, mencapai 55 juta ton atau setara 42,31 persen dari total cadangan nikel dunia yang mencapai 130 juta ton. Sedangkan di sepanjang 2024, Indonesia tercatat memproduksi 2,2 juta ton nikel, naik dari tahun sebelumnya yang sebesar 2,03 juta ton di 2023.
Di sisi lain, saat ini industri pertambangan juga harus menanggung 13 beban kewajiban, termasuk biaya operasional yang tinggi, pajak dan iuran, misalnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH), hingga iuran tetap tahunan. Kemudian, ada pula kewajiban non-fiskal seperti reklamasi pasca tambang dan rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS).
“Dalam situasi global yang menantang, industri ini seharusnya diperkuat dan didukung. Bukan justru dibebani,” sambung Meidy.
Dia khawatir, saat daya saing industri pertambangan, terkhusus nikel semakin anjlok, minat investor untuk menanamkan modalnya pun akan semakin terkikis. Pada akhirnya, akibat tekanan margin pendapatan, industri nikel nasional terpaksa melakukan efisiensi dengan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Kenaikan tarif royalti akan menekan margin produksi penambang dan smelter secara signifikan, berpotensi mengurangi pendapatan negara dari royalti produk smelter yang tidak dapat terjual karena kurang kompetitifnya harga produk di pasar,” jelas Meidy.
Penyesuaian tarif royalti memang akan efektif untuk mengerek pendapatan negara non-pajak. Apalagi, pemerintah mengharapkan PNBP sektor minerba dapat tembus Rp124,5 triliun di tahun ini, naik dari tahun 2024 yang sebesar Rp113,54 triliun.
Namun, di balik itu, ada kondisi industri pertambangan yang dipertaruhkan. Menurut Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep), Bisman Bakhtiar, akhir-akhir ini, kondisi bisnis pertambangan tidak begitu baik, seiring dengan adanya tren pelemahan harga komoditas dunia. Selain itu, kebijakan pemerintah juga cenderung memberatkan. Sebut saja kebijakan wajib parkir devisa hasil ekspor (DHE) Sumber Daya Alam (SDA) di rekening dalam negeri selama setahun.
Kemudian, meski tidak berpengaruh langsung, tarif perdagangan AS sebesar 32 persen terhadap barang-barang Indonesia juga dinilai akan menambah beban industri pertambangan.
“Pasti akan terpengaruh. Terpengaruhnya itu pertama pada aspek operasional. Karena prinsipnya kan beban operasional ditambah, tapi pengeluaran juga bertambah besar. Termasuk juga royalti, itu kan operasional akan semakin berat. Pasti akan berkurang keuntungannya atau dividennya. Ketiga, pasti nanti juga akan berpengaruh kepada rencana investasi dan pengembangan,” jelas Bisman, kepada Tirto, pada Kamis (17/4/2025).
Pada akhirnya, kenaikan tarif royalti ditakutkan akan membuat produksi industri pertambangan mengalami penurunan. Pun, dalam jangka pendek, ketika harga komoditas masih saja mengalami tekanan, kondisi keuangan perusahaan-perusahaan tambang yang sudah berat membuat investor ‘wait and see’ untuk menanamkan modalnya.
“Pasti kan investor melihat ada kebijakan atau ketidakkonsistenan terkait dengan implementasi hukum dari pemerintah Indonesia,” sambung dia.
Hal berbeda disampaikan Pakar Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Menurutnya, memang sudah saatnya pemerintah menaikkan tarif royalti sektor minerba untuk mengerek pendapatan negara dan menutup defisit fiskal yang ada.
Kenaikan tarif, lanjutnya, dinilai tidak akan memberikan dampak signifikan bagi industri dan hanya akan menurunkan keuntungan yang selama ini didapat. Dengan lonjakan harga komoditas yang beberapa kali terjadi sebelumnya, kenaikan tarif royalti juga dinilai tidak akan terlalu membebani industri, khususnya para pengusaha batu bara.
"Selama ini gitu ya, keuntungan dari penambang batu bara itu kan sangat besar, di harga di atas 100 (dolar AS) saja misalnya, itu keuntungannya sudah sangat besar karena harga pokok produksi mereka itu sekitar 35 dolar per ton. Nah, kalau harganya 100 atau bahkan pernah 400, keuntungan mereka sangat besar sekali, sementara royaltinya tetap," kata Fahmy, saat dihubungi Tirto, Kamis (17/4/2025).
Karena itu, alih-alih mengurangi atau menunda kenaikan tarif royalti, akan lebih baik jika perusahaan tambang dikenakan pula pajak progresif. Pungutan pajak yang berasal dari kenaikan harga komoditas.
Sebab, ketika terjadi commodity boom, tidak hanya perusahaan saja yang bisa mendulang untung, melainkan juga negara bisa mendapat cipratan keuntungan.
"Selama ini pengusaha atau penambang batu bara, nikel, timah dan lain sebagainya itu sudah sangat besar (keuntungannya). Itu maksudnya yang harus dibagikan pada negara dalam bentuk kenaikan royalti tadi," tegas Fahmy.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Farida Susanty