Menuju konten utama
Newsplus

Pasca Trump Tunda Kebijakan Tarif, Indonesia Mesti Bersiap

Menurut pengamat, meski ada penundaan 3 bulan, Indonesia masih terancam dampak ekonomi lanjutan dari kebijakan tarif Trump, termasuk terjadinya PHK.

Pasca Trump Tunda Kebijakan Tarif, Indonesia Mesti Bersiap
Presiden AS Donald Trump mengangkat salinan Laporan Estimasi Perdagangan Nasional 2025 saat ia berpidato dalam acara pengumuman perdagangan “Make America Wealthy Again” di Rose Garden, Gedung Putih pada 2 April 2025 di Washington, DC. Trump yang menyebut acara tersebut sebagai “Hari Pembebasan” diperkirakan akan mengumumkan tarif tambahan yang menargetkan barang-barang yang diimpor ke AS. Chip Somodevilla/Getty Images/AFP (Foto oleh CHIP SOMODEVILLA / GETTY IMAGES NORTH AMERICA / Getty Images via AFP)

tirto.id - Pada 2 April 2025, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan pengenaan tarif impor 10 persen untuk seluruh mitra dagang yang mengirimkan barangnya ke AS. Ongkos tambahan ini disebut tarif timbal balik atau resiprokal dan akan mulai berlaku tiga hari setelah diumumkan. Artinya, tarif tersebut efektif memukul mitra dagang AS per 5 April 2025.

Selain itu, puluhan negara juga dikenakan tarif timbal balik khusus, yang lebih tinggi dari 10 persen. Indonesia menjadi salah satunya, tarif impor produk lokal ke AS sebesar 32 persen. Mengutip lembar fakta resmi Gedung Putih, tarif ini akan berlaku efektif per 9 April 2025. Tarif ini akan tetap berlaku hingga Trump menentukan bahwa ancaman yang ditimbulkan oleh defisit perdagangan dan perlakuan nontimbal balik yang mendasari pengenaan tarif terpenuhi, diselesaikan atau dikurangi.

“Perintah IEEPA saat ini juga berisi kewenangan modifikasi, yang memungkinkan Presiden Trump untuk meningkatkan tarif jika mitra dagang membalas atau menurunkan tarif jika mitra dagang mengambil langkah-langkah signifikan untuk memperbaiki pengaturan perdagangan nontimbal balik dan bersekutu dengan Amerika Serikat dalam masalah ekonomi dan keamanan nasional,” tulis lembar fakta Gedung Putih.

Adapun IEEPA kepanjangan dari International Emergency Economic Powers Act of 1977 atau Undang-Undang Kekuatan Ekonomi Darurat Internasional. Aturan ini memberi kewenangan presiden mengatur perdagangan internasional setelah menyatakan keadaan darurat nasional.

Namun, kurang dari 24 jam setelah tarif resmi diberlakukan, Trump dengan mengejutkan mengumumkan penundaan pengenaan tarif pada Kamis (10/4/2025). Jeda penerapan tarif timbal balik ke 56 negara mitra dagang, termasuk Indonesia, berlaku 90 hari atau tiga bulan penuh.

Menariknya, penundaan ini tidak berlaku untuk Cina. Negara Tirai Bambu baru-baru ini justru mendapat peningkatan tarif menjadi 145 persen. Ini terjadi karena Beijing memilih melakukan retaliasi, dengan memberlakukan tarif tandingan kepada AS. Tiongkok juga membuat kebijakan non-tarif lainnya seperti melarang sejumlah film produksi AS masuk hingga melarang warganya bepergian dan belajar di Negeri Paman Sam.

Penundaan Tarif Beri Kesempatan Indonesia Menyesuaikan Strategi

Jeda sementara penerapan tarif ini disambut baik pemerintah Indonesia. Menteri Keuangan, Sri Mulyani, di sela pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN di Kuala Lumpur, Kamis (10/4/2025) mengatakan, penundaan pengenaan tarif akan memberikan kesempatan bagi Indonesia dan banyak negara lainnya untuk mengurangi atau menghindari risiko penurunan pertumbuhan ekonomi.

"Perkiraan situasi saat ini, sebelum jeda, dapat mengurangi potensi pertumbuhan kita antara 0,3 persen (terhadap) PDB (produk domestik bruto) hingga 0,5 persen,” kata dia, dikutip dari Reuters, Jumat (11/4/2025).

Karenanya, Ani –sapaan Sri Mulyani– mengaku akan memanfaatkan masa jeda ini untuk membahas kerangka kerja sama dengan negara-negara ASEAN. Selain untuk meminimalkan dampak tarif Trump, juga untuk meningkatkan ketahanan kawasan.

“Kita harus terus bersikap sangat hati-hati. ... Pengeluaran harus dibuat lebih efisien, tepat sasaran, dan efektif dalam mendukung pertumbuhan di sisi moneter,” imbuhnya.

Sarasehan Ekonomi Nasional

Menteri Keuangan Sri Mulyani (kiri), Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan (tengah), dan Menteri Investasi dan Hilirasasi sekaligus CEO Danantara Rosan Roeslani (kanan) berbincang di sela Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden RI di Menara Mandiri, Senayan, Jakarta, Selasa (8/4/2025). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/Spt.

Alih-alih melakukan aksi perlawanan, pemerintah tengah berupaya mengedepankan upaya negosiasi dengan peningkatan impor dari AS, pemotongan pajak, proses impor lebih mudah, hingga pelonggaran Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) sebagai alat tawar kepada Trump.

Sebagaimana diketahui, beberapa hal yang menjadi sebab diterapkannya tarif perdagangan tinggi kepada Indonesia karena Trump merasa bahwa tarif 30 persen yang dibebankan kepada produk etanol jauh lebih besar ketimbang produk serupa di AS. Selain itu, kebijakan TKDN di banyak sektor dinilai terlalu ketat, sementara perizinan impor buruk, juga munculnya kebijakan setoran Devisa Hasil Ekspor (DHE) Sumber Daya Alam (SDA) kepada perusahaan ke rekening dalam negeri.

Sebelumnya, dalam Sarasehan Ekonomi yang dihelat di Menara Mandiri, Jakarta Pusat, Senin (7/4/2025), Ani menjelaskan bahwa untuk menghadapi guncangan ekonomi global yang ditimbulkan oleh tarif perdagangan tinggi Trump, pemerintah mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai bantalan. Salah satu caranya, adalah melalui keberlanjutan pemberian berbagai program subsidi, khususnya kepada masyarakat berpendapatan rendah (MBR).

“Kami akan terus melakukan reform, terutama di bidang pajak, bea cukai, dan prosedur supaya ini betul-betul mengurangi beban. Sesuai dengan penekanan Bapak Presiden (Prabowo Subianto) ini adalah waktu yang tepat untuk deregulasi dan reform yang lebih ambisius," ujarnya kala itu.

Pada saat yang bersamaan, pemerintah juga akan berusaha mengurangi 14 persen beban tarif impor yang dirasakan pengusaha. Upaya tersebut dilakukan dengan mengurangi 2 persen beban pengusaha yang berasal dari reformasi administrasi perpajakan dan bea cukai, memangkas tarif pajak penghasilan (PPh) impor dari 2,5 persen menjadi 0,5 persen, menyesuaikan tarif bea masuk produk impor yang semula di kisaran 5-10 persen menjadi 0-5 persen, dan menurunkan tarif bea keluar minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).

“Menanggapi kebijakan tarif tersebut, Presiden RI Prabowo Subianto telah menginstruksikan kabinetnya untuk bergerak maju dengan beberapa strategi. Strategi tersebut meliputi diplomasi, solidaritas regional, dan diversifikasi jangka panjang. Indonesia akan terus mengupayakan pertumbuhan perdagangan yang berkelanjutan sesuai visi jangka panjang Pemerintah Indonesia,” jelas Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag), Dyah Roro Esti Widya Putri, dalam keterangan resminya, dikutip Jumat (11/5/2025).

Kebijakan Tarif Trump Bisa Merambat Sampai PHK di Indonesia

Terlepas dari itu, kebijakan tarif Trump akan berdampak langsung terhadap perekonomian Indonesia melalui jalur perdagangan, khususnya ekspor. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, kontribusi ekspor barang dan jasa terhadap PDB Indonesia mencapai sekitar 22,18 persen pada tahun 2024, dengan tujuan ekspor terbesar kedua Indonesia adalah AS yang sebesar 26,3 miliar dolar AS.

“Komoditas ekspor utama Indonesia yang paling terdampak adalah mesin/peralatan elektronik, pakaian dan aksesoris rajutan, alas kaki, serta pakaian dan aksesoris non-rajutan,” kata Dosen FEB Universitas Hasanuddin, Muhammad Syarkawi Rauf, dalam keterangannya, dikutip Jumat (11/4/2025).

Sebaliknya, bagi AS, ekspor Indonesia hanya sekitar satu persen dari total impor AS. Impor AS tertinggi berasal dari Eropa, sebesar 18,5 persen, dan China sebesar 13,4 persen. Hal inilah yang kemudian membuat Eropa dan Cina terpukul tarif perdagangan dari AS paling besar.

Terpisah, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menjelaskan meski tarif resiprokal ditunda selama tiga bulan, Indonesia tetap terkena tarif dasar 10 persen. Ekspor Indonesia ke AS memang hanya berkontribusi sebesar 10,5 persen dari total ekspor non-migas nasional. Namun, dampak rambatan dari pengenaan tarif dasar ini tak dapat dihindari.

Belum lagi, sebelum adanya tarif resiprokal, produk otomotif Indonesia sudah kena tarif 25 persen ke AS dan tak ada penundaan sampai sekarang. Trump sebelumnya mengumumkan tarif tambahan untuk mobil yang tidak dirakit di dalam negerinya. Dus, situasi ini jelas berisiko bagi sektor otomotif dan elektronik domestik yang sedang di ujung tanduk.

“Total ekspor produk otomotif Indonesia tahun 2023 ke AS 280,4 juta dolar AS, setara Rp4,64 triliun (Kurs 16.600). Rata-rata 2019-2023 pertumbuhan ekspor produk otomotif ke AS 11 persen. Pertumbuhan ekonomi bisa jadi negatif begitu ada kenaikan tarif yang tinggi,” papar Bhima, kepada Tirto, Jumat (11/4/2025).

Dengan tarif 25 persen untuk mobil impor, akan membuat konsumen AS menanggung tarif dengan harga pembelian kendaraan yang lebih mahal. Akibatnya, penjualan kendaraan bermotor berpeluang turun di AS. Lesunya permintaan domestik akan membuat probabilitas resesi ekonomi AS semakin besar. Namun, ketika pertumbuhan ekonomi AS turun 1 persen, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga akan ikut terkoreksi setidaknya 0,08 persen.

“Produsen otomotif Indonesia tidak semudah itu shifting ke pasar domestik, karena spesifikasi kendaraan dengan yang diekspor berbeda. Imbasnya layoff (pemutusan hubungan kerja, PHK) dan penurunan kapasitas produksi semua industri otomotif di dalam negeri,” lanjut Bhima menjelaskan dampak bergandanya.

Sayangnya, PHK tidak terbatas hanya pada industri otomotif saja, tapi juga komponen elektronik. Hal ini disebabkan kaitan antara produsen elektronik dan suku cadang kendaraan bermotor cukup erat.

Kemudian, sektor padat karya seperti pakaian jadi dan tekstil diperkirakan makin terpuruk, karena sebagian besar brand internasional yang ada di Indonesia, punya pasar besar di AS. Sehingga, begitu terkena tarif yang lebih tinggi, merek-merek itu akan menurunkan jumlah pemesanan (order) ke pabrik Indonesia. Sementara di dalam negeri bakal dibanjiri produk Vietnam, Kamboja dan Cina karena mereka mengincar pasar alternatif.

“Permendag (Peraturan Menteri Perdagangan) 8/2024 belum juga direvisi, jadi ekspor sulit, impor akan menekan pemain tekstil pakaian jadi domestik. Ini harus diubah regulasinya secepatnya,” sambung Bhima.

Namun, bukannya memperketat regulasi, pemerintah justru membuka peluang penghapusan kuota impor untuk produk-produk ‘yang menyangkut hajat hidup orang banyak’. Penghapusan kuota impor justru bak, Indonesia kalah sebelum bertanding.

“Kalau kuota dihapus, lalu perlindungan bagi industri domestiknya bagaimana? Ini harus clear dulu. Kalau buru-buru hapus kuota impor, sementara saat perang dagang Indonesia jadi tujuan impor dari berbagai negara apa itu tidak blunder? Presiden harus punya beberapa pertimbangan,” kata dia.

Sekarang, yang bisa dilakukan Indonesia adalah bersiap lomba mengejar peluang relokasi pabrik dengan negara-negara berkembang lainnya. Indonesia tidak boleh terkecoh dengan tarif resiprokal yang lebih rendah dari Vietnam (49 persen) dan Kamboja (46 persen). Sebab, dari segi daya saing industri, kedua negara itu jauh lebih tangguh.

“Kuncinya di regulasi yang konsisten, efisiensi perizinan, tidak ada RUU yang buat gaduh, RUU Polri dan RUU KUHAP ditunda dulu, kesiapan infrastruktur pendukung kawasan industri, sumber energi terbarukan yang memadai untuk pasok listrik ke industri, dan kesiapan sumber daya manusia,” sebut Bhima menjabarkan.

Menurut dia, faktor-faktor itu jauh lebih penting untuk diterapkan, karena Indonesia sudah tidak bisa lagi mengguyur dunia usaha dengan insentif fiskal berlebihan, seiring adanya Pajak Minimum Global (Global Minimum Tax) yang telah diratifikasi. Selain itu, Bank Indonesia (BI) juga masih punya ruang untuk operasi moneter, saat cadangan devisa gemuk. BI bahkan bisa turunkan suku bunga acuan 50 basis poin (bps), sebagai stimulus untuk sektor riil yang terdampak perang dagang.

“Kalau sebelumnya tarik investor dengan tax holiday dan tax allowances, sekarang saatnya perbaiki daya saing yang fundamental,” tegas Bhima.PERAKITAN LOKAL MERCEDES-BENZ

Pekerja merakit mobil Mercedes-Benz The News E-Class di pabrik Mercedes-Benz Indonesia di Wanaherang, Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat, Selasa (24/1). Marcedes-Benz Indonesia memulai proses perakitan lokal tipe sedan bisnis The New E-Class yang akan tersedia di showroom di seluruh Indonesia mulai kuartal kedua tahun 2017. ANTARA FOTO/Prasetyo Utomo/ama/17.

Sementara itu, Dosen FEB Universitas Hasanuddin, Muhammad Syarkawi Rauf, menilai penguatan dari dalam sebagai kunci. Dia menyebut untuk mengantisipasi kebijakan tarif Trump sehingga tidak mendistorsi pertumbuhan ekonomi nasional adalah dengan meningkatkan konsumsi domestik dan efisiensi industri manufaktur.

Selain itu, reformasi tata niaga ekspor dan impor dengan menghilangkan hambatan tarif dan non-tarif juga perlu dilakukan. “Konsistensi pemerintah menghapus kuota impor terhadap barang-barang yang produksi dalam negerinya sangat kecil, khususnya barang kebutuhan pokok,” ujarnya kepada Tirto, Jumat (11/4/2025).

Dia juga menyebut penting melakukan negosiasi langsung, bukan retaliasi, dengan pemerintahan Trump, untuk merelaksasi tarif terhadap produk ekspor Indonesia juga harus terus dilakukan. Hal ini menjadi penting karena produk ekspor Indonesia ke AS adalah barang yang bersifat komplementer dan tidak bersifat substitusi dengan produk AS.

“Langkah keempat, mencari pasar ekspor baru, seperti ke EU dan Timur Tengah. Mengingat ekspor Indonesia ke kawasan ini jumlahnya masih sangat kecil, khususnya untuk produk elektronik, tekstil dan produk dari tekstil,” tutup dia.

Baca juga artikel terkait TARIF TRUMP atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - News
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Alfons Yoshio Hartanto