Menuju konten utama

Manuver Kebijakan Tarif Trump dan Pertarungan Dagang AS vs Cina

Kebijakan tarif Donald Trump kemungkinan telah dijadikan Test The Water, untuk memastikan apakah peran global AS masih diakui dunia atau tidak.

Manuver Kebijakan Tarif Trump dan Pertarungan Dagang AS vs Cina
Presiden AS Donald Trump.

tirto.id - Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, mengumumkan jeda penerapan tarif timbal balik ke hampir semua negara selama 90 hari atau tiga bulan penuh, termasuk Indonesia yang terkena tarif sebesar 32 persen. Menariknya, penundaan ini tidak berlaku untuk Cina yang dianggap AS sebagai negara penentang utama kebijakan mereka.

Alih-alih mendapat keringanan atau penundaan, Trump justru 'menghukum' Negeri Tirai Bambu dengan menaikkan tarif ke Cina menjadi 125 persen dari 104 persen setelah Tiongkok mengumumkan tarif pembalasan tambahan terhadap Amerika Serikat pada Rabu pagi.

“Berdasarkan kurangnya rasa hormat yang ditunjukkan Tiongkok kepada pasar dunia, dengan ini saya menaikkan tarif yang dibebankan ke Tiongkok oleh Amerika Serikat menjadi 125 persen, berlaku segera,” kata Trump dalam unggahan media sosialnya, dikutip dari CNN, Kamis (10/4/2025).

“Pada suatu saat, mudah-mudahan dalam waktu dekat, Tiongkok akan menyadari bahwa hari-hari menipu AS dan negara-negara lain tidak lagi dapat dipertahankan atau diterima,” lanjut Trump.

Seturut pemberitaan BBC, penurunan tarif ke angka 10 persen juga tidak berlaku untuk negara-negara yang dianggap Trump sebagai "penentang terburuk". Trump menuduh negara-negara ini menjalankan praktik perdagangan yang tidak adil dengan AS.

Negara yang masuk kategori itu antara lain 27 negara anggota Uni Eropa, Vietnam, dan Afrika Selatan. Tarif resiprokal yang diterapkan Trump kepada negara kategori ini berkisar antara 11 persen hingga lebih dari 100 persen.

Peta Respons Negara Dunia Kebijakan Tarif Trump

Negara-negara dunia memberikan respons berbeda terhadap kebijakan awal tarif resiprokal dari Trump. Respons ini yang mempengaruhi perlakuan Trump terhadap sejumlah negara mengumumkan jeda penerapan tarif timbal balik ke hampir semua negara selama 90 hari atau tiga bulan penuh baru-baru ini.

Beberapa negara seperti Cina, Kanada dan negara anggota Uni Eropa memberikan reaksi keras berupa retaliasi dan perlawanan terhadap kebijakan itu. Deretan negara ini dilabeli “penentang terburuk” oleh Trump dan tidak mendapatkan relaksasi jeda penerapan tarif timbal balik dari AS.

Cina merupakan negara yang bereaksi paling keras bahkan dengan lantang menolak kebijakan tarif AS ini. Cina yang terpukul dengan tarif timbal balik sebesar 34 persen bersumpah bakal melakukan tindakan balasan sendiri.

Cina menyatakan akan mengenakan tarif resiprokal sebesar 34 persen kepada semua produk impor AS, Jumat (4/3/2025). Tarif ini akan berlaku pada 10 April 2025.

"Cina mendesak AS untuk segera mencabut tindakan tarif sepihaknya dan bekerja sama dengan mitra dagang untuk menyelesaikan perbedaan melalui dialog yang adil dan konstruktif," kata Kementerian Perdagangan Cina dalam sebuah pernyataan dalam bahasa Mandarin pada Rabu malam (2/4/2025) seperti dikutip dari TIME Magazine.

Tarif timbal balik disebut, "Melanggar aturan perdagangan internasional, melanggar hak-hak dan kepentingan yang sah dari pihak-pihak lain, dan merupakan tindakan penindasan sepihak".

Juru bicara kementerian luar negeri Cina juga menyuarakan hal yang sama, mengatakan bahwa tarif Trump sangat melanggar aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan merusak sistem perdagangan multilateral yang berbasis aturan.

“Cina dengan tegas menolak hal ini dan akan melakukan apa yang diperlukan untuk mempertahankan hak-hak dan kepentingan kami yang sah,” kata dia.

Uni Eropa juga menjadi bagian yang paling keras menentang kebijakan Trump itu. Blok yang terdiri dari 27 negara eropa ini dengan mengumumkan tarif balasan senilai lebih dari 20 miliar Euro atas ekspor produk Amerika Serikat.

"Kami tidak ingin harus membalas, tapi maafkan jika kedengarannya seperti sikap anak saya yang berusia tiga tahun: 'Mereka kan yang mulai duluan‘, " ucap Olof Gill, yang merupakan juru bicara Komisioner Perdagangan Uni Eropa (UE),

Seturut pemberitaan DW, bahwa gelombang pertama tarif balasan, dengan kenaikan hingga 25 persen akan menyasar komoditas baja dan aluminium, serta berbagai produk pangan seperti unggas, kacang-kacangan, dan kedelai.

Negara tetangga AS, Kanada juga memberikan respons keras menyatakan telah mulai memberlakukan tarif sebesar 25 persen terhadap impor kendaraan tertentu dari Amerika Serikat, sebagai balasan terhadap kebijakan serupa dari negara tetangganya tersebut.

Tarif ini – atau pajak impor – akan dibayar oleh warga Kanada yang membeli beberapa jenis mobil atau suku cadangnya dari AS sebagai bagian dari respons tarif yang ditetapkan Trump yang dinilai "tidak berdasar dan tidak masuk akal."

Meskipun Kanada tidak secara langsung terkena gelombang tarif baru AS – yang juga mulai berlaku pada tengah malam – Ottawa sudah lebih dulu terlibat konflik dengan Washington terkait kebijakan Trump sebelumnya, yang mengenakan pajak terhadap berbagai barang yang melintasi perbatasan.

Negara lain seperti Singapura menyatakan kekecewaannya terhadap kebijakan Trump meski terlihat tidak memberikan balasan kebijakan untuk AS seperti Cina, Uni Eropa dan Kanada.

Seperti yang dikabarkan Reuters, Perdana Menteri Singapura, Lawrence Wong, menyatakan keprihatinannya atas kebijakan tarif 10% yang diterapkan AS secara universal.

Ia menilai bahwa tarif ini tidak dapat dinegosiasikan dan dapat berdampak negatif pada ekonomi Singapura yang sangat bergantung pada perdagangan. Wong juga menekankan bahwa tindakan AS ini merusak hubungan perdagangan jangka panjang antara kedua negara, terutama mengingat adanya perjanjian perdagangan bebas yang telah disepakati.

Negara lain seperti Indonesia lebih memilih melakukan soft diplomacy melalui jalur diplomasi negosiasi. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia tidak akan mengambil langkah retaliasi atas kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan AS.

Indonesia, kata Airlangga, memilih menempuh jalur diplomasi dan negosiasi untuk mencari solusi yang saling menguntungkan bagi kedua negara. Pendekatan tersebut, diambil dengan mempertimbangkan kepentingan jangka panjang hubungan perdagangan bilateral, serta menjaga iklim investasi dan stabilitas ekonomi nasional.

“Kita dikenakan waktu yang sangat singkat, yaitu 9 April, diminta untuk merespons. Indonesia menyiapkan rencana aksi dengan memperhatikan beberapa hal, termasuk impor dan investasi dari Amerika Serikat,” ujar Airlangga dalam keterangan tertulisnya, Minggu (6/4/2025).

Di Balik Strategi Trump Menunda Penerapan Tarif

Menteri Keuangan AS Scott Bessent membela kebijakan sang presiden yang menunda penerapan tarif timbal balik selama 90 hari itu. Ia menyebut langkah ini merupakan bagian dari strategi brilian yang telah diperhitungkan sejak awal.

“Inilah strateginya sejak awal. Presiden Trump menciptakan daya tawar maksimum bagi dirinya sendiri,” ujar Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, seperti yang dikutip dari The Guardian, Kamis (10/4/2025).

Pembelaan juga datang dari Juru Bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, yang menyebut langkah itu merupakan bagian dari strategi yang cermat dari politisi Partai Republik itu.

“Banyak dari kalian di media jelas tidak paham dengan The Art of the Deal. Kalian gagal melihat apa yang sebenarnya sedang dilakukan Presiden Trump,” ujar Karoline Leavitt, juru bicara Gedung Putih.

Dosen hubungan internasional dari Universitas Pelita Harapan, Edwin Martua Bangun Tambunan, menilai penundaan pemberlakukan kebijakan tarif yang dilakukan oleh Trump bisa mengindikasikan dua hal.

Pertama, Trump dan pemerintahannya belum sepenuhnya siap dengan dampak dari pemberlakukan tarif terhadap perekonomian domestik AS. Edwin menjelaskan, dalam hubungan internasional, pemberlakuan hambatan tarif ataupun pemberlakukan sanksi hanya akan efektif apabila negara yang melakukannya tidak terkena dampak balik.

Ia menjelaskan, bagi AS pemberlakukan kebijakan tarif baru jelas akan berdampak dalam jangka pendek, yaitu menyulitkan masyarakat dan industri domestik AS dengan melonjak harga barang konsumsi dan bahan baku.

“Penundaan akan memberikan kesempatan bagi semua pihak di dalam negeri untuk mempersiapkan diri menghadapi blunder balik, efek boomerang, maupun konsekuensi tidak terduga dari kebijakan yang telah diputuskan,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Jumat (11/4/2025)

Kedua, oleh pemerintahan Trump, kenaikan kebijakan tarif kemungkinan telah dijadikan test the water, untuk memastikan apakah peran global AS masih diakui dunia atau tidak.

Dalam praktiknya, kebijakan drastis yang ditempuh Trump itu memberi bukti bahwa masih banyak negara yang mengandalkan AS sebagai destinasi ekspornya hingga akhirnya membuka pintu untuk merundingkan tarif tinggi yang selama ini berlaku. Negosiasi ini akan menyebabkan komoditi AS akan lebih mudah masuk ke negara-negara tersebut dan pada akhirnya industri dalam negeri AS akan lebih bergerak.

“Sementara itu, titik keseimbangan tarif yang dihasilkan dari negosiasi AS dan negara-negara lainnya akan membuat harga komoditi impor di dalam negeri AS juga tidak akan melonjak tanpa kendali akibat retaliasi tarif,” ujarnya.

Edwin melihat, penundaan ini tampaknya sudah menjadi bagian dari skenario Trump dan jajarannya untuk membalikkan defisit perdagangan yang selama ini dialami AS dengan banyak negara.

“Apabila berhasil, surplus perdagangan dengan banyak negara akan menjadi substitusi atas kerugian ekonomi yang dialami AS akibat perang dagangnya dengan Tiongkok,” ujarnya.

Nilai ekspor dan impor Jawa Timur

Truk memuat kontainer melintas di lapangan penumpukan kontainer (container yard) di PT Terminal Petikemas Surabaya, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (5/2/2025). ANTARA FOTO/Didik Suhartono/rwa.

Dosen di Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Ignasius Loyola Adhi Bhaskara, menilai langkah penundaan penerapan tarif yang diambil Trump sifatnya sangat pragmatis dan hal ini sangat dipengaruhi oleh latar belakangnya yang sangat kuat sebagai pebisnis.

Dari perspektif hubungan internasional, pria yang akrab disapa Adhi Baskara atau Aska ini menilai penundaan yang dilakukan Trump merupakan bagian dari strategi untuk menempatkan AS dalam posisi yang diuntungkan dalam ruang negosiasi bagi negara-negara terdampak tarif.

“Jadi pertama dia memberikan efek kejut dengan penerapan tarif yang mengagetkan bagi semua pihak (bahkan juga terhadap sekutu-nya AS), baru kemudian seolah-olah membuat kompromi dengan memberikan penundaan,” ujarnya.

Dari aspek diplomasi, strategi ini merupakan cara untuk mendapatkan keuntungan posisi psikologis dalam negosiasi yang seolah-olah memperlihatkan AS memberikan "keringanan" bagi pihak lawan negosiasi.

Situasi ini, ditambah fakta bahwa AS memang merupakan negara tujuan ekspor besar bagi banyak negara. Hal ini membuat negosiasi AS dengan negara-negara tersebut nantinya menjadi relatif lebih mudah dan menguntungkan buat AS.

“Mengapa Cina tidak? Hemat saya, Cina secara kekuatan ekonomi saat ini merupakan pesaing utama kekuatan ekonomi AS. Jadi, Trump memang berusaha memberikan tekanan terhadap Cina (bagian dari keinginan untuk MAGA),” ujarnya.

Pengamat hubungan internasional dari Fakultas Humaniora Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor, Sofi Mubarok, menilai penundaan penerapan tarif selama 90 hari yang dilakukan oleh Trump, tujuan sebenarnya dari kebijakan tarif timbal balik yang ia keluarkan sebelumnya.

“Fokus utama Trump, adalah kekecewaannya terhadap tarif yang ia anggap tidak menguntungkan AS selama ini, yang mengakibatkan defisit perdagangan. Maka ia ingin renegosiasi dan penyesuaian,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Jumat (11/4/2025).

Sofi menambahkan kebijakan mad man ala Trump ini sepertinya sudah dipahami oleh banyak negara. Dalam kasus ini, penggunaan strategi tarif sebagai alat negosiasi. Maka, mayoritas negara termasuk Indonesia mengutamakan untuk melakukan negosiasi daripada membalas dengan kebijakan tarif yang sama.

“Dengan Cina, problemnya menjadi berbeda: Pertama, ia merupakan 'ancaman' utama bagi AS terutama dibidang ekonomi. Berbeda dengan uni eropa misalnya, yang memiliki identitas 'mitra strategis' tradisional AS selama ini,” ujarnya.

Kedua, Cina secara konsisten menggunakan tarif tinggi dan non tarif untuk melindungi pasar domestiknya. Ketiga, respon Cina yang cepat dengan membalas dengan tarif 84 persen untuk beberapa produk AS, dianggap AS tidak menghormati posisi AS.

Perang Dagang AS-Cina Makin Memanas?

Cina yang dianggap AS sebagai negara penentang utama kebijakan mereka, langsung memberikan respons setelah Washington ‘menghukum' Negeri Tirai Bambu dengan menaikkan tarif ke Cina menjadi 125 persen dari 104 persen. Dengan lantang mereka menyebut perang dagang Donald Trump dengan Beijing akan berakhir dengan kegagalan bagi Washington.

Seturut yang diberitakan The Guardian, Negeri Tirai Bambu langsung memberikan serangan balik dengan menerapkan dengan bea masuk sebesar 84 persen atas produk-produk AS.

Tarif dari Beijing tersebut merupakan pukulan terbaru terhadap Trump, yang pada hari Rabu mengumumkan jeda terhadap tarif tertingginya terhadap puluhan negara — dibatasi pada 10% selama 90 hari — namun tidak berlaku untuk Cina, karena Beijing menolak untuk mencabut langkah-langkah balasannya.

Pada hari Kamis, kementerian luar negeri Cina menyatakan bahwa Beijing tidak mencari konfrontasi, namun tidak akan gentar jika Amerika Serikat terus mengancam dengan tarif.

“Tujuan AS tidak mendapat dukungan rakyat dan akan berakhir dengan kegagalan,” kata juru bicara kementerian, Lin Jian, dalam konferensi pers reguler, seperti yang dikutip dari The Guardian.

Beijing, yang menyatakan bahwa tarif balasan mereka akan mulai berlaku pada hari Kamis, mengimbau negara-negara lain untuk bersatu melawan tarif Trump, seiring para eksportir Cina yang terpukul akibat beban baru tersebut.

“Persatuan global bisa mengalahkan tirani perdagangan,” demikian bunyi editorial di surat kabar milik pemerintah, China Daily, yang menyoroti kerjasama Beijing dengan Jepang, Korea Selatan, dan ekonomi Asia lainnya, dilansir dari BBC.

Edwin dari UPH menjelaskan perang dagang sudah dan sedang terjadi saat ini antara AS dan Cina.

“Tujuan dari perang ini dari perspektif AS, selain untuk memenangkan persaingan memperebutkan pangsa pasar global, juga adalah untuk membebaskan AS dari ketergantungannya dalam perdagangan terhadap Tiongkok,” ujarnya.

Dalam perang ini, setidaknya untuk jangka pendek, Cina belum bisa mendapat substitusi destinasi ekspornya untuk menggantikan AS. Di sisi lain, Cina juga masih bergantung kepada perangkat teknologi tinggi digital dari AS untuk mendukung pengembangan industri dalam negerinya yang berskala global.

“Perang dagang yang besar baru akan meledak apabila kedua negara mengalami kebuntuan dalam menyelesaikan perlombaan tarif yang berlangsung sekarang,” ujarnya.

Dari kacamata hubungan internasional, Edwin mengamati lebih banyak negara yang memilih menjaga jarak dari perang yang sedang berlangsung antara AS dan Cina ini. Hal ini disebabkan, sejumlah negara sama-sama membutuhkan AS dan Cina untuk kepentingan ekonomi dan politiknya.

“Lebih memilih strategi menghindari risiko dan ketidakpastian dengan tidak berpihak secara tegas antara dua kutub kekuatan. Indonesia termasuk salah satu di dalamnya,” ujarnya.

Sementara itu, Aska dari Unpar melihat kedua negara superpower ini yang saat ini tengah berseteru yaitu AS dan Cina sama-sama melihat diri mereka punya modal untuk memenangkan situasi yang sedang terjadi.

Dari perspektif hubungan internasional situasi ini bisa dijelaskan melalui teori konflik yaitu ketika aktor yang terlibat dalam konflik masih memiliki kepercayaan diri untuk memenangkan konflik, maka kemungkinan terjadinya eskalasi konflik sangat besar.

“Bagaimana dengan negara-negara yang lain? Tidak semuanya punya posisi daya tawar yang kuat dengan AS. Namun, mengingat mereka bukanlah Cina yang jadi musuh tradisional AS dalam konstelasi politik internasional, kemungkinan adanya penurunan tarif kelihatannya masih terbuka,” ujarnya menjelaskan.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia?

Dalam konteks negosiasi dengan AS, menurut Aska Indonesia bisa saja mendorong AS untuk melakukan penurunan tarif, namun hal ini tergantung dari apa yang bisa ditawarkan juga oleh Indonesia.

“Situasinya memang agak sulit, karena dalam hal ini AS ada dalam posisi yang sangat diuntungkan dalam ruang negosiasi yang kemungkinan terjadi,” ujar Aska.

Sementara itu, Sofi dari UNIDA Gontor menilai Indonesia harus hati-hati dan penuh perhitungan dalam merespons situasi ini, baik secara ekonomi ataupun politik.

“Karena kebijakan Trump seperti ini, kemungkinan juga untuk memetakan siapa kawan dan siapa lawan,” ujarnya

Sofi menyarankan untuk jangka panjang pemerintah sebaiknya berfokus pada diversifikasi pasar, selain penguatan ekonomi dalam negeri.

“Agar tetap menjaga hubungan baik dengan semua negara, untuk menunjukkan posisi bebas aktif Indonesia, agar tidak terkesan condong ke kanan maupun ke kiri,” tutupnya.

Menteri Luar Negeri, Sugiono, mengungkapkan bahwa Presiden Prabowo Subianto, telah mengajukan pertemuan bilateral dengan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, jauh sebelum negara tersebut mengumumkan kenaikan tarif impor.

"Kita sudah melayangkan permintaan pertemuan dengan Presiden Trump jauh sebelum kenaikan tarif," kata Sugiono di Ankara, Turki, Kamis (10/4/2025) waktu setempat.

Oleh karenanya, dia menjelaskan bahwa pertemuan itu diagendakan untuk membahas hubungan bilateral kedua negara, dan juga kenaikan tarif impor yang kemudian ditangguhkan oleh Donald Trump.

"Ya dengan perkembangan ini, saya kira itu juga akan dibicarakan," ucap Sugiono.

Dirinya belum bisa memastikan walau surat permohonan pertemuan dengan Donal Trump telah diajukan sejak lama. Dia menyerahkan sepenuhnya hal itu kepada pemerintah Amerika Serikat dan juga Donald Trump.

"Tergantung kapan diterimanya," kata dia.

Saat ini, Presiden Prabowo menunjuk Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, untuk menjadi perwakilan Indonesia dalam berdiskusi soal bea tarif ekspor ke Amerika Serikat.

Airlangga menyatakan pemerintah Amerika Serikat sudah menerima surat terkait negosiasi kebijakan tarif impor timbal balik dari Indonesia. Diketahui, Indonesia merupakan salah satu negara yang terkena kebijakan tersebut sebesar 32 persen.

Dalam merespons surat itu, kata Airlangga, Amerika Serikat menyatakan pihaknya siap melanjutkan diskusi dengan Indonesia untuk membahas isu-isu terkait secara mendalam.

“Indonesia dari kedutaan sudah bicara dengan USTR (perwakilan departemen perdagangan AS) Pak Presiden, kami laporkan surat Indonesia sudah dikirim, dan sudah diterima oleh Amerika melalui Duta Besar (AS di) Indonesia,” ucap Airlangga di Menara Mandiri, Jakarta, Selasa (8/4/2025).

Baca juga artikel terkait TARIF TRUMP atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - News
Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Anggun P Situmorang