tirto.id - Polemik kekosongan posisi Duta Besar Republik Indonesia (Dubes RI) untuk Amerika Serikat (AS) selama hampir dua tahun terakhir kembali mencuat. Isu ini naik ke permukaan setelah Indonesia berencana melakukan perundingan atau langkah diplomasi terhadap kebijakan tarif resiprokal Presiden AS, Donald Trump.
Jabatan Dubes RI untuk AS terakhir diemban oleh Rosan Roeslani yang saat ini menjabat sebagai Menteri Investasi dan Hilirisasi, sekaligus juga Kepala Badan Pelaksana BPI Danantara. Rosan mengakhiri masa tugasnya di Washington DC pada 17 Juli 2023, saat ia ditunjuk mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara atau BUMN.
Praktis, setelah ditinggal Roesan kursi Dubes RI untuk AS kosong hingga awal tahun 2025. Dengan kekosongan ini tugas perwakilan pemerintah Indonesia di Washington DC sementara diemban oleh chargé d’affaires atau kuasa usaha ad interim, yang berasal dari diplomat karier Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Ida Bagus Made Bimantara.
Kondisi ini tidak ideal, mengingat Pemerintah Indonesia berencana menempuh jalur negosiasi, usai Trump mengumumkan rencana kenaikan tarif impor jadi 32 persen untuk Indonesia. Namun, menurut Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) RI, Arif Havas Oegroseno, kosongnya Dubes RI untuk AS tidak akan memengaruhi proses negosiasi. Sebab dalam kasus seperti ini, komunikasi akan dilakukan oleh pejabat tingkat tinggi. Havas menyebut Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto yang akan memimpin negosiasi dengan pihak AS terkait hal ini.
Airlangga menegaskan Pemerintah Indonesia tidak akan mengambil langkah retaliasi atau balasan atas kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan Amerika Serikat. Indonesia memilih menempuh jalur diplomasi dan negosiasi untuk mencari solusi yang saling menguntungkan bagi kedua negara.
Pendekatan tersebut, kata Airlangga, diambil dengan mempertimbangkan kepentingan jangka panjang hubungan perdagangan bilateral, serta menjaga iklim investasi dan stabilitas ekonomi nasional. “Kita dikenakan waktu yang sangat singkat, yaitu 9 April, diminta untuk merespons. Indonesia menyiapkan rencana aksi dengan memperhatikan beberapa hal, termasuk impor dan investasi dari Amerika Serikat,” ujar Airlangga dalam keterangan tertulisnya, Minggu (6/4/2025).
Kosongnya Dubes AS Rugikan Indonesia
Pengamat hubungan internasional dari Fakultas Humaniora Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor, Sofi Mubarok, menjelaskan sebagai perwakilan tertinggi Republik Indonesia di luar negeri, duta besar menduduki posisi setara wakil kepala negara di negara akreditasi.
“Peran Duta Besar di AS sangat strategis dan krusial sebagai penghubung komunikasi langsung antara pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat, menjadi kunci utama relasi bilateral,” terangnya saat dihubungi Tirto, Rabu (9/4/2025).
Sofi menilai kekosongan posisi Duta Besar di tengah negosiasi tarif Trump yang melibatkan banyak negara sangat merugikan Indonesia. Meskipun pejabat tinggi terkait akan terlibat, peran Duta Besar definitif sebagai representasi pejabat harian tertinggi di AS krusial dalam mengawal setiap kesepakatan yang tercapai.
Lebih lanjut, ia menjelaskan kekosongan posisi yang sementara ini diisi oleh kuasa usaha ad interim di Kedutaan, akan tetap diposisikan oleh AS tidak setara dengan Duta Besar. Secara diplomatik dan akses akan ada keterbatasan yang menghambat proses berbagai negosiasi penting.
“Mengosongkan posisi ini sama dengan meremehkan pentingnya hubungan kedua negara dan menghambat akses langsung ke lingkaran elit Gedung Putih, yang umumnya hanya dapat diakses oleh pejabat setingkat Duta Besar. Sebuah jalur penting untuk diplomasi dan negosiasi di berbagai bidang,” tambah Sofi.
Senada, Direktur Eksekutif Synergy Policies, Dinna Prapto Raharja, menyebut keberadaan Dubes RI untuk AS menjadi krusial dalam proses negosiasi penerapan tarif baru Trump saat ini.
Sebagai bagian dari strategi diplomasi, Dinna mendesak pemerintah Indonesia segera mengisi kekosongan posisi Duta Besar untuk AS. Dia mengusulkan posisi tersebut diisi oleh sosok yang ahli dalam ekonomi politik dan mengetahui seluk beluk negara tersebut. Dubes RI untuk AS juga perlu diperkuat dengan tim yang mumpuni.
“AS itu harus ditempel terus. Kompleks dan ambisius sekali mereka karena masalah dunia dengan AS bukan cuma setahun atau dua tahun. Kita makin berat kalo gak anggap serius urusan diplomasi, apalagi kalau sampai menganggap AS bisa diurus sambil lalu,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (8/4/2025).
Sementara itu Analis Sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, menyebut akar dari kosongnya Dubes RI untuk AS adalah manajemen pemerintahan yang tidak baik, khususnya di akhir pemerintahan mantan Presiden Jokowi.
Merujuk pada penuturan Komisi I DPR, nama Dubes RI untuk AS pengganti Rosan sudah masuk dan akan melalui uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) pada akhir masa pemerintahan Presiden Jokowi. Saat itu, Komisi I DPR RI periode 2019-2024 sudah menerima 11 nama calon Dubes, termasuk untuk AS, Jerman, dan Mesir.
“Tapi proses itu tertunda di tengah transisi pemerintahan baru. Ini kan artinya pada waktu itu Presiden Jokowi menaruh fokus yang besar terhadap Pilpres 2024 sehingga melupakan persoalan penting lainnya seperti Dubes AS pengganti Rosan,” ujar Musfi.
Musfi mengaku heran, ramai pembicaraan soal kekosongan posisi Dubes RI untuk AS ini baru muncul di tengah isu kenaikan tarif dari Trump. Seolah pemerintahan Prabowo juga baru sadar kalau posisi ini belum diisi.
Padahal, belum lama ini Prabowo baru saja melantik 31 Duta Besar luar biasa dan berkuasa penuh (Dubes LBBP) RI di Istana Negara. Namun, tidak ada nama Dubes RI untuk AS yang dilantik dalam daftar.
Musfi melihat situasi ini menunjukkan dua hal. Pertama, fokus pemerintahan yang belum stabil. Namun, transisi pemerintahan tidak bisa menjadi alasan untuk masalah ini. “Sebelum dilantik pada Oktober 2024, Prabowo dan timnya seharusnya sudah memiliki waktu selama berbulan-bulan untuk merancang dan menyusun berbagai persoalan prioritas, misalnya posisi Dubes krusial seperti Dubes AS,” tuturnya.
Hal lainnya, Dubes RI untuk AS adalah posisi yang sangat penting sehingga dibutuhkan orang-orang dengan kecakapan tinggi untuk mengisi posisi itu. Musfi melihat kemungkinan Prabowo masih bingung untuk menunjuk siapa sosok yang akan mengisi posisi tersebut.
“Amerika adalah negara besar yang memiliki ego yang tinggi. Dibutuhkan sosok yang begitu berpengaruh, khususnya secara ekonomi untuk menempati posisi Dubes AS. Masalahnya, orang-orang yang paling dianggap kompeten oleh Prabowo sudah ditunjuk untuk mengisi berbagai pos penting, misalnya di Danantara,” tambah Musfi.
Sinyal AS Bukan Lagi Prioritas Utama?
Sofi dari Universitas Darussalam Gontor menilai kekosongan posisi Dubes RI untuk AS selama dua tahun terakhir, secara implisit dapat memberi sinyal AS bukan lagi prioritas utama dan strategis dalam politik luar negeri Indonesia.
Menurutnya, persepsi ini semakin menguat jika melihat intensitas kerja sama Indonesia dengan Cina yang meningkat signifikan belakangan ini.
“Situasi ini mengindikasikan kurangnya pengelolaan transisi diplomatik yang efektif serta kurangnya perhitungan Pemerintah Indonesia terhadap dinamika politik global, di mana AS memainkan peran sentral dan signifikan,” ujarnya.
Berbeda, Musfi dari ISESS beranggapan Presiden Prabowo masih menganggap AS sebagai salah satu mitra negara penting bagi Indonesia. Dia menyoroti momen saat Prabowo diwawancarai jurnalis Amerika, Allan Nairn pada 2001. Mantan Danjen Kopassus itu bahkan mengatakan kalau dirinya, “anak kesayangan Amerika”.
“Buktinya Prabowo langsung menelpon Trump ketika memenangkan Pilpres AS. Begitu juga dengan kebijakan tarif Trump, Prabowo langsung mengirim utusan. Terbaru, Prabowo bahkan akan menghapus TKDN sebagai proposalnya ke Amerika,” tambahnya.
Dia kembali menekankan, kosongnya posisi Dubes RI untuk AS lebih karena pemerintahan yang gamang, belum stabil, dan masih meraba-raba prioritas.
“Bisa dikatakan Prabowo ini kaget dan tidak siap. Mungkin dia merasa masih memiliki waktu untuk mencari sosok tepat Dubes (RI untuk) AS, tapi ternyata Trump membuat gebrakan yang mengagetkan. Di sisi lain, orang-orang yang dirasa terbaik sudah ditunjuk mengisi pos strategis lainnya,” lanjut Musfi.
Kriteria Ideal Dubes RI untuk AS
Melihat sejarahnya, posisi Dubes RI untuk AS seringkali dijabat oleh nama-nama prominen di Tanah Air. Ali Sastroamidjojo tercatat sebagai Dubes Indonesia pertama untuk AS, usai pengakuan kedaulatan Republik Indonesia. Ali jelas bukan sosok sembarangan, usai menjabat sebagai Dubes RI untuk AS periode 1950-1953, ia mengemban jabatan sebagai perdana menteri dalam kabinet Ali Sastroamidjojo I (1953-1955) dan kabinet Ali Sastroamidjojo II (1954-1957).
Pada akhir era pemerintahan Presiden Soeharto, ada juga nama Dorodjatun Kuntjoro-Jakti yang menjabat dalam periode 16 Maret 1998 - Juni 2001. Dorodjatun merupakan lulusan Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, yang meraih gelar doktor di bidang ilmu politik dari Universitas California di Berkeley, Amerika Serikat pada tahun 1980. Usai menjabat Dubes RI untuk AS, Dorodjatun juga pernah mengemban posisi sebagai Menteri Koordinator Perekonomian RI pada era Presiden Megawati Soekarnoputri.
Nama lain yang juga pernah menjabat posisi Dubes RI untuk AS adalah Dinno Patti Djalal pada periode 2010-2013. Dinno merupakan diplomat karier yang memiliki karir moncer, salah satunya sebagai Direktur Urusan Amerika Utara dan Amerika Tengah di Departemen Luar Negeri Republik Indonesia. Selain itu dia juga pernah menjadi Juru Bicara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ia mengundurkan diri sebagai Dubes RI untuk AS pada September 2013 untuk mengikuti Konvensi Calon Presiden dari Partai Demokrat.
Menariknya, dua nama terakhir yang menjabat sebagai Dubes RI untuk AS sama-sama memiliki latar belakang pengusaha yaitu Muhammad Luthfi dan Rosan Roeslani. Luthfi merupakan mantan Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) periode 2001-2004 sementara Rosan adalah Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) 2015-2020.
Hal ini bisa menjadi indikasi dari pentingnya punya sosok tersohor untuk posisi Dubes Indonesia untuk AS. Sofi dari Universitas Darussalam Gontor menyebut selain pengalaman diplomatik, pemahaman mendalam tentang AS, dan keahlian ekonomi, sosok Duta Besar sebaiknya juga punya jaringan kuat di Negeri Paman Sam.
“Hal ini penting, terutama kedekatan personal atau bisnis dengan Donald Trump atau lingkaran terdekatnya, untuk memfasilitasi negosiasi yang lebih efektif dan terukur berlandaskan pemahaman mendalam atas karakternya,” terang Sofi.
Sementara itu, Musfi dari ISESS menekankan bahwa Dubes adalah posisi penting. Nantinya dia akan jadi jembatan, pelobi, serta sebagai diplomat. Pada konteks Dubes RI untuk AS, dibutuhkan sosok yang memiliki pengaruh yang besar, baik secara politik maupun ekonomi.
Melihat situasi saat ini, Musfi menilai yang pas untuk mengisi posisi Dubes AS haruslah sosok yang memiliki jaringan bisnis internasional –khususnya di AS, dan memiliki pengaruh politik yang tinggi. “Dengan kriteria setinggi itu, saya kira Prabowo kebingungan karena sosok-sosok itu sudah ditarik di posisi lainnya,” ujarnya.
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Anggun P Situmorang