tirto.id - Guna membendung paham komunisme pada era Perang Dingin, Amerika Serikat mengadakan pelatihan militer bersama banyak negara. Paman Sam, tutur Frega Wenas Inkiriwang dalam studinya berjudul “The Dynamic of The US–Indonesia Defence Relations” (2020) menginisiasi program bernama International Military Education and Training (IMET) pada 1976. Program ini adalah sejenis ajang “pertukaran pelajar” yang mengajarkan prajurit asing berbagai pengetahuan militer ala Amerika. Indonesia pun ikut serta dalam IMET.
Kala itu Indonesia dipimpin Presiden Soeharto dan beberapa tahun sebelumnya Timor Leste baru merdeka dari Portugis. Washington menganggap proses dekolonisasi tersebut sebagai ancaman komunis.
Prabowo Subianto, anak eks-Menteri Perindustrian Sumitro, telah beberapa tahun menjadi anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) usai lulus Akabri. Ia menjadi salah satu prajurit Indonesia yang dikirim Pemerintah Indonesia untuk mengikuti program IMET. Prestasi militer cucu pendiri BNI 46 ini memang dikenal cemerlang. Pada tahun-tahun awal bergabung dalam tubuh Kopassus, Prabowo ditugaskan ke Timor Leste pada Maret 1976 sebagai komandan Peleton. Pada 1978, Prabowo kembali ke sana dan bertugas sebagai komandan Kompi Nanggala 28. Pada penugasan kedua inilah, Prabowo terlibat bertempur bersama Batalion 744 melawan pasukan Fretilin. Dalam pertempuran itu pemimpin Fretilin sekaligus Presiden Timor Leste Nicolau dos Reis Lobato tewas ditembak.
Prabowo dikenal di TNI sebagai prajurit ambisius. Usai bertugas di Timor Leste, Prabowo dan Mayor Luhut Binsar Pandjaitan dikirim untuk belajar kontra-terorisme kepada Kepolisian Elite Jerman Barat, Grenzschutzgrupppe 9 (GSG-9). Sebagaimana yang dilaporkan Dana Priest untuk The Washington Post(23/5/1998), Prabowo juga mengikuti Army Special Forces Training Course pada 1980 dan Advanced Infantry Officers Course pada 1985 di Fort Bragg, North Carolina, dalam kerangka program IMET.
Pada 1983, Prabowo menikahi Siti Hediati Hariyadi, yang tak lain adalah putri Presiden Soeharto.
Pada tahun-tahun itu karier Prabowo melesat. Usai menjadi Komandan Kompi, Prabowo diangkat menempati posisi wakil Detasemen 81/Penanggulangan Teror (Gultor 81) yang diketuai Luhut. Pada 1985, ketika bersekolah di Fort Bragg, Prabowo ditempatkan pada Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad).
Wartawan AS Allan Nairn melaporkan untuk East Timor and Indonesia Action Network (ETAN)--organisasi kemasyarakatan yang mendorong penegakan Hak Asasi Manusia di Timor Leste selama pendudukan Indonesia--bahwa “lulusan-lulusan IMET dari Indonesia pulang dengan mengamini apa yang kita, orang-orang Amerika, bela dan lawan". Keterangan itu didapat Nairn dari kawat diplomatik Duta Besar AS untuk Indonesia Stapleton Roy.
Singkat kata, Prabowo menjadi “anak kesayangan Amerika” ("Americans' fair-haired boy"), predikat yang ia akui tatkala diwawancarai Nairn pada 2001. Masih merujuk laporan Nairn, Prabowo terang-terangan mengaku memegang teguh doktrin dua jenderal Amerika di era Perang Sipil, William Tecumseh Sherman dan Ulysses S. Grant. Taktik dua jenderal ini acap kali memakan banyak korban sipil untuk memenangkan pertempuran. Namun, Prabowo juga mengakui kerap kesal ketika dicemooh teman-temannya sebagai "perwira Amerika" karena kedekatannya dengan Washington.
Sang adik, Hashim Djojohadikusumo, mengamini kedekatan Prabowo dan Washington. Dalam pembicaraannya di hadapan para pejabat dan bos perusahaan-perusahaan AS pada 17 Juli 2013, Hashim menyebut sang kakak “very pro-American” karena mengenyam pendidikan dasar dan menengah di AS, serta menerima pendidikan militer Paman Sam.
Predikat “anak kesayangan Amerika” tak sebatas bersumber dari kenyataan bahwa Prabowo menerima pelatihan militer dari AS. Masih merujuk laporan Nairn, Prabowo disebut-sebut "telah melayani kepentingan Washington melalui penyiksaan dan pembantaian selama bertahun-tahun". Ia rutin mengirimkan informasi pada Paman Sam, khususnya kepada Defense Intelligence Agency soal keadaan di Indonesia. Nairn menyebut Prabowo menjadi “pengantar pesan” dari Gedung Putih kepada Istana Negara.
Kembali merujuk studi Inkiriwang berjudul “The Dynamic of The US–Indonesia Defence Relations” (2020), setelah Uni Soviet runtuh, AS mulai mempertanyakan cara pemerintah Indonesia menangani Timor Leste. TNI, demikian laporan lembaga-lembaga advokasi HAM, menangani isu Timor Leste dengan semena-mena, khususnya ketika anggota Batalyon 303 dan Batalyon 744 melepaskan tembakan ke arah demonstran dan menewaskan 50 warga sipil Timor dalam pembantaian Santa Cruz di Timor Leste pada November 1991, tepat di depan sekitar 12 jurnalis internasional yang sedang meliput ke Timor. Prabowo sendiri dalam insiden ini mengatakan bahwa “Anda tidak semestinya membunuh warga sipil di depan pers internasional”. “Komandan-komandan itu, lanjutnya, "bisa saja membantai di desa-desa terpencil sehingga tak diketahui siapapun, tapi bukan di ibu kota provinsi!”
Isu kesembronoan penanganan Timor Leste pun menerpa Prabowo. Sebagai prajurit yang lalu-lalang pergi ke Timor, Prabowo, merujuk laporan Aboeprijadi Santoso untuk The Jakarta Post (2013) diduga keras terlibat dalam pembantaian yang terjadi di Desa Kraras pada 1983, tak lama usai menyelesaikan pendidikan militer di North Carolina.
Prabowo membantah telah terlibat dalam tragedi yang terjadi di Kraras kepada Kompas2014 silam
Kekejaman Indonesia di Timor Leste dan kebijakan AS untuk memberikan pendidikan kepada tentara Indonesia membuat Kongres AS memutuskan diakhirinya program IMET untuk Indonesia.
Namun, hubungan kerjasama militer Gedung Putih dan Istana Negara tak serta merta berhenti ketika IMET dibekukan. Setelah 1993, lahirlah United States Pacific Command (USPACOM). USPACOM mengadakan program Joint Combined Exchange and Training (JCET) dan tetap meneruskan kerjasama pendidikan militer AS-Indonesia.
Prabowo pun tetap cemerlang di dunia militer. Prabowo naik pangkat menjadi Komandan Grup 3 Kopassus sejak 1993. Dua tahun berselang, Prabowo resmi menjadi Komandan Kopassus.
Jelang kejatuhan Soeharto pada 1998, Prabowo diangkat menjadi Panglima Kostrad.
Di tengah situasi politik Indonesia yang kian sejak awal 1998, Prabowo melakukan kesalahan. Ia dituduh terlibat melakukan penculikan para aktivis dan mahasiswa dan diberhentikan secara tidak hormat dari TNI. Secara spesifik, Joe Cochrane untuk The New York Times, mengutip laporan sejumlah organisasi Hak Asasi Manusia, menyebut Prabowo bertanggung jawab atas penculikan dan penyiksaan terhadap 23 aktivis pro-demokrasi pada tahun 1997 dan 1998, dan mengatur kerusuhan pada Mei 1998--hanya beberapa hari sebelum Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden--yang mengakibatkan lebih dari 1.000 korban tewas dan 168 wanita menjadi korban perkosaan.
Tak terlalu lama sebelum Soeharto mundur, bantuan militer AS untuk Indonesia melalui JCET diketahui mengalir diam-diam tanpa persetujuan Kongres AS. Akibatnya, Kongres marah dan memutuskan untuk menghentikan segala bentuk membantu militer kepada Indonesia per 8 Mei 1998.
Tak lama setelah Soeharto jatuh, Prabowo dipecat dari TNI berkat kesalahannya menangani aktivis pro-demokrasi. Akibatnya, Washington menganggap Prabowo sudah tidak berguna. Prabowo dianggap telah kehilangan akses ke Istana Negara dan TNI. Tak heran, tatkala Prabowo hendak menghadiri wisuda anaknya yang lulus dari salah satu universitas di Boston di tahun 2000, AS menolak memberikan visa untuk Prabowo.
Si “Anak kesayangan Amerika” dicampakkan Paman Sam. Prabowo sendiri, merujuk penuturan Allan Nairn ketika mewawancarainya di tahun 2001, menampakkan raut kekecewaan atas perlakuan Washington itu.
Tapi, bak plot twist film Hollywood, Prabowo diangkat Presiden Joko Widodo menjadi Menteri Pertahanan setelah keok dalam dua laga pilpres. Akhirnya, di awal Oktober 2020 Menteri Pertahanan AS di bawah komando Donald Trump, Mark Esper, mengundang Prabowo ke Washington. Rencananya, lawatan yang akan berlangsung pada 15-19 Oktober 2020 tersebut bertujuan untuk melakukan pembicaraan bilateral di bidang pertahanan.
Dalam keterangan pers yang ia bagikan (8/10/2020), Juru Bicara Menteri Pertahanan Dahnil Anzar Simanjuntak memastikan Prabowo akan memenuhi undangan tersebut.
Tak ada penjelasan pasti mengapa AS akhirnya memberikan visa kepada Prabowo.
Merujuk analisis Made Supriatma "Membeli Pengaruh di Washington: Menelusuri Peran Hashim Djojohadikusumo" yang terbit pada Juli 2014 di IndoPROGRESS, abainya Washington atas dosa-dosa HAM Prabowo sangat mungkin terkait erat dengan andil sang adik, Hashim Djojohadikusumo.
Hashim, sebut Made Supriatma, melalui lembaga miliknya, Yayasan Arsari Djojohadikusumo, “membeli pengaruh” di Washington. Yayasan tersebut pernah menyewa sebuah perusahaan pelobi yang bernama Williams Mullen P.C. pada 2013. Dalam laporannya ke Kongres Amerika, lobi-lobi yang dilakukan Williams Mullen dilakukan untuk “mempromosikan hubungan yang kuat antara pemerintah Amerika Serikat, bisnis Amerika, dan masyarakat Amerika dengan warga Indonesia serta lembaga-lembaga swadaya masyarakat, termasuk dalam masalah pertumbuhan ekonomi dan keamanan regional seperti yang diinginkan dan didukung oleh Yayasan Arsari Djojohadikusumo”.
Made Supriatma menyebut pendapatan Williams Mullen dari usaha melobi pengambil keputusan di AS berjumlah sebesar USD 1.270.000 pada 2013. Dari total pendapatan itu USD 660.000 disumbang oleh Yayasan Arsari Djojohadikusumo. Para pelobi Williams Mullen, tulis Made, cenderung beraliran Republikan, partai penguasa AS saat ini.
Editor: Windu Jusuf