tirto.id - Awan kelabu berarak di langit Denpasar menjelang senja pada Minggu (30/3/2025), tetapi matahari masih setia menerobos dengan sinarnya yang benderang. Dari kejauhan, terdengar suara anak-anak sekolah dasar yang memekik karena tersiram air dari ember seorang pria paruh baya. Setelahnya, ember kembali diisi dengan air dan diguyur ke kerumunan yang telah berhimpun di sisi lainnya.
Satu hari setelah Nyepi, Kelurahan Sesetan sibuk nian. Jalan arteri menuju Kota Denpasar diadang oleh para pecalang, sementara stan-stan beraneka hidangan khas Pulau Dewata berjajar beberapa ratus meter. Tidak bisa lewat, pelancong yang tersambar rasa penasaran pun memarkir kendaraannya di bahu jalan, lalu berjalan kaki menuju banjar yang punya hajat.
Sementara itu, di dalam Banjar Kaja sedang ada persembahyangan. Aroma dupa bercampur bunga dari canang sari (sesajen) menyeruak di udara, kian mistis dengan suara Jero Mangku yang memimpin prosesi. Para peserta persembahyangan adalah pemuda dan pemudi lajang asal banjar setempat, sekira berusia 17 hingga 30 tahun. Seluruhnya tampak khusyuk memanjatkan doa, memohon kebersihan hati dan kelancaran dalam kegiatan yang hendak digelar.
Tak lama berselang, terdengar rentetan kata berbahasa Bali dari sang pemandu acara, tanda persembahyangan di Pura Banjar Kaja telah usai. Iringan tabuh-tabuhan dan baleganjur dimainkan dengan keras, lalu diikuti dengan keluarnya dua sosok Barong Bangkung (Barong Babi), berwarna hitam dan putih, yang diarak berputar-putar di halaman banjar.
Sekitar 15 menit berlalu, barulah pemuda dan pemudi Banjar Kaja—yang baru selesai melaksanakan persembahyangan—muncul di halaman banjar dalam bentuk dua kelompok barisan serupa ular. Masing-masing saling berhadapan, diatur secara kondusif oleh para pecalang (polisi adat). Ketika telunjuk sang pecalang mengarah ke atas dan tempo musik tabuh terdengar makin cepat, mereka berderap ke tengah arena.
Pemuda dan pemudi yang berdiri paling depan dari masing-masing kelompok adalah yang terpilih untuk saling beradu. Setelah barisan tersebut sampai ke tengah, keduanya diharuskan untuk berpelukan satu sama lain. Masing-masing kelompok lantas sekuat tenaga menarik rekannya ke belakang, hingga akhirnya pelukan berhasil terlepas.
Prosesi tersebut diulang selama beberapa kali. Sementara prosesi dilangsungkan, tetua-tetua banjar mengisi ember dengan air dan menyiramkannya kepada kedua kelompok. Tidak sedikit penonton di pinggir jalan yang ikut terkena air, bahkan sampai harus menjauh dari kerumunan agar luput dari basah. Beberapa di antara mereka telah mengantisipasi agenda basah-basahan dengan mengenakan jas hujan dan melapisi kamera dengan pelindung plastik.
Setelah satu jam, barulah omed-omedan diakhiri dengan tepuk tangan dan acungan jempol dari para penonton. Dalam kondisi basah, mereka memasuki sisi dalam Banjar Kaja untuk melakukan persembahyangan kembali bersama Jero Mangku. Mereka ingin berterima kasih kepada leluhur yang telah membantu lancarnya tradisi omed-omedan.
I Putu Gede Krisna Widanta, salah satu peserta omed-omedan, tampak basah kuyup setelah prosesi selesai dilaksanakan. Lelah tampak pada wajahnya, tetapi dia mengaku senang karena dapat berpartisipasi dalam tradisi yang telah mengakar secara turun temurun di Banjar Kaja.
"Saya tentunya senang dan merasakan sebuah keharmonisan antara anggota Sekaa Teruna Teruni (kelompok pemuda), juga bahagia. Di sisi lain, ini menambah semangat anggota STT dalam menjaga tradisi di banjar,” ucapnya yang juga Ketua Panitia Sesetan Heritage Omed-Omedan Festival (SHOOF) 2025 ketika ditemui Tirto seusai omed-omedan, Minggu (30/03/2025).
Krisna memperkirakan peserta omed-omedan berkisar antara 150 hingga 200 orang yang seluruhnya merupakan anggota Sekaa Teruna Satya Dharma Kerti. Menurut tradisi setempat, omed-omedan tidak diperkenankan melibatkan kalangan dari luar banjar, sebab berkaitan dengan kesakralan leluhur yang ada di Banjar Kaja.
"[Pesertanya] dari banjar ini saja, yang belum menikah. Peserta tentunya harus dari keturunan Banjar Kaja karena ini asli di sini, adat di sini. Mereka harus berasal dari sini dan ikut STT,” terangnya.
Tahun ini, menurut Krisna, rangkaian acara omed-omedan didasarkan pada tema “Suciptaning Bhuana” yang bermakna kesadaran keutamaan cipta, rasa, dan karsa manusia dalam mewujudkan keharmonisan, serta pelestarian terhadap lingkungan dan budaya yang ada di Bali, khususnya di Banjar Kaja.
“Omed-omedan selalu dilaksanakan setiap tahunnya untuk mencegah bencana-bencana yang akan terjadi di daerah banjar ini. Kami [para pemuda] hanya meneruskan dan menjalankan tradisi," ujarnya.
Turun temurun dan Bersifat Religi
Tradisi omed-omedan di Banjar Kaja, Sesetan, mengakar dari zaman dahulu secara turun temurun, tanpa diketahui kapan dimulainya. Dulu, omed-omedan adalah permainan yang dilakukan oleh masyarakat setempat untuk menyambut Nyepi. Sekelompok pemuda dan pemudi asli Banjar Kaja akan tarik-menarik sehingga menghasilkan keriuhan rasa gembira.
Menurut I Made Munggah dalam buku Med-Medan Tradisi Unik dari Sesetan (2008), tradisi ini dimulai ketika seorang panglingsir (pemimpin) Puri Oka yang bernama Anak Agung Made Raka atau yang dijuluki sebagai Ida Bhatara Kompiang mengalami sakit keras. Saat itu, ia merasa terganggu dengan riuh yang berasal dari depan Puri Oka dan memutuskan untuk menghampiri kerumunan masyarakat dengan amarah meluap.
Namun, sesampainya di depan Puri, sang panglingsir merasa sakitnya berangsur membaik, bahkan larut dalam suasana gembira dari permainan tersebut. Oleh sebab itu, dia meminta masyarakat untuk rutin melaksanakannya setiap Hari Suci Nyepi, sebagai ungkapan bahagia menyambut tahun baru Saka.
Lambat laun, terjadi pergeseran waktu untuk mengikuti peraturan dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) yang melarang kegiatan dilaksanakan di Hari Suci Nyepi. Hal tersebut ditujukan agar masyarakat taat melaksanakan Catur Brata Panyepian, yaitu Amati Gni (tidak menyalakan api), Amati Karya (tidak bekerja), Amati Lelungan (tidak bepergian), dan Amati Lelanguan (tidak menikmati liburan). Tradisi omed-omedan lantas digelar satu hari setelah Nyepi, yaitu saat Ngembak Geni.
Sekitar tahun 1979, tradisi omed-omedan sempat ditiadakan karena dianggap menampilkan hal tidak senonoh di hadapan publik, seperti berpelukan dan berciuman. Akibatnya, muncul kejadian mistis berupa dua ekor babi tanpa pemilik yang saling beradu di Banjar Kaja. Oleh sebab itu, masyarakat menganggap kejadian aneh tersebut merupakan teguran karena tidak diselenggarakannya omed-omedan.
“Kami pernah ingin untuk tidak mengadakan. Namun apa yang terjadi? Ada keanehan. Ada babi, mepalu (berkelahi) sampai berdarah-darah. Itu yang ditonton oleh masyarakat. Akhirnya, masyarakat kami berpikir, sampai sekarang pun kami tidak berani meniadakan omed-omedan. Tradisi ini adalah oneng-onengan (kesenangan) Ida Bhatara,” ungkap Kelian Adat Banjar Kaja, I Made Sudama, kepada Tirto di lokasi omed-omedan, Minggu (30/03/2025).
Sudama menilai, ada banyak tantangan yang dianggap bisa menghilangkan tradisi tersebut, seperti anggapan bahwa omed-omedan mengandung muatan negatif yang mengarah ke nafsu berahi. Sebaliknya, kata dia, omed-omedan justru mengandung unsur penghormatan kepada dewa-dewa, upaya mencegah marabahaya, serta penguatan rasa kebersamaan antara sesama warga.
"Dari dulu memang ada tantangan, tradisi ini bisa hilang, tetapi tidak hilang sampai sekarang. Pada zaman Belanda pun ini pernah dilarang. Tetap kita lakukan. Zaman Jepang pun kita pernah bayar upeti agar bisa melakukan tradisi omed-omedan. Itulah yang membuat kami yakin, tradisi ini memiliki unsur religius," lanjutnya.
Warga Banjar Kaja lantas mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, sehingga kembali terjadi pergeseran tradisi. Dahulu, tradisi omed-omedan dilakukan oleh krama atau seluruh warga Banjar Kaja. Namun, semenjak tahun 1990-an, tradisi tersebut dijalankan oleh para pemuda dan pemudi yang tergabung dalam STT Satya Dharma Kerthi.
“Siapa yang harus melestarikan? Tentu anak muda. Sekarang kami serahkan kepada Sekaa Teruna. Orang tua hanya mendukung dari belakang. Bahkan, sekarang sudah dikemas dalam bentuk festival. Ini sudah yang keempat belas,” kata Sudama.
Warisan Budaya Takbenda
Wakil Wali Kota Denpasar, I Kadek Agus Arya Wibawa, yang turut menonton omed-omedan menyatakan bahwa tradisi unik tersebut telah menjadi identitas Banjar Kaja dan Kota Denpasar. Menurutnya, tradisi yang telah mengakar lama tersebut dapat menjadi pemacu pelestarian budaya, daya tarik wisata, dan penggerak ekonomi masyarakat lokal.
"Dari Pemerintah Kota Denpasar, kami akan segera mengusulkan tradisi ini sebagai Warisan Budaya Takbenda. Astungkara tahun depan, tradisi omed-omedan ini sudah menjadi Warisan Budaya Takbenda. Itu komitmen kami," kata Arya kepada Tirto di lokasi.
Pengusulan tradisi omed-omedan sebagai Warisan Budaya Takbenda dinilai dapat dijadikan pijakan untuk melestarikan tradisi omed-omedan bagi generasi mendatang. Arya juga mengeklaim bahwa Pemerintah Kota Denpasar telah memberikan bantuan dari tahun ke tahun berupa alokasi anggaran dana untuk sarana dan prasarana upakara (peribadatan).
"Kita harus pertahankan [tradisi ini]. Tim kami sedang mendampingi. Nanti akan ada tim penilai, kami akan mempresentasikan [di hadapan tim penilai] tentang tradisi omed-omedan. Mulai dari sejarahnya, kenapa harus dilaksanakan, serta mulai kapan pelaksanaannya, dan seterusnya,” pungkasnya.
Penulis: Sandra Gisela
Editor: Irfan Teguh Pribadi