Menuju konten utama
Horizon

Ogoh-Ogoh, Kreativitas Anak Muda Bali yang Sarat Tradisi

Sebagai bagian dari upacara Pangerupukan dalam rangkaian Nyepi, ogoh-ogoh menjadi wujud kreativitas anak-anak muda Bali yang penuh makna.

Ogoh-Ogoh, Kreativitas Anak Muda Bali yang Sarat Tradisi
Pembuatan Ogoh-Ogoh oleh Sekaa Teruna Adhi Kusuma di Banjar Tegal Kuwalon, Denpasar, Bali. tirto.id/Sandra Gisela

tirto.id - Sekitar bulan Februari dan Maret, hampir seluruh banjar (kelompok masyarakat) di sekujur Pulau Dewata mulai menggarap ogoh-ogoh. Ketika malam tiba, pemuda yang tergabung dari Sekaa Teruna (organisasi pemuda) akan mulai mendatangi banjarnya masing-masing, lalu bergotong royong merancang ogoh-ogoh beraneka bentuk dan ukuran.

Dalam proses pembuatannya, ada yang duduk bersila sambil menganyam bambu, ada pula yang mengambil kuas dan mengecat koran. Lain itu, sebagian lagi mengatur kayu agar membentuk kerangka ogoh-ogoh yang kuat. Sementara para perempuan menyeduh kopi untuk menemani proses konstruksi hingga larut malam.

Riuhnya pembuatan ogoh-ogoh juga terdengar di jantung Kota Denpasar. Salah satunya di Banjar Tegal Kuwalon, tempat pemuda dari Sekaa Teruna Adhi Kusuma melaksanakan kegiatannya. Lampu depan banjar masih terang benderang di tengah sepinya ruas jalan sekitar Sumerta Kaja, pertanda masih ada yang beraktivitas meskipun sudah pukul 21.00 WITA.

Memasuki gerbang banjar, aroma nanas dan nangka bercampur dengan cat mulai menyeruak. Ketika dilihat, tampak dua ogoh-ogoh raksasa setengah jadi yang badannya sudah mulai dilumuri kulit-kulit buah. Sekarung beras penuh kulit buah-buahan tergolek di dekatnya, menunggu untuk ditempelkan kepada kedua ogoh-ogoh tersebut.

“Ini [ogoh-ogoh] konsepnya tentang menghormati guru. Dua raksasa ini semacam muridnya. Muridnya tidak menghormati guru. Raksasa masuk ke dalam murid itu, menjelma dari sifat murid itu, dan jadilah [para murid itu] raksasa,” jelas Ketua Sekaa Teruna Adhi Kusuma, Made Pande Jaya Subawa, kepada Tirto yang menyambangi lokasi, Rabu (05/03/2025) malam.

Dua ogoh-ogoh tersebut dirancang sejak November 2024. Pemakaian kulit nanas dan kulit nangka tercetus dari hasil diskusi, sebab mereka ingin memanfaatkan limbah organik yang menumpuk di Pasar Badung. Menurut Jaya, limbah-limbah tersebut dapat diolah menjadi karya seni.

“Kami lihat di pasar-pasar itu penjual nangka potong kebanyakan buang kulitnya setelah dikupas. Kami juga cari limbah-limbah dari penjual nanas. Kalau jualan nanas, yang tua dibuang. Kami minta nanas itu, kami pakai, kami olah. Kami hilangkan dalamnya yang mau busuk, kami kita iris, baru kami tempel di ogoh-ogoh,” terangnya.

Selain kulit nanas dan nangka, ogoh-ogoh tersebut juga menggunakan kardus, plaster, dan sisit bedeg (bambu). Tidak lupa, mereka menggunakan biji-bijian, seperti kacang hitam dan ketan untuk payasan (hiasan) ogoh-ogoh.

Saat ini, ogoh-ogoh yang diberi nama “Awajna” tersebut sudah 60 persen selesai. Targetnya, figur lengkap hadir pada 15 Maret, tepat pada hari penilaian Kesanga Fest yang diselenggarakan oleh Kota Denpasar.

“Kalau di Bali, Pangerupukan itu pasti euforianya sangat tinggi, khususnya di Kota Denpasar. Di sini, ogoh-ogoh jadi ajang adu gengsi antara Sekaa Teruna. Apalagi sekarang kami diwadahi di Denpasar, ada Kesanga Fest. Pasti kami berlomba-lomba membuat ogoh-ogoh semaksimal mungkin, seunik mungkin, untuk bisa mencapai 16 besar Kesanga Fest,” kata Jaya.

Selain itu, tambah Jaya, kurang lebih terdapat 16 banjar asal Desa Sumerta Kaja yang melombakan ogoh-ogohnya di tingkat desa. Saat hari Pangerupukan Nyepi, ogoh-ogoh akan dibawa ke Catus Pata (perempatan jalan) untuk dipertunjukkan.

“Pukul 6 sore (hari Pangerupukan), ada upacara di banjar. Kami ngerupuk di banjar dulu, keliling-keliling di sini, menetralisir areal banjar sebelum Nyepi,” tukasnya.

Pembuatan Ogoh Ogoh

Pembuatan Ogoh-Ogoh oleh Sekaa Teruna Adhi Kusuma di Banjar Tegal Kuwalon, Denpasar, Bali. tirto.id/Sandra Gisela

Filosofi Pangerupukan dan Ogoh-Ogoh

Tradisi Nyepi mengikuti Kalender Saka yang digunakan sejak tahun 78 Masehi. Kalender ini bermula di India Kuno, ketika Raja Kanishka berhasil mendamaikan pertikaian antarbangsa. Momen perdamaian tersebut dihitung sebagai bulan pertama dari penanggalan Kalender Saka.

Hari Raya Nyepi jatuh pada penanggal 1 sasih kedasa (bulan ke-10) dalam penghitungan Kalender Saka, sementara Pangerupukan jatuh saat tilem kesanga (bulan mati ke-9). Secara filosofis, Nyepi identik dengan keberadaan Panca Maha Bhuta (lima kekuatan alam semesta), yaitu Pertiwi (tanah), Apah (air), Teja (api), Bayu (angin), dan Akasa (ruang). Sejatinya, kelima unsur tersebut memiliki kekuatan yang meneduhkan dan bermanfaat bagi kehidupan.

“Kekuatan Panca Maha Bhuta bisa menjelma menjadi kekuatan dewa yang sangat bermanfaat, yang menolong, membantu, bahkan menjamin kehidupan seluruh makhluk hidup. Namun, unsur kekuatan tersebut juga bisa menjelma menjadi Bhuta, kekuatan yang marah dan menghancurkan,” terang Bendesa Agung Majelis Desa Adat Provinsi Bali, Ida Panglingsir Agung Putra Sukahet, ketika Tirto menyambangi kediamannya di Klungkung, Sabtu (08/03/2025).

Untuk meredam amarah dari Panca Maha Bhuta dan segenap Bhuta Kala yang ada di alam semesta, mereka diberi suguhan atau sesajen sewaktu Pangerupukan. Sesajen tersebut diberi nama Tawur Kesanga dan dilaksanakan mulai dari tingkat kecamatan hingga desa. Setelah pemberian sesajen melalui upacara adat, barulah ogoh-ogoh diarak keliling desa pada petang hari.

“Itu adalah untuk membahagiakan Bhuta Kala, supaya sifat-sifat Bhuta tidak muncul dan menjadi dewa (sifat baik). Wujud-wujud Bhuta Kala (ogoh-ogoh) kemudian diarak saat Pangerupukan, saat itulah puncak dari nyomia (membahagiakan) Bhuta Kala, menetralisir kekuatan-kekuatan Bhuta,” kata Sukahet.

Setelah Pangerupukan, tepat pada pukul 06.00 WITA, Bali menjadi hening. Menurut Sukahet, Nyepi menjadi momen ketika alam semesta bernapas dalam suasana yang sepi, tanpa polusi, dan gelap. Hanya dengan cara itulah Panca Maha Bhuta dapat menjadi somia (bahagia), sehingga kembali ke wujudnya yang bermanfaat bagi kehidupan pada matahari terbit di hari berikutnya.

“Nyepi memang secara penampakan hari raya umat Hindu. Namun, sebenarnya adalah hari rayanya alam semesta. Umat Hindu hanya mengikuti, mengiringi titah, perintah, dan kehendak alam semesta,” ucapnya.

Antropolog Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa dan Peneliti Center for Dharmic Studies, I Nyoman Yoga Segara, menjelaskan bahwa dahulu masyarakat sengaja membuat ogoh-ogoh dengan wujud yang seram dan menakutkan untuk menakuti Bhuta Kala agar kembali ke tempat asalnya. Dalam alam pikir masyarakat, Bhuta dianggap menyerupai raksasa dan roh-roh jahat yang menyeramkan.

“Secara filosofis, Bhuta itu juga digambarkan ada di dalam diri, dalam bentuk hawa nafsu, ketamakan, ego, dan sifat-sifat buruk lainnya,” ungkap Yoga kepada Tirto, Sabtu (08/03/2025).

Pada zaman dahulu, para pemuda akan mengarak ogoh-ogoh mengelilingi desa, diikuti orang tua dan anak-anak. Arak-arakan diiringi nyala obor, teriakan histeris penuh kemenangan, serta bunyi kulkul (kentongan) dan benda-benda lain yang bisa menghasilkan bunyi. Seiring perkembangan zaman, kata Yoga, semarak lebih terasa dengan keberadaan gamelan baleganjur.

“Mereka juga menari penuh energi karena merasa telah mampu ‘mengalahkan’ para Bhuta yang ditandai dengan mapralina atau pembakaran ogoh-ogoh, sehingga tepat pergantian hari, mereka merasa tenang untuk memasuki hari Nyepi hingga 24 jam kemudian,” tuturnya.

Sebelum rangkaian Pangerupukan dimulai, umat Hindu akan melaksanakan upacara Bhuta Yadnya (upacara suci untuk Bhuta Kala) berupa Tawur Agung Kesanga. Pelaksanaan upacara tersebut adalah saat matahari berada di garis khatulistiwa. Posisi matahari tersebut dinilai sebagai waktu terbaik oleh umat Hindu untuk memberikan caru (kurban) kepada Bhuta Kala.

“Pemberian caru memiliki harapan agar kehidupan menjadi harmonis kembali dan energi negatif dari alam dapat dinetralisir. Tujuan lainnya, agar antara dewa dan bhuta menjadi seimbang,” kata Yoga.

Keesokan harinya, yakni saat Nyepi, umat Hindu mulai menjalankan catur brata panyepian, yakni dengan tidak bekerja (amati karya), tidak bepergian (amati lelungan), tidak menikmati hiburan dan kenikmatan (amati lelanguan), dan tidak menyalakan api (amati gni). Menurut Yoga, momen tersebut dimanfaatkan umat Hindu untuk menemukan kesejatian dirinya sehingga lebih siap secara lahir dan batin menjalani kehidupan yang baru.

“Di tengah kesipengan (kesunyian) itu, mereka berkontemplasi selayaknya kepompong yang akan melahirkan kupu-kupu indah,” tukasnya.

Memaknai Ogoh-Ogoh Sebagai Kreativitas

Beragamnya bentuk ogoh-ogoh yang dirancang oleh Sekaa Teruna di seantero Bali dinilai menjadi wujud kreativitas anak-anak muda setiap tahunnya. Hadirnya ogoh-ogoh tersebut menjelmakan kisah-kisah dan penggambaran Bhuta Kala yang ada secara turun temurun ke dalam bentuk visual.

“Ogoh-ogoh itu adalah kreasi anak muda di Bali atau anak muda etnis Bali. Walaupun kreasi budaya, tetapi mempunyai hubungan filsafat karena munculnya ogoh-ogoh itu dari filsafat Bhuta Kala pada saat hari raya Nyepi itu,” kata Sukahet.

Ia menilai, setiap tahunnya ogoh-ogoh yang dihadirkan memiliki kualitas yang makin meningkat. Hal tersebut tidak terlepas dari bimbingan Dinas Kebudayaan (Disbud) dari Provinsi Bali maupun kabupaten/kota yang bersangkutan melalui Bantuan Keuangan Khusus (BKK) dan lomba ogoh-ogoh.

Di sisi lain, Yoga berpendapat bahwa dari perspektif seni dan budaya, ogoh-ogoh adalah gambaran dari spirit orang Bali. Bagi orang Bali, ekspresi seni dapat bermacam-macam, yakni seni untuk persembahan kepada Tuhan dan manifestasinya, seni untuk seni sendiri, dan seni untuk komersial.

“Pada titik tertentu, ketiganya juga bisa berada dalam satu dimensi ruang dan waktu. Jadi, ada pergulatan kehidupan, imajinasi, dan simbolisasi religius di balik wajah ogoh-ogoh,” ungkapnya.

Namun, permasalahan mulai muncul apabila orientasi bisnis dalam lomba ogoh-ogoh lebih besar dibandingkan aspek religiusnya. Menurut Yoga, setelah dilombakan dengan apa pun bentuk dan wujudnya, ogoh-ogoh harus segera menjadi simbol bermakna dengan proses sakralisasi melalui pangurip (daya hidup).

“Dengan proses itu, ogoh-ogoh menjadi tenget (sakral), metaksu (berkharisma secara spiritual), dan mengikat keyakinan masyarakat adat secara kolektif. Kualitas yang harus ditunjukkan dalam lomba ogoh-ogoh bukan sekadar bentuknya, tetapi pesan apa yang hendak disampaikan ke publik,” imbuhnya.

Baca juga artikel terkait OGOH-OGOH atau tulisan lainnya dari Sandra Gisela

tirto.id - News
Kontributor: Sandra Gisela
Penulis: Sandra Gisela
Editor: Irfan Teguh Pribadi