Menuju konten utama

Putusan PN Jaksel: Napas Panjang bagi Kebebasan Pers

Hakim mengingatkan: negara telah membangun mekanisme etik lewat Dewan Pers, dan mekanisme itu ada untuk digunakan.

Putusan PN Jaksel: Napas Panjang bagi Kebebasan Pers
Header Perspektif Mohammad Rohanudin. tirto.id/Parkodi

tirto.id - Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 17 November 2025 yang mengabulkan eksepsi Tempo dalam gugatan Rp200 miliar yang diajukan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman bukan hanya keputusan administratif. Ia adalah penanda penting dalam hubungan antara negara, media, dan ruang publik. Dengan menyatakan diri tidak berwenang mengadili perkara tersebut, majelis hakim menegaskan bahwa sengketa terkait pemberitaan harus tetap berada dalam koridor Undang-Undang Pers, bukan dialihkan menjadi perkara perdata bernilai raksasa.

Di tengah maraknya gugatan terhadap insan pers, vonis ini terasa seperti hembusan napas panjang bagi kebebasan berekspresi di Indonesia. Di saat publik mulai khawatir bahwa jalur hukum perdata dapat disulap menjadi instrumen tekanan, pengadilan memilih untuk mengembalikan perkara ini ke rel yang benar. Hakim mengingatkan bahwa negara telah membangun mekanisme etik melalui Dewan Pers, dan mekanisme itu ada bukan untuk dilompati, melainkan untuk digunakan.

Gugatan yang sempat menuntut ganti rugi hingga ratusan miliar rupiah jelas menimbulkan kegelisahan. Tidak hanya bagi media yang digugat, tetapi bagi seluruh ekosistem demokrasi. Nilai yang fantastis selalu mengandung pesan tersembunyi—bahwa kesalahan tidak cukup diperbaiki, tetapi harus dibalas dengan ketakutan. Ketika angka dipakai sebagai palu, yang bergetar bukan hanya institusi pers, tetapi ruang publik yang berharap informasi tetap mengalir tanpa tekanan.

Namun putusan PN Jaksel memutar arah narasi itu. Dengan mengabulkan eksepsi, pengadilan menyampaikan bahwa jalur penyelesaian sengketa pers tidak boleh dipelintir menjadi ajang uji gengsi atau alat mengangkat beban reputasi secara paksa. Kritik terhadap media tetap sah, tetapi kritik itu semestinya dibangun melalui hak jawab, koreksi, dan mediasi etik—langkah-langkah yang memang dirancang oleh undang-undang untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab.

Di sisi lain, keputusan ini tidak menghapus beban moral media untuk bekerja lebih profesional. Pers tidak berada di atas hukum. Setiap laporan, setiap poster, setiap judul memiliki konsekuensi publik. Ketelitian dan kehati-hatian tetap menjadi fondasi utama dalam menjalankan fungsi jurnalistik. Ketika media alpa, mekanisme Dewan Pers sudah tersedia sebagai ruang koreksi tanpa harus menyeret perkara ke meja hijau.

Yang menarik dari putusan ini adalah pesan simboliknya. Ketika kekuasaan memilih jalur intimidasi, pengadilan menolak untuk ikut dalam permainan itu. Ketika mekanisme etik telah berjalan, hakim menegaskan bahwa hukum tidak boleh menggandakan proses untuk tujuan lain. Demokrasi hidup bukan karena absennya konflik, tetapi karena adanya kesepahaman bahwa konflik harus diselesaikan dengan cara yang benar.

Kasus-kasus sebelumnya menunjukkan betapa gugatan berskala besar dapat menciptakan efek membungkam, baik secara langsung maupun psikologis. Dari Prita Mulyasari hingga Fatia dan Haris, publik telah menyaksikan bagaimana proses hukum bisa membuka lorong panjang yang menguras energi warga. Dalam konteks itu, putusan PN Jaksel menjadi pelajaran bahwa pengadilan mampu memainkan peran sebagai penjaga keseimbangan, bukan sekadar sebagai ruang litigasi.

Pada akhirnya, keputusan yang dibacakan pada 17 November 2025 ini bukan tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah. Ini tentang batas kekuasaan, tentang pentingnya aturan main yang disepakati, dan tentang pengakuan bahwa kebebasan pers merupakan pilar yang tidak boleh dibiarkan retak. Ketika pengadilan memilih untuk tidak memperluas kewenangannya, ia sedang memperluas ruang napas demokrasi.

Kebenaran, seperti air, selalu mencari jalannya sendiri. Putusan ini memastikan bahwa jalan itu tidak dibendung oleh tuntutan bernilai fantastis, melainkan dijaga oleh aturan dan nalar yang sehat. []

Penulis adalah seorang praktisi penyiaran.

Baca juga artikel terkait OPINI atau tulisan lainnya dari M. Rohanudin

tirto.id - Kolumnis
Penulis: M. Rohanudin
Editor: Nuran Wibisono