tirto.id - Bahasa informal tidak berarti dangkal. Ia justru menjadi jembatan sosial yang menghubungkan pengalaman manusia sehari-hari dengan makna yang lebih dalam, tulis Deborah Tannen (1984) dalam kajian klasiknya tentang gaya percakapan.
Kutipan itu seolah menjelaskan fenomena komunikasi publik yang kini diperlihatkan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, seorang teknokrat yang memilih berbicara dengan nada ‘koboi’: blak-blakan, spontan, tak terikat formalitas. Di tengah masyarakat yang sudah muak terhadap politisi penuh retorika, yang kalimatnya indah, tetapi kinerjanya buruk atau bahkan korup, sosok seperti Purbaya memunculkan harapan baru.
Publik tampak rindu pada figur no-nonsense, berbicara apa adanya tanpa basa-basi. Sebagian orang menyamakannya dengan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di masa lalu, yang juga memiliki gaya demikian. Namun, Purbaya tidak datang dari jalur politik populis, melainkan dari ranah teknokrasi yang cenderung steril dari emosi politis dan penuh kalkulasi angka.
Sebagian besar publik bahkan tidak mengenal nama Purbaya Yudhi Sadewa ketika ia masih menjabat Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Lulusan Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) ini baru benar-benar menarik perhatian setelah dilantik sebagai Menteri Keuangan pada 8 September 2025.
Pada hari pertamanya, ia sempat melakukan blunder karena komentarnya mengenai tuntutan 17+8. Namun, justru di sanalah “warna” Purbaya mulai tampak: tidak dibuat-buat, tidak melakukan hitung-hitungan politik, dan seperti diakuinya sendiri, “memang agak koboi”. Poin terakhir juga pernah disampaikan pendahulu Purbaya, Sri Mulyani.
Fenomena ‘Koboi’ Purbaya
Puncak perhatian publik datang ketika Purbaya dicecar pertanyaan oleh anggota DPR. Dengan nada santai tapi tajam, ia menjawab:
“Yang jadi pertanyaan saya di sini, Komisi XI rapatnya dengan Menteri Keuangan berapa ratus hari dalam setahun? Kenapa tidak pernah mempertanyakan itu?”
Pernyataan itu viral bukan karena substansinya semata, tetapi karena keberaniannya membalik posisi kuasa dalam ruang formal yang biasanya menekan eksekutif untuk selalu defensif. Dari situ, publik mulai melihat Purbaya bukan sekadar teknokrat, melainkan sosok straight to the point. "Khas 'anak teknik'," kata para warganet.
Belakangan, berbagai pernyataan koboi Purbaya terus menarik perhatian publik. Salah satu yang paling ikonik muncul ketika Doktor Ilmu Ekonomi dari Purdue University itu membahas tarif cukai rokok.
“Saya tanya, ‘Cukai rokok gimana? Sekarang berapa rata-rata?’ Dijawab, ‘Lima puluh tujuh persen.’ Saya bilang, ‘Wah, tinggi amat. Firaun lu!’”
Di sinilah teori komunikasi klasik Carl Hovland menjadi relevan. Menurut Source Credibility Theory, kredibilitas komunikator ditentukan oleh tiga dimensi utama: expertise, trustworthiness, dan attractiveness. Gaya koboi Purbaya jelas menonjol di dua aspek pertama, yakni keahlian akademis dan integritas publiknya di pemerintahan.
Namun, daya tarik sejati Purbaya lahir dari dimensi ketiga: attractiveness, yang dalam konteks ini berarti social attractiveness, merujuk pada kemampuannya menghadirkan kedekatan emosional dan keaslian (authenticity) di tengah budaya birokratik yang sering terasa dingin.
Dalam pandangan Hovland, keaslian bukan sekadar strategi komunikasi, melainkan fondasi kredibilitas. Publik menilai seseorang jujur bukan karena bahasanya sempurna, melainkan karena kata-katanya terasa tidak dibuat-buat.
Gaya koboi Purbaya bekerja persis di ruang ini: ia menyalurkan ketidaksabaran sosial terhadap kemunafikan politik melalui kejujuran yang mentah. Terkadang kata-kata ini kasar, tapi jujur.
Fenomena Purbaya juga dapat dibaca melalui lensa Populist Communication Style (Moffitt, 2016), yang menekankan gaya komunikasi langsung, emosional, dan anti-formalitas. Bedanya, Purbaya bukan populis tradisional yang menyerang elite politik.
Ia justru populis teknokrat, atau seseorang yang menolak kerumitan birokrasi dengan membumikan kebijakan fiskal ke bahasa rakyat. Ia menghadirkan “rakyat” bukan sebagai slogan, tapi sebagai audiens utama dalam proses komunikasi teknokrasi.
Jebakan Euforia
Publik boleh terpukau oleh gaya Purbaya yang segar dan jujur, tetapi tetap harus menjaga jarak objektif terhadap kinerjanya. Jangan terjebak euforia sesaat.
Karisma bukan jaminan kebijakan efektif. Sejarah politik Indonesia telah menunjukkan betapa mudahnya masyarakat terbuai oleh gaya komunikasi yang kuat, hanya untuk kecewa kemudian ketika performa substantifnya tak sejalan dengan retorika.
Jika gaya koboi Purbaya tidak diimbangi kehati-hatian fiskal, ia berpotensi menimbulkan gejolak yang lebih besar, mulai dari kestabilan ekonomi nasional hingga kredibilitas pemerintah itu sendiri.
Purbaya bisa menjadi simbol harapan baru bagi masyarakat yang rindu pejabat jujur dan transparan. Namun, publik yang cerdas harus belajar mencintai pemimpinnya dengan kritis. Gaya koboi yang jujur perlu dikawal dengan data, bukan hanya sorakan.
Masyarakat sebaiknya memberi ruang bagi Purbaya untuk bekerja maksimal. Tidak perlu ‘iseng’ dengan menanyakan peluangnya di 2029, apalagi mendorongnya ke arena politik elektoral sebelum waktunya.
Seperti ucapannya sendiri saat menjawab pertanyaan wartawan tentang peluang pemilu 2029: “Baru sebulan kerja, gila lu.”
Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi di UPN "Veteran" Jakarta. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.
Editor: Zulkifli Songyanan
Masuk tirto.id


































