tirto.id - Ledakan yang terjadi di SMA Negeri 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara, pada awal November lalu menyisakan dampak yang berkepanjangan. Beberapa siswa dikabarkan masih mengalami trauma sehingga belum siap untuk kembali berkegiatan di sekolah. Kini, berhembus informasi bahwa banyak murid ingin pindah sekolah.
Hal ini disampaikan Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, setelah membuka acara Suara Nusantara di Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Jakarta, Minggu (16/11/2025).
Pramono pun meminta pihak sekolah serta Dinas Pendidikan DKI Jakarta untuk menyiapkan langkah tindak lanjut agar kekhawatiran siswa SMAN 72 bisa diatasi. Hal ini diharapkan agar proses belajar mengajar bisa tetap berjalan dengan optimal.
“Inilah yang juga menjadi pikiran. Saya sudah minta kepada sekolah dan termasuk Ibu Kepala Dinas [agar] ini dirumuskan secara baik karena saya enggak mau kemudian dampaknya sampai panjang,” terang Pramono.
Apalagi, pembelajaran daring di sekolah tersebut hanya berlangsung hingga Senin (17/11/2025). Setelahnya, kata Pramono, guru serta siswa bakal diminta untuk memutuskan apakah kegiatan belajar mengajar tetap dijalankan secara daring atau tatap muka.
Ledakan di SMAN 72 memang bukan peristiwa biasa. Selain melibatkan anak-anak, kejadian ini juga memakan korban hingga berjumlah 96 orang. Rinciannya, sebanyak 67 orang luka ringan, 26 luka sedang, dan 3 orang luka berat.
Polda Metro Jaya menyebut puluhan korban ledakan di SMAN 72 Jakarta mengalami beragam luka, seperti luka bakar, gangguan pendengaran, hingga patah tulang tengkorak. Selain itu, beberapa korban juga dilaporkan mengalami gangguan pernapasan dan luka akibat serpihan logam di lokasi ledakan.
"Para korban mengalami beragam luka mulai dari luka bakar, gangguan pendengaran, syok akibat kehilangan darah, hingga cedera kepala dan patah tulang tengkorak," kata Kepala Bidang Dokter dan Kesehatan (Biddokkes) Polda Metro Jaya, Kombes Pol dr. Martinus Ginting, dalam keterangannya di Jakarta, dilaporkan Antara, Rabu (12/11/2025).

Terduga pelaku peledakan SMAN 72 Jakarta merupakan anak-anak sehingga statusnya kini adalah anak berhadapan hukum (ABH). Sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dia adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.
Ada setidaknya tujuh peledak yang disiapkan terduga pelaku, di mana tiga di antaranya belum digunakan. Polda Metro Jaya hingga kini masih melanjutkan penyelidikan terkait peristiwa ledakan ini.
Pada Kamis (13/11/2025) lalu, penyidik Polda Metro Jaya telah menjadwalkan pemeriksaan terhadap 46 siswa SMAN 72 dengan kapasitas sebagai saksi. Dari total 46 saksi yang dipanggil, sebanyak 10 orang berhalangan hadir.
Selain Pemulihan Trauma, Psikoedukasi juga Jadi Opsi
Penanganan terhadap dampak tragedi ledakan SMAN 72 ini perlu kehati-hatian. Pasalnya, kasus ini juga berkelindan dengan dugaan perundungan yang dialami oleh terduga pelaku. Itu mengapa peristiwa ledakan SMAN 72 juga semestinya menjadi alarm untuk penyelenggara negara, institusi pendidikan, hingga komunitas secara umum.
Kepolisian telah memastikan pihaknya akan berkolaborasi dengan pihak-pihak lain untuk pemulihan trauma para siswa yang jadi korban. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menekankan pemulihan korban ledakan di SMA 72 Jakarta penting dilakukan lebih dari sekadar fisik, melainkan juga psikis dan penanganan trauma.
Tak cuma kepada korban, Ketua KPAI, Margaret Aliyatul Maimunah, mengatakan penanganan trauma semestinya juga diberikan kepada keseluruhan siswa di sekolah tersebut.
"Tidak hanya bagi anak-anak yang mengalami luka, tetapi juga anak-anak yang ada di sekolah SMA 72, tentu butuh untuk pendampingan, untuk mengatasi trauma healing-nya," ujar Margaret saat dijumpai di Rumah Sakit Islam Jakarta (RSIJ) Cempaka Putih, Sabtu (8/11/2025).
Selain pemulihan trauma, Psikolog Anak, Endang Widyorini, mendorong diadakannya kegiatan-kegiatan untuk para siswa. Hal itu bisa dilakukan agar pikiran anak-anak bisa teralihkan dan mereka mulai percaya bahwa situasi akan membaik.
“Jadi, tetap ada basket atau yang lain. Atau mereka juga diajari psikoedukasi bahwa apa yang terjadi kemarin, seperti apa, kejadiannya apa belum tentu itu akan terulang lagi,” ujar Endang saat dihubungi jurnalis Tirto, Senin (17/11/2025).
Psikoedukasi sendiri adalah edukasi mengenai topik psikologi tertentu yang disampaikan oleh profesional psikologi yang mengintegrasikan antara psikoterapi dan edukasi. Menurut Endang, kegiatan itu bisa diselenggarakan dalam bentuk sosialisasi atau ceramah.
Studi Natasubagyo dan Kusrohmaniah dalam Gadjah Mada Journal of Professional Psychology (2019) menemukan bahwa psikoedukasi berperan dalam meningkatkan literasi depresi, dengan peningkatan yang lebih tinggi pada kelompok yang mendapatkan psikoedukasi dibandingkan dengan yang tidak.

Psikoedukasi dalam penelitian itu dilakukan secara luring berbentuk kelas yang diisi ceramah oleh psikolog selama 2 jam. Meskipun studi itu tidak membandingkannya dengan teknik lain—seperti penggunaan poster ataupun pamflet, psikoedukasi setidaknya bisa menjadi alternatif dalam memperkuat kesehatan mental.
Endang sendiri menganggap keinginan sebagian siswa SAMN 72 untuk pindah sekolah imbas kejadian ledakan sebagai hal yang wajar. Dia mendorong pihak-pihak terkait untuk memberikan waktu kepada anak untuk memulihkan diri dari trauma.
“Pada saat mereka trauma itu bisa dipahami karena baru beberapa hari [kejadiannya]. Jadi, mungkin beri waktu beberapa hari ke depanlah untuk bisa masuk ke aktivitas kembali,” lanjut Endang.
Dia pun mendorong para orang tua untuk merespons keinginan anak yang ingin pindah sekolah dengan melakukan konsultasi kelompok, baik bersama orang tua lain maupun pihak sekolah.
“Kalau mereka mau pindah, itu bukan hal yang mudah. Mau ke sekolah mana untuk anak sebanyak itu. Kemudian, harus bayar lagi. Jadi, mungkin ada konsul kelompok atau diskusi bareng ke sekolah,” ujar Endang.
Toleransi Anak terhadap Situasi Kekerasan Beragam
Peristiwa ledakan bom memang bisa dipahami sebagai pengalaman traumatis. Psikolog Forensik, Reza Indragiri, menjelaskan bahwa toleransi setiap anak terhadap situasi kekerasan beragam.
Reza menyebut suatu studi yang mengungkap bahwa selama lima hari setelah insiden kekerasan, murid-murid sudah pulih dan kinerja akademik mereka kembali normal. Namun, ada pula anak yang membutuhkan waktu lebih lama.
Dikutip dari situs KlikDokter, ada beberapa faktor yang menentukan dampak peristiwa traumatis pada anak, salah satunya adalah usia. Makin muda usia anak, dia akan makin rentan.
Bahkan, bayi atau balita yang masih belum bisa atau lancar berbicara pun dapat mengingat kenangan buruk yang dialaminya. Kondisi ini bisa memengaruhi perkembangan mentalnya hingga dewasa.
Selain itu juga ada faktor frekuensi. Peristiwa traumatis yang terjadi sekali bisa terekam dengan jelas dalam benak anak. Apalagi, jika peristiwa itu terjadi berulang kali pada anak.
Anak-anak yang memiliki kualitas hubungan yang baik dengan orang tua, pengasuh, atau orang-orang di sekelilingnya disebut berpeluang lebih besar untuk pulih dari trauma. Di samping persoalan hubungan, inteligensi, kesehatan fisik, dan rasa percaya diri juga dapat sangat membantu anak untuk pulih dari peristiwa traumatis.
“Kalau konseling tidak memulihkan kondisi murid, dan yang bersangkutan termasuk orang tuanya tetap ingin pindah, itu patut diseriuskan. Tapi, siapa bisa jamin tidak akan ada kejadian serupa di sekolah lain? Jika kekerasan serupa terjadi lagi, semampu apa murid beradaptasi ketika ia terlanjur mengembangkan pola moving away?,” tegas Reza kepada Tirto, Senin (17/11/2025).
Lagi-lagi, setiap anak berbeda, termasuk ada yang secara alami lebih sensitif dibanding anak lainnya. Seberapa besar bahaya atau seberapa besar rasa takut yang dirasakan anak, bisa menjadi faktor signifikan yang menentukan trauma yang dialami anak.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Fadrik Aziz Firdausi
Masuk tirto.id


































