Menuju konten utama

Bisakah Bukti Pengamatan Hakim di RKUHAP Bantu Korban KS?

Komnas Perempuan meyakini hal ini justru bisa mencegah victim blaming atau perilaku menyalahkan korban.

Bisakah Bukti Pengamatan Hakim di RKUHAP Bantu Korban KS?
Ilustrasi Pengadilan. foto/IStockphoto

tirto.id - Kamis (13/11/2025) lalu, Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, mengetuk palu disetujuinya RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) dibawa ke tingkat II atau di Rapat Paripurna DPR RI. Namun, pembahasan kebut ini masih menyisakan masalah.

Dalam RUU KUHAP itu, disepakati penambahan ketentuan baru yang mengatur bahwa pengamatan hakim dapat dijadikan alat bukti di pengadilan. Penambahan ini disebut sebagai hasil masukan dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaharuan Hukum Acara Pidana.

“Perluasan alat bukti. Masukan dari koalisi masyarakat sipil untuk pembaruan KUHAP. Pasal 222 penambahan huruf G pengamatan hakim,” demikian disampaikan perwakilan tim perumus dan tim sinkronisasi saat membacakan draf RUU KUHAP di ruang rapat.

Ketua Panja RUU KUHAP, Habiburokhman, mengatakan, pengaturan ini penting, terutama untuk tindak pidana yang bersifat struktural, seperti kasus kekerasan seksual terhadap anak. Dalam kasus seperti itu, lanjut dia, alat bukti konvensional sering kali sulit ditemukan.

“Dalam tindak pidana tertentu, terutama yang struktural, seperti kekerasan seksual terhadap anak, kadang-kadang bukti yang ada sulit. Tapi, bisa diyakini itu pelakunya. Kurang lebih begitu,” kata Habiburokhman dalam rapat panja.

Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej, menyatakan sepakat dengan penambahan ketentuan tersebut. Eddy mengatakan, di sejumlah negara, pengamatan hakim memang diakui sebagai alat bukti dalam hukum acara pidana.

Eddy Hiariej

Wakil Menteri Hukum (Wamenkum), Eddy Hiariej, saat memberikan sambutan pada kegiatan Uji Publik RUU Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, di Ruang Rapat Soepomo, Sekretariat Jenderal Kemenkum, Jakarta Selatan, Rabu (8/10/2025). (FOTO/Dok. Hum Kemenkum)

“Jadi, memang betul, Pak, kami setuju dengan pengamatan hakim. Karena kalau kita lihat dalam alat bukti, kita sudah tidak lagi menggunakan ‘petunjuk’. Bahkan dalam pembahasan KUHAP Nomor 8 Tahun 1981 itu dibilang bahwa memang ada kekeliruan dalam menerjemahkan kata itu sebagai petunjuk hakim,” ujar Eddy.

Dia menerangkan, dalam pembahasan KUHAP lama juga diakui bahwa ada kekeliruan penerjemahan istilah Belanda menjadi ‘petunjuk’. “Yang betul memang pengamatan hakim, Pak. Dan memang dalam hukum acara di berbagai negara, pengamatan hakim itu masuk dalam alat bukti,” sambung dia.

Eddy juga mengatakan, pengamatan hakim adalah kumulasi dari dasar pengetahuan hakim akan hukum dan juga berdasarkan pengalaman yang dimiliki oleh hakim itu sendiri. Terlebih, pengamatan itu tidak berdiri sendiri karena lahir dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa.

Setelah mendengarkan pandangan pemerintah dan anggota Komisi III DPR RI, Habiburokhman langsung meminta persetujuan seluruh peserta rapat, dan melanjutkan dengan mengetuk palu sidang tanda pengesahan.

Harus Ada Kriteria & Penjelasan

Penambahan ketentuan “pengamatan hakim” ini merupakan perluasan alat bukti dan termasuk dalam pasal 222 huruf G. Jika menengok draf RUU KUHAP versi Maret, pasal 222 menyebut bahwa alat bukti terdiri atas: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; dan c. surat.

Selanjutnya yakni: d. keterangan terdakwa; e. barang bukti; f. bukti elektronik; dan g. segala sesuatu yang dapat digunakan untuk kepentingan pembuktian pada pemeriksaan di sidang pengadilan sepanjang diperoleh secara tidak melawan hukum.

Dosen hukum pidana di Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (FH Unmul), Orin Gusta Andini, mengatakan perluasan alat bukti itu perlu diperjelas. Sebab, penambahan huruf G bisa dimaknai sebagai menambah unsur setelahnya atau menambahkan bagian penjelasan dari huruf G.

“[DPR] tidak secara eksplisit menyebutkan pengamatan hakim huruf G, berarti bisa termasuk sama dengan petunjuk yang selama ini ada, di pasal 222 itu juga gak ada tertulis alat bukti petunjuk, bisa jadi huruf G memang dibuat untuk mengakomodasi sesuatu yang selama ini dipahami sebagai petunjuk,” kata Orin, dihubungi reporter Tirto, Jumat (15/11/2025).

Klausul “petunjuk’ yang dimaksud Orin mengacu pada KUHAP lama, yakni pada pasal 184. Di situ disebutkan kalau alat bukti yang sah mencakup keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

Ilustrasi Sidang

Ilustrasi Pengadilan. foto/IStockphoto

Petunjuk sendiri dimaknai sebagai perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

Dalam KUHAP lama, sebagaimana tertuang di pasal 188 ayat (2), petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.

“Jadi dia muncul dari alat-alat bukti yang lain selama persidangan yang akhirnya dikelompokkan atau dinamai sebagai petunjuk. Hanya risiko tentang jika [pengamatan hakim] ditulis sebagai salah satu alat bukti, nanti di penjelasan harus dapat diberikan kriteria dan penjelasan yang memadai untuk kemudian membedakannya dengan alat bukti yang lain, apalagi jika RKUHAP masih mengakui bukti petunjuk, maka harus jelas apa bedanya,” terang Orin.

Bisa Cegah Victim Blaming?

Rencana memperluas alat bukti dengan memasukkan unsur pengamatan hakim memang membawa kekhawatiran soal risiko bias. Namun, Komnas Perempuan meyakini hal ini justru bisa mencegah victim blaming atau perilaku menyalahkan korban.

Komisioner Komnas Perempuan, RR. Sri Agustine, menjelaskan, karena dalam mengadili kasus Tindak Pidana Kekerasan Seksual, hakim menerapkan hukum acara khusus Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dengan berfokus pada perlindungan korban, penanganan berbasis trauma (trauma-informed), dan optimalisasi pembuktian, yang berbeda dari hukum acara pidana biasa. Hal itu disebut diatur dalam UU 12/2022 tentang TPKS atau UU TPKS.

“Sehingga hukum acara khusus UU TPKS dapat memperkuat Pasal Pengamatan Hakim dalam RKUHAP pada saat persidangan. Selain itu, hakim juga wajib menerapkan Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum,” kata Sri lewat keterangan tertulis, Sabtu (15/11/2025).

Dalam pasal 2 PERMA itu dikatakan, hakim mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum berdasarkan asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia, nondiskriminasi, kesetaraan gender, persamaan di depan hukum, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.

Sri mengungkap sejumlah poin-poin penting dalam penerapan hukum acara khusus TPKS oleh hakim di persidangan. Pertama, persidangan dilaksanakan secara tertutup guna melindungi privasi dan psikologis korban, kecuali jika diatur lain oleh undang-undang.

Ilustrasi Sidang

Ilustrasi Pengadilan. foto/IStockphoto

Selain itu, hakim juga wajib memastikan korban dan saksi mendapatkan perlindungan optimal selama proses peradilan. Ini mencakup larangan bagi hakim, penuntut umum, atau penasihat hukum untuk menunjukkan sikap atau mengajukan pertanyaan yang merendahkan, menyalahkan, mengintimidasi, atau menghina korban. Lebih jauh, korban juga berhak didampingi oleh pendamping di semua tingkat pemeriksaan.

“UU TPKS memperluas jenis alat bukti yang sah, tidak hanya terbatas pada 5 alat bukti konvensional sesuai KUHAP. Perluasan ini bertujuan untuk mengatasi kesulitan pembuktian dalam kasus kekerasan seksual dan membantu hakim memperoleh keyakinan yang cukup,” terang Sri.

Ia berharap, hakim bisa menggunakan pendekatan penanganan perkara berbasis trauma, yang mempertimbangkan kondisi psikologis korban dan mencegah viktimisasi sekunder (membuat korban mengalami trauma lagi) selama proses hukum. Untuk tindak pidana kekerasan seksual, penyelesaian melalui pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) tidak diperbolehkan, sehingga proses peradilan pidana harus berjalan hingga putusan pengadilan.

"Secara keseluruhan, hakim dalam kasus TPKS bertindak dengan sensitivitas tinggi terhadap kondisi korban, memastikan proses peradilan berjalan adil, transparan, dan memberikan perlindungan maksimal sesuai mandat UU TPKS," kata Sri.

Ilustrasi Pelecehan Seksual

ilustrasi pelecehan seksual. wikimedia commons/Bayunknown

Dia berpandangan bahwa pengaturan pengamatan hakim sebagai bagian dari alat bukti dalam kasus kekerasan seksual, terutama korban anak dan kelompok rentan dapat mengatasi kekosongan bukti konvensional.

Menurut Sri, ada banyak kasus kekerasan seksual, terutama yang melibatkan anak atau pelecehan non-fisik, sulit didukung dengan bukti fisik yang kuat, seperti visum dan saksi langsung. Maka, dengan memberi ruang bagi “pengamatan hakim” (misalnya hakim mengamati perilaku, sikap korban, koherensi cerita, trauma-terlihat di persidangan), hakim bisa memiliki dasar tambahan untuk membangun keyakinan, untuk menguatkan pembuktian.

Dengan demikian, dalam pemeriksaan bukti, hakim bukan hanya membaca dokumen atau mendengar kesaksian, tetapi juga mempertimbangkan pengalaman korban (misalnya dampak kekerasan seksual yang dialami oleh korban). Hal ini sangat penting dan didasari oleh prinsip keadilan dan kemanusiaan, serta diatur dalam kerangka hukum di Indonesia, termasuk UU TPKS dan PERMA 3/2017.

“Komnas Perempuan sangat menekankan keadilan dan pemulihan korban, bukan sekadar pemidanaan, pengaturan alat bukti yang lebih fleksibel dan adil bisa membantu korban untuk mendapatkan keadilan — terutama ketika bukti lainnya sulit diperoleh — dan tidak membuat korban dipaksa membuktikan dengan cara yang menyakitkan atau traumatis,” tegas Sri.

Dengan alat bukti yang memperhitungkan pengamatan hakim, maka hal itu bisa mengurangi beban pada korban untuk “menghadirkan” bukti fisik atau saksi. Korban tidak selalu harus mengulang trauma dalam mencari visum atau saksi, lantaran pengamatan persidangan bisa menjadi bagian dari mekanisme pembuktian yang lebih sensitif terhadap trauma.

Baca juga artikel terkait RUU KUHAP atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News Plus
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty