Menuju konten utama

Anomali di Bali: Okupansi Hotel Anjlok meski Wisatawan Membludak

Tingkat okupansi hotel diketahui melemah semenjak awal 2025, seolah-olah wisatawan yang masuk ke Pulau Dewata malah hilang ditelan bumi.

Anomali di Bali: Okupansi Hotel Anjlok meski Wisatawan Membludak
Potret kondisi hotel dan jalanan di kawasan Legian yang lengang, Selasa (25/03/2025). Tirto.id/Sandra Gisela

tirto.id - Gerbang Pulau Dewata dibuka lebar usai dihantam pandemi, tampak turis berbondong-bondong memesan tiket untuk terbang atau berlabuh ke pulau yang dikenal dengan keindahan alam dan budayanya ini. Tidak heran, bandara atau pelabuhan di Bali selalu ramai dipadati pelancong dari berbagai belahan dunia. Bandara Ngurah Rai, misalnya, merupakan salah satu bandara tersibuk di Indonesia.

Sepanjang 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah kunjungan wisatawan mancanegara mencapai 6.333.360 kunjungan, meningkat sekiranya 20,1 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat sebanyak 5.273.258 kunjungan. Kondisi ini juga diketahui melampaui kondisi sebelum pandemi, yakni 6.275.210 kunjungan pada 2019.

Pada awal 2025, Dinas Pariwisata (Dispar) Provinsi Bali menargetkan adanya 17 juta kunjungan wisatawan, termasuk di antaranya 6,5 juta wisatawan mancanegara. Pencapaian target tersebut dinilai optimistis oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov), mengingat tren jumlah wisatawan yang berkunjung ke Bali selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Namun, rupanya tampak perbedaan apabila mengenakan kacamata pelaku industri pariwisata, utamanya perhotelan. Tingkat okupansi hotel diketahui melemah semenjak mulainya 2025 ini, seolah-olah wisatawan yang sudah masuk ke Pulau Dewata malah hilang ditelan bumi. Tidak sedikit pun tampak jejak atau batang hidungnya di hotel atau penginapan yang memiliki izin.

Berdasarkan data dari Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), tingkat okupansi hotel di Bali mengalami anomali yang mengherankan. Penurunan okupansi secara global mencapai 10 persen, bahkan beberapa hotel ada yang jatuh hingga 20 persen. Secara rinci, okupansi hotel berbintang berada di angka 63 persen, sementara okupansi hotel non-bintang berada di rentang 33 hingga 35 persen.

“Jika dibandingkan dengan tahun lalu, di periode yang sama, agak rendah sedikit. Lebih rendah daripada tahun lalu. Bulan ini kita (Mercure) bertahan di angka 59 persen (tingkat okupansi), forecast (prediksi) 61 persen,” ucap I Nengah Sudiarta, Hotel Manager Mercure Legian, ketika bertemu dengan Tirto di lokasi, Selasa (25/03/2025).

Hotel dan Jalanan Legian

Potret kondisi hotel dan jalanan di kawasan Legian yang lengang, Selasa (25/03/2025). Tirto.id/Sandra Gisela

Nengah berasumsi terdapat beberapa alasan di balik anomali yang hotel-hotel sedang alami selama beberapa periode ke belakang. Pertama, efisiensi anggaran dan bulan puasa yang berimbas pada permintaan hotel untuk wisatawan domestik. Kedua, harga tiket pesawat yang masih tinggi meskipun terdapat kebijakan penurunan harga tiket selama bulan Ramadhan. Ketiga, kondisi cuaca dan alam Indonesia yang tidak menentu di beberapa bulan terakhir.

“Orang yang loyal dengan Bali, tetap datang ke Bali. Terkadang informasi apa pun yang terjadi di Bali, yang negatif itu cepat viral. Pariwisata itu sangat sensitif dengan isu-isu seperti itu,” lanjutnya.

Saat ini, pasar wisatawan internasional memang jauh lebih menjanjikan dibandingkan domestik. Di tengah lesunya okupansi hotel yang ada di Bali saat ini, hotel-hotel mulai membangun koneksi yang lebih intim dengan pasar internasional. Terkhusus dari kacamata Mercure, mereka juga hendak menjangkau korporat atau swasta dikarenakan efisiensi yang menghantam organisasi dan lembaga milik pemerintah.

“Kita strateginya tetap bangun hubungan dengan pasar-pasar Australia yang ada di luar daripada pasar domestik. Cari pasar lain selain Australia, seperti India yang lagi booming. Bahkan, Director of Sales Marketing kita sedang ke India untuk melakukan sales call karena India bagus pasarnya. Di Bali, (kunjungan wisatawan) India nomor dua,” beber Nengah.

Meskipun sudah menerapkan strategi untuk menjangkau wisatawan, rupanya okupansi hotel yang sedang rendah tetap menggerogoti anggaran operasional hotel. Pada awalnya, Mercure sempat menetapkan target okupansi hotel sebesar 66 persen. Namun, target tersebut masih belum mampu digapai hingga akhir bulan Maret, sehingga target diturunkan hingga menyentuh angka 61 persen.

“Bulan Maret ini kita anggap bulan yang paling berat. Ada Ramadhan, jadi kita targetkan agak rendah di bulan Maret. Meskipun dengan target rendah, ternyata ada regulasi dari pemerintah yang seperti itu (efisiensi), jadi kita mungkin tidak tercapai targetnya. Yang daily worker untuk sementara kita kurangi dulu selama okupansi kita dalam situasi seperti ini,” jelasnya.

Mencari Penyebab Jatuhnya Angka Okupansi Hotel

Melihat data PHRI, saat ini tren wisatawan masih berada di ambang normal, yaitu 16 hingga 17 ribu per hari. Namun, melihat okupansi hotel yang ada di rentang 60 hingga 63 persen, muncul tanda tanya besar dalam benak PHRI sebagai organisasi yang menaungi hotel dan restoran. Setelah diusut, rupanya ditemukan beberapa penyebab merosotnya okupansi hotel di Bali.

“Setelah kita pantau, yang datang di lapangan itu yang middle-low. Akibatnya, kebanyakan dari mereka memilih untuk menginap di homestay, vila, dan guest house. Mereka tidak menginap di hotel berbintang,” jelas Wakil Ketua PHRI Bali, I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya, ketika dihubungi Tirto, Jumat (21/03/2025).

Rai juga menyebutkan dua faktor lainnya yang turut ambil andil dalam mengguncang angka okupansi hotel di Bali. Pertama, efisiensi anggaran dari pemerintah pusat yang menyebabkan tingkat hunian hotel untuk domestik berkurang signifikan. Banyak lembaga dan organisasi yang mengurangi anggaran untuk rapat, sehingga berdampak untuk sektor Meeting, Incentive, Convention, dan Exhibition (MICE).

Kedua, adanya oknum yang membuat akomodasi ilegal atau tanpa izin yang jelas. Selain melakukan pelanggaran terhadap peraturan karena tidak membayar pajak, oknum-oknum tersebut juga menyebabkan terjadinya persaingan tidak sehat atau perang tarif (price war).

Anggota resmi yang tergabung dalam PHRI sendiri memiliki tap machine yang bisa mendeteksi pajak yang masuk, sementara oknum-oknum nakal tersebut sudah tentu tidak terpantau oleh sistem.

“Penurunan okupansi menyebabkan penurunan pajak, penurunan omzet pengusaha, dan penurunan service charge karyawan. Kalau dia stay di kelas hotel yang bawah, dia juga akan mengalami kesulitan untuk dideteksi. Mudah-mudahan mereka juga bayar pajak karena disinyalir ada beberapa usaha yang ilegal, yang dikelola oleh WNA sendiri. Mereka memasarkan, kemudian masuk ke rekeningnya, sulit dideteksi berapa omzetnya,” ucapnya.

Hotel dan Jalanan Legian

Potret kondisi hotel dan jalanan di kawasan Legian yang lengang, Selasa (25/03/2025). Tirto.id/Sandra Gisela

Senada, pengamat pariwisata sekaligus Executive Director di PHRI Badung, I Made Sulasa Jaya, menilai bahwa manajemen pendataan dan pengawasan wisatawan yang datang ke Bali masih cukup lemah. Akibatnya, terdapat celah yang dapat dimanfaatkan oleh pengusaha gelap atau wisatawan untuk melakukan kecurangan di luar radar pantau.

“Kemungkinan lainnya adalah menyebabkan tingkat pertumbuhan akomodasi lebih cepat dan di luar kendali dibandingkan jumlah kedatangan wisatawan,” terangnya.

Temuan lainnya adalah mengenai perubahan dalam pemilihan fasilitas akomodasi oleh wisatawan. Akademisi bidang pariwisata dari Universitas Triatma Mulya, I Made Bayu Wisnawa, mengatakan bahwa wisatawan domestik cenderung mendominasi dengan perilaku konsumsinya, length of stay yang jauh lebih pendek, dan belum semua akomodasi yang ada di Bali menjadi anggota asosiasi.

Bayu melihat, setelah melewati masa pandemi, jumlah wisatawan domestik bertumbuh pesat dan memiliki proporsi lebih banyak daripada wisatawan internasional. Dari karakteristiknya, wisatawan domestik memiliki perilaku konsumsi yang sensitif terhadap harga, sehingga memilih akomodasi tidak pada hotel berbintang.

“Tren saat ini adalah semakin banyak wisatawan memilih fasilitas akomodasi selain hotel, misalnya vila, guest house, homestay, bahkan sampai kos dan menyewa rumah pribadi. Selain itu, bisnis akomodasi dan properti di Bali adalah bisnis yang sangat menguntungkan, sehingga banyak orang berinvestasi. Akibatnya jumlah kamar tamu meningkat melebihi jumlah wisatawan yang datang,” ungkap Bayu kepada Tirto, Selasa (25/03/2025).

Dampak Beruntun Fenomena Okupansi Hotel

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Undiknas Denpasar, Ida Bagus Raka Suardana, melihat dampak besar yang diakibatkan dari menurunnya tingkat okupansi hotel dan kebocoran dari sektor akomodasi yang dibanjiri hunian liar. Dampak yang paling tampak adalah dari sisi penerimaan pajak daerah imbas penurunan pendapatan dari hotel-hotel.

“Sementara itu, vila dan hunian liar yang beroperasi tanpa izin sering tidak masuk dalam sistem perpajakan. Ada potensi pendapatan pajak yang hilang dari sektor ini. Jika dibiarkan terus, kebocoran ini bisa berdampak pada berkurangnya anggaran untuk pembangunan infrastruktur dan layanan publik yang bergantung pada pajak pariwisata,” terang Raka kepada Tirto, Senin (24/03/2025).

Raka menilai, pembangunan vila dan hunian liar di Bali yang makin marak merupakan tanda lemahnya pengawasan terhadap perizinan dan tata ruang. Banyak investor yang mulai membangun vila tanpa izin yang sesuai, bahkan menggunakan lahan secara ilegal. Pertumbuhan vila dan hunian liar ini juga distimulasi oleh tingginya minat investasi di sektor properti.

“Banyak pemodal, baik lokal maupun asing, melihat peluang besar di pasar properti Bali dan membangun akomodasi dengan sistem penyewaan yang tidak selalu terdata dalam sistem perpajakan daerah,” ungkapnya.

Selain itu, Raka juga menyorot efisiensi anggaran dari pemerintah pusat dan kondisi perekonomian global yang berdampak pada industri MICE. Banyaknya instansi pemerintah yang mengurangi anggaran perjalanan dinas, terutama untuk kegiatan MICE, turut menjadi penyebab turunnya angka okupansi hotel. Apalagi, MICE merupakan salah satu penyumbang utama bagi industri perhotelan secara umum.

“Kebijakan efisiensi ini membuat permintaan terhadap hotel berbintang, terutama yang biasa digunakan untuk kegiatan konferensi atau pertemuan skala besar, mengalami penurunan yang cukup signifikan. Efek pengganda (multiplier effect) dari efisiensi itu bisa jadi lebih besar dampaknya terhadap masyarakat Bali secara keseluruhan,” beber Raka.

Di sisi lain, Bayu dari Universitas Triatma Mulya melihat pemanfaatan celah regulasi oleh oknum-oknum di ranah properti. Banyak wisatawan yang menggunakan nama penduduk lokal untuk membangun properti. Belum lagi aparat memiliki keterbatasan dalam mengawasi dan mengendalikan pembangunan fasilitas akomodasi.

Masyarakat juga tergoda untuk menjual tanah. Bayu melihat, saat ini di desa-desa, kepemilikan lahan sudah banyak yang bergeser ke orang di luar desa. Kecenderungannya adalah untuk pembangunan vila dan jasa akomodasi yang belum dapat dipastikan ada izinnya atau tidak.

“Peran masyarakat dalam mengatasi permasalahan ini sebenarnya sangat penting. Kalau masyarakat diam saja, maka tidak mungkin ada perubahan yang berarti,” terangnya.

Keberadaan vila dan hunian liar bagaikan paradoks. Dalam jangka pendek, masyarakat mendapat manfaat berupa tersedianya lapangan pekerjaan dan ekonomi yang lebih bergairah. Namun, dalam jangka panjang, hunian liar berubah menjadi suatu hal yang sangat merugikan karena mengurangi penerimaan pajak, ditambah kerusakan lingkungan dan budaya yang menghambat terwujudnya quality tourism.

“Secara makro sangat merugikan rakyat. Tingkat okupansi dan kebocoran di sektor hotel ini pastinya akan mengurangi penerimaan pajak. Kalau pajak berkurang, maka pembangunan pasti terhambat,” ucap Bayu.

Hotel dan Jalanan Legian

Potret kondisi hotel dan jalanan di kawasan Legian yang lengang, Selasa (25/03/2025). Tirto.id/Sandra Gisela

Upaya Memulihkan Okupansi Hotel di Bali

Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Tjok Bagus Pemayun, membenarkan bahwa okupansi hotel di Bali mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Penyebabnya adalah pergeseran pola wisatawan yang lebih condong menginap ke vila, pondok wisata, homestay, dan lain sebagainya. Harga tiket pesawat yang mahal diduga menjadi salah satu penyebab pergeseran pola wisatawan tersebut.

“Masih dimonitor terus oleh teman-teman stakeholder pariwisata. Sekarang ini harga-harga tiket sudah mulai menjadi reasonable. Tol yang dari Probolinggo menuju Paiton mulai dibuka per tanggal 24 Maret. Mudah-mudahan ini salah satu bentuk optimistis saya bahwa wisatawan Nusantara kembali (berlibur ke Bali),” terang Pemayun di Jayasabha, Senin (24/03/2025).

Pihak Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali juga sedang berusaha menertibkan usaha akomodasi, terutama dari sisi vila dan penyewaan. Saat ini, Dispar Provinsi Bali masih melakukan pendataan bersama dengan Bali Villa and Rental Management untuk melihat keberadaan vila yang tidak berizin.

“Vila-vila yang bodong ini didorong mengurus izinnya. Izinnya sebenarnya mudah, lewat OSS (online single submission). Tentu ada mekanisme yang dilakukan dengan Satpol PP, disiapkan mekanisme penindakan,” kata Pemayun.

Sementara itu, Raka menilai permasalahan tentang okupansi hotel di Bali memerlukan strategi komprehensif dari berbagai pihak. Pemerintah daerah diminta untuk memperkuat regulasi dan pengawasan terhadap pembangunan vila dan hunian liar, termasuk dengan menerapkan sistem perizinan yang lebih ketat dan sanksi bagi pelanggar.

Kolaborasi antara pemerintah, pelaku bisnis perhotelan, dan platform penyewaan akomodasi seperti Airbnb juga perlu dikuat agar terdapat regulasi yang lebih jelas mengenai pajak dan izin usaha di bidang akomodasi.

“Selain itu, sektor perhotelan harus lebih adaptif dalam menghadapi perubahan pola wisatawan dengan menawarkan konsep layanan yang lebih menarik, seperti paket pengalaman lokal atau fasilitas berbasis ekowisata. Dengan langkah-langkah seperti itu, diharapkan tingkat okupansi hotel dapat kembali meningkat dan kebocoran dapat dikurangi,” tambahnya.

Bayu dari Universitas Triatma Mulya menggarisbawahi bahwa penegakan hukum dan perbaikan regulasi adalah solusi untuk menghadapi tingkat okupansi yang menurun dan kebocoran sektor akomodasi. Selain itu, pembinaan kepada pemilik vila liar juga perlu dilakukan agar dapat segera mengurus izinnya.

“Bisa jadi, banyak masyarakat yang tidak memahami regulasi terkait pengelolaan vila. Pemerintah dapat mengikutsertakan perguruan tinggi untuk kegiatan ini, misalnya melakukan kegiatan pengabdian masyarakat dalam tata kelola vila dan fasilitas akomodasi lainnya,” tutupnya.

Baca juga artikel terkait PARIWISATA atau tulisan lainnya dari Sandra Gisela

tirto.id - News
Kontributor: Sandra Gisela
Penulis: Sandra Gisela
Editor: Anggun P Situmorang