Menuju konten utama

Insentif agar Nyoman & Ketut di Bali Tak Punah, Bijakkah?

Pemprov Bali masih perlu mematangkan perencanaan insentif dan mitigasi atas ekses kebijakan itu secara holistik.

Insentif agar Nyoman & Ketut di Bali Tak Punah, Bijakkah?
Gubernur Bali, Wayan Koster, memberikan pidato sambutan di Rapat Paripurna ke-9 DPRD Provinsi Bali, Selasa (04/03/2025). tirto.id/Sandra Gisela

tirto.id - Hampir setiap etnis di Indonesia memiliki tradisi penamaan individu yang unik. Di kebudayaan Bali, misalnya, penamaan seseorang amat dipengaruhi oleh kasta, jenis kelamin, hingga urutan lahir.

Seseorang yang lahir dari kasta ksatria akan menyematkan gelar “Ida Cokorda” dalam namanya, sementara mereka yang dari kasta brahmana menyematkan “Ida Bagus”. Ada pula “Ni Luh” yang merupakan penanda nama perempuan.

I Gde Wayan Soken Bandana dalam Nama dan Gelar dalam Masyarakat Bali (2012) menyebutkan ada empat penanda nama seorang Bali berdasarkan urutan kelahirannya. Anak pertama akan menyandang nama Wayan (berasal dari kata wayah yang berarti tua), Putu (artinya cucu), atau Gede.

Selanjutnya, anak kedua diberi nama Made (berasal dari kata madya yang berarti tengah), Nengah, atau Kadek atau Kade (berarti adik). Anak ketiga biasa menyandang nama Nyoman (berasal dari kata anom yang berarti muda atau kecil) atau Komang.

Terakhir, anak keempat akan menyandang nama Ketut yang berasal dari kata ketuut yang berarti membuntuti. Lalu, anak kelima dan seterusnya akan mengulang penamaan dari awal.

Namun, seiring berjalannya waktu, populasi nama Nyoman, Komang, dan Ketut di Bali kian menyusut. Hal ini berakar dari program Keluarga Berencana (KB) yang diterapkan di era Presiden Soeharto berkuasa berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera.

Program tersebut bertujuan untuk mengatur jumlah dan kelahiran anak dengan slogan “dua anak cukup”. Gubernur Bali, Wayan Koster, pun mengaku prihatin dengan semakin jarangnya penggunaan nama Nyoman, Komang, dan Ketut akibat program KB.

Berdasarkan Sensus Penduduk 2020, jumlah penduduk Bali mencapai 4,32 juta jiwa. Tingkat pertumbuhan penduduk di Bali adalah 0,66 persen per tahun—lebih rendah ketimbang rata-rata nasional 1,04 persen per tahun.

Dari jumlah penduduk tersebut, populasi nama Ketut hanya mencapai 6 persen. Sementara itu, populasi nama Komang dan Nyoman hanya mencapai 18 persen. Menurut Koster, kedua nama tersebut bisa saja punah dalam kurun waktu 30 tahun ke depan bila program KB tetap diterapkan.

“Ini perlu menjadi perhatian bersama. Pertumbuhan penduduk yang melambat dan tergerusnya budaya Bali, seperti hilangnya nama Nyoman dan Ketut. Harus kita jaga. Kalau tidak, nama-nama ini [Nyoman dan Ketut] tinggal di museum,” terang Koster dalam pidato perdananya di Rapat Paripurna ke-9 DPRD Bali di Gedung DPRD Provinsi Bali, Selasa (4/3/2025).

Oleh karena itu, Koster kini begitu gencar menggodok kebijakan mengenai pelestarian nama Nyoman, Komang, dan Ketut. Salah satunya adalah dengan menyediakan insentif bagi pemilik nama depan tradisional Bali yang menandai anak ketiga dan keempat tersebut.

Insentif tersebut tidak hanya berbentuk uang tunai, tapi juga program-program di berbagai ranah, termasuk pemberian bantuan ketika persalinan.

“Nanti, insentifnya macam-macam. Ada pendidikan, kesehatan. Bukan uang, tapi ada nanti. Nanti, akan diberikan insentifnya supaya mau melahirkan empat anak, tapi dengan catatan tidak menambah istri,” katanya.

Kebijakan itu pun sempat digaungkan Koster di periode pertama (2018-2023) kepemimpinannya sebagai Gubernur Bali. Saat itu, ide Koster itu bahkan sudah dibahas bersama Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Pusat, Hasto Wardoyo.

Tidak hanya itu, kebijakan mengenai pelestarian nama tradisional Bali tersebut juga tertuang dalam “Haluan Pembangunan Bali Masa Depan: 100 Tahun Bali Era Baru” yang menjadi pedoman Koster untuk menata Bali. Aturan khusus juga sudah dibuat, yaitu Instruksi Gubernur Bali Nomor 1545 Tahun 2019 tentang Sosialisasi Program Keluarga Berencana Krama Bali.

Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Bali, Ni Luh Gede Sukardiasih, menilai bahwa kebijakan Koster tersebut baik adanya. Namun, pihaknya menekankan pentingnya memperhatikan kualitas hidup, dibandingkan jumlah anak.

Hal tersebut dapat diwujudkan dengan langkah-langkah perencanaan yang matang, seperti pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi bagi calon pengantin, serta memastikan kesehatan ibu sebelum dan saat masa kehamilan.

Sukardiasih juga mengimbau agar masyarakat memberi jarak 3 tahun antara masing-masing kehamilan dengan memakai alat kontrasepsi. Usia maksimal untuk hamil pun ditetapkan pada umur 35 tahun.

“Kami tidak ada lagi mengisyaratkan dua anak, laki-laki dan perempuan sama saja. Itu tidak ada lagi. Yang penting, keluarga harus berkualitas. Itu kebijakannya Bapak [Wayan Koster] untuk melestarikan. Kalau kami dari BKKBN, men-support bagaimana mewujudkan keluarga berkualitas,” imbuh Sukardiasih di Kantor Gubernur Bali, Jumat (07/03/2025).

Demi menyokong tujuan tersebut, BKKBN sedang gencar merancang program edukasi bagi calon pengantin dan mendorong masyarakat adat untuk membuat aturan adat seperti awig-awig dan pararem.

“Keluarga berkualitas kita dukungannya. Masalah jumlah tidak masalah. Namun, kalau kita lihat, umur 21 tahun melahirkan, 35 tahun terakhir, jarak 3 tahun yang ideal dengan memakai alat kontrasepsi, itu empat memang pasnya. Nah, itu bisa berkualitas,” kata Sukardiasih.

Pro dan Kontra Insentif Nyoman dan Ketut

Antropolog dari Universitas Hindu Negeri, I Gusti Bagus Sugriwa, dan peneliti dari Center for Dharmic Studies, I Nyoman Yoga Segara, menilai bahwa kebijakan insentif untuk anak ketiga dan keempat merupakan salah satu upaya Koster memperbaiki beberapa kebijakan kontroversial di periode pertama kepemimpinannya.

Caranya adalah dengan langsung menyentuh jantung budaya orang Bali, salah satunya pemberian insentif untuk empat anak.

“Melalui kebijakan ini, diharapkan identitas kebalian dan kebanggaan budaya segera muncul di tengah isu Bali yang ‘terkepung’ oleh pendatang. Selain itu, Koster sepertinya ingin membangkitkan sisi romantis budaya Bali. Ini pasti selalu menarik di tengah masyarakat yang hidupnya berpola komunal dan kolektif seperti Bali,” ungkap Yoga kepada Tirto, Sabtu (08/03/2025).

Sayangnya, kebijakan insentif untuk Nyoman dan Ketut itu agaknya belum cukup untuk membangkitkan niat warga Bali untuk memiliki empat anak. Kesulitan ekonomi, daya beli masyarakat yang turun, dan gaya hidup child free yang makin masif dianut menjadi tantangan untuk menggalakkan kebijakan tersebut.

“Anggapan banyak anak banyak rezeki kini dianggap mitos karena jika punya dua anak saja mereka merasa sulit memenuhi kesehatan, pendidikan, dan masa depannya,” tambah Yoga.

Faktor lainnya, sebut Yoga, adalah skeptisnya warga Bali terhadap keberlangsungan dari kebijakan insentif tersebut. Muncul berbagai pertanyaan di masyarakat, seperti siapa yang bisa menjamin kebijakan tersebut akan berjalan terus di masa mendatang, bagaimana skema pemberian insentifnya, dan seberapa kuat pemerintah menjalankan kebijakan insentif ini.

“Belum lagi, secara genetik ada kecenderungan keluarga Bali hanya mampu memiliki satu anak atau anak tunggal, baik hanya anak perempuan atau anak laki-laki saja. Jadi, jangan sampai kebijakan itu seperti jalan pintas atau berjangka pendek. Koster harus menjelaskan semua keraguan itu secara terbuka,” beber Yoga.

Skeptisnya warga Bali terhadap kebijakan insentif Nyoman dan Ketut juga berkaitan dengan daya dukung Pulau Bali yang sudah tidak memadai. Menurut Yoga, Pulau Bali saat ini menerima terlalu banyak pendatang. Ada pendatang musiman karena pekerjaan yang sewaktu-waktu kembali ke tempat asalnya, ada juga pendatang yang mulai menetap di kampung-kampung kecil yang mereka bangun di beberapa wilayah desa adat.

Belum lagi kehadiran wisatawan domestik maupun asing yang menambah pergerakan manusia di Pulau Dewata.

“Mobilitas orang dan kendaraan sudah tidak bisa ditampung di jalan-jalan Bali yang dalam sejarahnya memang tidak diproyeksikan sebagai kota metropolitan. Namun, kini Bali seolah menjadi benteng terbuka tanpa penyaring yang ketat. Jika penduduk makin banyak dengan program KB empat anak, tetapi tidak diimbangi daya dukung, Bali akan menjadi persoalan baru yang sangat serius,” jelas Yoga.

Sementara itu, sosiolog dari Universitas Udayana (Unud), Gede Kamajaya, menilai insentif untuk anak ketiga dan keempat perlu dicermati lebih detail karena menyangkut banyak aspek.

Pertama, biaya pendidikan yang kian mahal sehingga jumlah empat anak tentu akan menjadi pertimbangan bagi orang tua. Kedua, lahan hunian yang kian sempit dan mahal. Ketiga, biaya kesehatan dan perihal reproduksi ibu.

“Apakah insentif yang dimaksud sudah menyentuh road map ke depan sampai sedetail ini? Itu yang jadi pertanyaan. Program ini juga kontraproduktif dengan program nasional soal KB sehingga perlu argumentasi teoritik, kultural, sosial, dan basis data ilmiah yang serius,” ucap Kamajaya kepada Tirto, Selasa (11/03/2025).

Saat ini, menurut Kamajaya, masyarakat Bali tengah mengalami perubahan sosial dari pola agraris menuju masyarakat industri. Transisi itu turut melahirkan rasionalitas tertentu yang salah satunya mengenai perhitungan sosial jumlah anak yang dikehendaki.

“Dalam masyarakat agraris, kebutuhan tenaga kerja untuk mengerjakan sawah mendorong wacana ‘banyak anak, banyak rezeki’. Berbeda dengan hari ini, ketika masyarakat Bali mengalami perubahan sosial itu,” tambahnya.

Agar Insentif Berdampak Positif

Terlepas dari semua pertimbangan itu, Pemprov Bali di bawah Wayan Koster berkukuh untuk meneruskan langkah pelestarian nama Nyoman, Komang, dan Ketut. Publik pun berharap orang nomor satu di Bali itu bisa mengeksekusi program insentif tersebut dengan baik, sekaligus meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Bali.

Yoga menilai bahwa Koster masih harus memperhitungkan program insentif itu secara cermat, terutama dari segi anggaran. Tujuannya, agar insentif tetap tersedia tanpa mengurangi anggaran pada sektor prioritas.

Selain itu, Pemprov Bali juga masih perlu memperhitungkan mitigasi atas ekses kebijakan itu secara holistik.

“Koster perlu membuat evaluasi, monitoring, dan pengawalan program dengan super ketat sehingga kebocoran anggaran dapat dieliminasi. Jangan lupa, Koster beserta jajarannya harus melakukan edukasi dan advokasi untuk kesiapan masyarakat, mengingat sejak 2019 program ini gagal dieksekusi,” ucap Yoga.

Yoga berharap insentif tersebut—apabila benar diberikan—dapat berjalan sesuai dengan peruntukannya dan tepat sasaran. Jangan sampai anggaran Pemprov Bali terbebani untuk program yang mungkin tidak masuk kategori prioritas dan mendesak.

“Tidak jarang, keluarga Bali yang memiliki empat anak atau lebih justru ada di pedesaan dengan tingkat ekonomi lemah. Anak yang banyak bagi mereka adalah modal untuk membantu orang tuanya bertani, berladang, atau beternak,” tukasnya.

Sementara itu, Kamajaya mendorong Koster dan timnya untuk melakukan riset lebih lanjut mengenai dampak insentif empat anak dari segi kultural, sosial, demografi, pendidikan, kesehatan, ekologis, dan paten. Insentif tersebut juga harus dijelaskan lebih rinci terkait mekanismenya, sejauh mana cakupannya, serta bagaimana eksekusinya di lapangan.

“Sangat penting membuat kebijakan berbasis data dan riset, termasuk keterlibatan publik di dalamnya karena itulah esensi suatu kebijakan disebut kebijakan publik. Yakinkan publik dengan membuat aturan main yang jelas. Yakinkan pula bahwa program ini bisa diterima negara,” ucapnya.

Baca juga artikel terkait PEMPROV BALI atau tulisan lainnya dari Sandra Gisela

tirto.id - News
Kontributor: Sandra Gisela
Penulis: Sandra Gisela
Editor: Fadrik Aziz Firdausi