Menuju konten utama

Aksi Damai Dibalas Represi: Aparat Pukul Mundur Penolak UU TNI

KontraS mengecam tindakan pembubaran paksa dan penyitaan serampangan alat peraga aksi massa yang melakukan kemah perlawanan menolak revisi UU TNI.

Aksi Damai Dibalas Represi: Aparat Pukul Mundur Penolak UU TNI
Aparat Satpol PP membubarkan paksa aksi massa penolak Undang-undang (UU) TNI yang berkemah di area trotoar depan Gerbang Pancasila Komplek MPR/DPR RI pada Rabu (9/4/2025) pukul 16.30 WIB. Tirto.id/M. Irfan Al Amin

tirto.id - Sekitar pukul 17.00 WIB, sekitar 30 aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) mendekati tenda-tenda yang didirikan oleh peserta aksi yang salah satunya berasal dari komunitas Bareng Warga (BW) sejak Senin (7/4/2025). Selain itu, para petugas pengamanan dalam (Pangdal) juga nampak menyiapkan pasukan dan hadir pula sekitar 1-2 pleton aparat kepolisian.

Kehadiran para petugas keamanan tersebut membuat perwakilan advokasi BW mencoba berdiskusi dengan kepala operasi yang bernama Teguh B. Selain itu, ada pula Komandan Pleton (Danton) yang tidak diketahui namanya oleh perwakilan peserta aksi.

“Aku nganggapnya si Danton, ya. Karena dia yang mengomandoi para anggota Satpol PP yang di lapangan, yang menggunakan toa memerintahkan pasukan untuk langsung mengangkut tenda dan barang-barang kita,” kisah salah satu perwakilan aksi yang meminta dipanggil Al, kepada Tirto, Kamis (10/4/2025).

Pengangkutan sempat tertahan karena negosiasi antara perwakilan advokasi peserta aksi bersama Teguh B berjalan cukup alot dan memerlukan waktu setidaknya 20 menit. Pasalnya, Satpol PP beranggapan bahwa aksi damai dengan membangun tenda di trotoar adalah hal yang melanggar Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum yang salah satunya mengatur soal larangan berjalan di trotoar.

Tidak hanya itu, Satpol PP juga beranggapan bahwa mereka telah mendapat laporan dari warga bahwa aksi kamping yang Al dan kawan-kawan lainnya lakukan mengganggu akses pejalan kaki. Padahal, jelas bahwa aksi kamping hanya merupakan upaya untuk menyampaikan suara masyarakat, berharap agar pemerintah terketuk hatinya dan membatalkan Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang disahkan menjadi UU pada Kamis (20/3/2025).

“Apa karena kita belum iuran bulanan makanya kita diusir dari trotoar?" Imbuh dia.

Satpol PP Bubarkan Aksi Massa Penolak UU TNI

Aparat Satpol PP membubarkan paksa aksi massa penolak Undang-undang (UU) TNI yang berkemah di area trotoar depan Gerbang Pancasila Komplek MPR/DPR RI pada Rabu (9/4/2025) pukul 16.30 WIB. Tirto.id/M. Irfan Al Amin

Massa aksi, menurut pria berusia 27 tahun ini juga bisa dianggap sebagai korban dari kebijakan Pangdal. Karena, pada hari pertama aksi kamping digelar, sore harinya ada peringatan baik dari Pangdal Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kepolisian, maupun Satpol PP untuk memindahkan tenda-tenda yang sebelumnya dibangun di belakang gerbang gedung DPR, tepatnya di seberang Halte Gerbang Pancasila.

Selain tak melanggar Perda, aksi penolakan revisi UU TNI ini pun juga dilindungi oleh UU 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Terlebih, aksi yang dilaksanakan juga berjalan kondusif dan peserta aksi yang hadir melakukan berbagai kegiatan seperti membaca buku bersama, membaca kartu tarot, hingga mengenakan kuteks atau pewarna kuku.

“Kita meminta pimpinan Pamdal datang dan berdialog dengan kita serta Satpol PP untuk mencari jalan tengahnya, ini enaknya gimana? Kita bilang, ‘ya udah, Pak. Pamdalnya suruh ke sini, biar ketemu sama kita’. (Tapi) nggak ada pertemuan. Nah, itu yang kita sangat sayangkan juga dari pihak Pamdalnya itu nggak mau ngomong,” jelas Al.

Belum juga negosiasi rampung, anggota Satpol PP sudah mengerumuni tenda-tenda yang berisi para peserta aksi beserta logistik yang mereka siapkan. Mencoba memaksa merobohkan dan mengangkut atribut aksi ke atas mobil, tak terkecuali dengan barang pribadi para peserta aksi yang tak seharusnya ikut diamankan. Al mengaku, ia bahkan sampai sekarang belum bisa menemukan jaket dan sepatu yang ia kenakan saat berangkat turut serta dalam aksi di hari ketiga tersebut.

“Saat sedang diskusi, ada radio dari Satpol PP yang berbunyi. Tidak ada argumentasi atau diskusi, angkut semua itu,” terang Al, mengira bahwa instruksi itu datang dari Danton.

Tak hanya merobohkan paksa tenda-tenda peserta aksi, Satpol PP yang hadir juga melakukan intimidasi. Bahkan, entah disengaja atau tidak, memukul, menendang, hingga menjambak para peserta aksi yang berusaha mempertahankan tenda yang sudah dicabut paksa kerangka atau pasak-pasaknya. Tidak hanya itu, salah satu anggota Satpol PP juga berbicara pada kawannya yang lain untuk menutup saja lubang ventilasi yang ada di atas tenda, supaya para peserta aksi kepanasan dan kesulitan bernapas.

“Saya mendengar salah satu aparat bilang, ‘biarin aja dia kepanasan. Nanti juga pada mati di dalam!’ Itu bisa divalidasi dengan ada footage (video) dari salah satu teman yang di luar,” kata salah satu perempuan yang berada di dalam tenda tersebut dan meminta disebut Claire.

Pada saat itu, ia bersama dua kawannya, satu lagi perempuan dan laki-laki. Di dalam tenda, ia pun sempat mendapat pukulan dari salah satu anggota Satpol PP perempuan dan juga tendangan dari entah siapa. Pun, dengan teman prianya. Sementara untuk teman wanitanya, mendapat jambakan yang cukup keras hingga membuat kepalanya merah dan beberapa helai rambut rontok.

Kejadian tersebut, kata Claire, terjadi saat para anggota Satpol PP yang mengerumuni tendanya berusaha mencabut tenda dari tempatnya berdiri tanpa rangka. Tak berhasil, para petugas keamanan tersebut berusaha untuk menggulingkan tenda. Dengan di luar ada lebih banyak anggota Satpol PP, jelas ketiganya tidak bisa lagi mempertahankan tenda dan ikut terguling ke jalan raya.

“Karena kita bilang, ‘kalau mau ambil tenda, ambil sama orangnya di dalam’ gitu. Nah, mereka mulai gulingkan kita ke jalan, karena mereka tidak bisa mengangkat kami. Pada saat tenda terguling, teman saya yang perempuan sudah hampir kejedot aspal kepalanya. Karena memang digulingin bener-bener, kita udah bertumpuk-tumpuk gitu di dalam satu sama lain,” cerita Claire.

Satpol PP Bubarkan Aksi Massa Penolak UU TNI

Aparat Satpol PP membubarkan paksa aksi massa penolak Undang-undang (UU) TNI yang berkemah di area trotoar depan Gerbang Pancasila Komplek MPR/DPR RI pada Rabu (9/4/2025) pukul 16.30 WIB. Tirto.id/M. Irfan Al Amin

“Pada saat mau digulingkan, ini karena memang tidak bisa dan kami berteriak, ‘kalian mau membunuh kami apa bagaimana?’,” serunya, sambil mengatakan bahwa setelah itu para anggota Satpol PP mulai merobek tenda dan memaksa Claire bersama dua kawannya keluar.

Karena pembubaran paksa itu, para peserta aksi pada akhirnya memutuskan untuk menghentikan sementara perjuangan mereka. Namun, suara-suara tuntutan pencabutan revisi UU TNI tetap akan digaungkan, kamping tetap akan dilakukan sebagai aksi damai, terbuka dan kreatif.

“Karena aksi damai bukan ancaman. Dan tenda piknik bukan musuh negara,” tulis para peserta aksi yang tergabung dalam komunitas Bareng Warga pada keterangan resmi, dikutip Kamis (10/4/2025).

Menyusul pembubaran aksi secara sepihak dan ramainya dukungan bagi para peserta aksi di berbagai media sosial, Kepala Satpol PP Jakarta, Satriadi Gunawan, menjelaskan bahwa pembubaran oleh anak buahnya dilakukan karena aksi kamping dianggap telah meresahkan masyarakat dan melanggar Perda, sama seperti yang sebelumnya menjadi argumen Teguh B. Hal ini didasarkan dari banyaknya aduan dari masyarakat yang merasa terganggu dengan aktivitas berkemah yang bertempat di area trotoar tersebut.

“Kita kan banyak aduan juga dari masyarakat, karena itu kan jalan trotoar, jadi masyarakat banyak aduan tuh. Karena kan pedestrian itu kan harusnya buat jalan trotoar, bukan buat camping (berkemah) ya,” ujar Satriadi saat dihubungi Tirto, Rabu (9/4/2025).

Meski begitu, Satriadi membantah personelnya telah melakukan aksi represif saat melakukan pembubaran aksi, seperti dengan cara merobek tenda.

“Oh, enggak [ada perobekan tenda],” tegasnya.

Tak lama setelahnya, melalui keterangan tertulis yang diterima Tirto, Satriadi menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat atas kegaduhan yang terjadi di area DPR. Selain itu, dia juga memastikan bahwa ke depan, dalam menghadapi massa aksi Satpol PP akan mengedepankan pendekatan dialogis. Dus, diharapkan situasi negara akan tetap kondusif dan aspirasi masyarakat tetap tersampaikan tanpa ada gesekan.

“Pendekatan humanis dan komunikatif akan kami jadikan standar dalam setiap pengamanan. Kami ingin memastikan bahwa hak menyampaikan pendapat di muka umum tetap terjaga, sejalan dengan ketertiban umum dan kenyamanan masyarakat luas,” kata dia.

Selain Satriadi, Gubernur Jakarta, Pramono Anung, melalui Staf Khusus Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta Bidang Komunikasi Publik, Chico Hakim, juga memohon maaf atas tindakan Satpol PP Jakarta yang melakukan pembubaran aksi sepihak. Pemerintah Provinsi Jakarta pun telah memperingatkan jajaran Satpol PP untuk belajar dari kejadian itu dan berkomitmen untuk tak mengulang kesalahan yang sama.

"Atas nama Gubernur kami mohon maaf atas kejadian ini. Gubernur telah mengevaluasi, menegur jajaran pimpinan terkait. (Kami) berkomitmen agar aparat Pemprov memperbaiki cara penanganan dan mengedepankan dialog. Terkait cara-cara penanganan yang di luar prosedur akan dipastikan ada sanksi," kata Chico, kepada awak media, Kamis (10/4/2025).

Terpisah, Ketua Divisi Hukum Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Andrie Yunus, menyampaikan bahwa KontraS mengecam keras tindakan pembubaran paksa dan penyitaan serampangan alat peraga aksi massa yang melakukan kamping perlawanan menolak revisi UU TNI. Sebab, selain tidak berwenang melakukan penyitaan, Satpol PP juga melakukan pelanggaran hukum terhadap UU 9/1998.

“Dan oleh karenanya, tindakan tersebut amat abusive,” ujar dia, melalui aplikasi perpesanan, kepada Tirto, Kamis (10/4/2025).

Satpol PP Bubarkan Aksi Massa Penolak UU TNI

Aparat Satpol PP membubarkan paksa aksi massa penolak Undang-undang (UU) TNI yang berkemah di area trotoar depan Gerbang Pancasila Komplek MPR/DPR RI pada Rabu (9/4/2025) pukul 16.30 WIB. Tirto.id/M. Irfan Al Amin

Pembubaran sepihak yang dilakukan oleh Satpol PP merupakan tindakan yang berlebihan dalam merespons aksi damai. Demonstrasi damai apapun bentuknya, baik itu orasi di jalan maupun perkemahan merupakan bagian dari kebebasan berekspresi yang dijamin oleh undang-undang, yang tidak boleh dibubarkan sepihak oleh aparat, baik polisi apalagi Satpol PP.

Selain itu, tindakan Satpol PP tersebut juga tidak sejalan dengan komitmen Pramono yang pada pertemuan Maret lalu dengan Sekretaris Jenderal Amnesty International, Agnes Callamard, untuk melindungi segala bentuk demonstrasi damai yang terjadi di wilayah Jakarta. Pun, tindakan Satpol PP ini juga menjadi cerminan nirsimpati pemerintah pada aksi-aksi damai, selain juga arogansi aparat-aparat yang seharusnya melindungi keamanan masyarakat.

“Tidak hanya itu, penanganan demonstrasi di Jakarta maupun di berbagai kota di Indonesia, juga kerap diwarnai aksi-aksi kekerasan aparat dan penggunaan kekuatan yang berlebihan. Jadi, apa yang ditunjukkan oleh satpol PP merupakan bagian dari buruknya taktik yang digunakan oleh pemerintah dan aparat dalam menangani aksi damai,” jelas Juru bicara Amnesty International Indonesia, Haeril Halim, saat dihubungi Tirto, Kamis (10/4/2025).

Karenanya, ia menuntut Pramono untuk memberikan teguran kepada Satpol PP dan memberikan instruksi yang jelas terkait perlindungan segala bentuk aksi damai yang berada di wilayah pemerintahan Jakarta. Selain itu, Pramono juga harus berkomitmen untuk melindungi segala bentuk aksi damai di wilayah pemerintahannya.

“Gubernur harus menjalankan komitmen tersebut sebagai bentuk penghargaan terhadap kebebasan berkumpul, berekspresi dan melakukan protes damai,” tambah Haeril.

Sementara itu, Andrie Yunus dari KontraS, menilai bahwa yang tak kalah penting dari permintaan maaf adalah agar Pemprov Jakarta melalui inspektorat sesegera mungkin melakukan pemeriksaan terhadap para anggota Satpol PP yang terlibat dalam pembubaran paksa aksi kamping koalisi masyarakat.

“Pemrov DKI Jakarta melalui inspektorat sesegera mungkin melakukan pemeriksaan terhadap para anggota Satpol PP yang melakukan pembubaran paksa hingga penyitaan sewenang-wenang,” tutupnya.

Baca juga artikel terkait REVISI UU TNI atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - News
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Anggun P Situmorang