tirto.id - Presiden Prabowo Subianto bertitah, regulasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) harus dibuat lebih fleksibel dan realistis guna menjaga atau bahkan meningkatkan daya saing industri lokal di pasar global. Menurutnya, kebijakan TKDN yang selama ini diatur oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin) ini justru membuat industri-industri dalam negeri terbebani, sehingga kalah kompetitif dibanding perusahaan-perusahaan asing.
Sebagai gantinya, pemerintah bisa memberikan insentif kepada dunia usaha dan juga perusahaan-perusahaan asing yang berkeinginan menanamkan modalnya di Tanah Air.
“Saya kalau saudara mungkin sudah kenal saya lama, mungkin dari saya ini paling nasionalis. Kalau istilahnya dulu, kalau mungkin jantung saya dibuka yang keluar Merah Putih, mungkin. Tapi kita harus realistis, TKDN dipaksakan, ini akhirnya kita kalah kompetitif. Saya sangat setuju, TKDN fleksibel saja,” ujar Prabowo dalam acara Sarasehan Ekonomi, di Menara Mandiri, Selasa (8/4/2025).
Kendati, diakuinya, kebijakan TKDN pada dasarnya dibuat dengan niat baik, untuk menjaga nasionalisme dunia usaha dengan menggunakan komponen-komponen lokal dalam setiap proses produksi. Namun, untuk masalah pemenuhan kemampuan industri dalam menggunakan komponen lokal seharusnya dimaknai dengan lebih luas.
Sebab, hal ini akan melibatkan pula kemampuan tenaga kerja di berbagai sektor industri. Sehingga, untuk meningkatkan penggunaan komponen dalam negeri, harus terlebih dulu memperbaiki sistem pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), hingga implementasi sains.
“Tolong diubah itu, TKDN dibikin yang realistis saja. Masalah kemampuan dalam negeri, konten dalam negeri itu adalah masalah luas, itu masalah pendidikan, iptek, sains. Jadi itu masalah, nggak bisa kita dengan cara bikin regulasi TKDN naik,” imbuh Ketua Umum Partai Gerindra itu.
Sementara itu, sebelumnya, dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menjelaskan bahwa untuk memuluskan negosiasi dengan Amerika Serikat (AS), pemerintah bermaksud melonggarkan kebijakan TKDN terhadap perusahaan-perusahaan asal AS, terkhusus yang bergerak di sektor teknologi informasi dan komunikasi (TIK) alias Information and Communication Technology (ICT).
“Jadi ada pertimbangan terkait dengan sektor yang mereka ekspor ke Indonesia antara lain ICT. Itu kita sedang kaji dan kita akan respons,” katanya, Senin (7/4/2025).
Relaksasi aturan TKDN ini menjadi alat tawar pemerintah kepada AS karena kebijakan itu lah yang menjadi salah satu sebab penerapan tarif bea masuk resiprokal sebesar 32 persen terhadap seluruh barang yang berasal dari Indonesia. Selain itu, Gedung Putih juga melihat rezim perizinan impor oleh pemerintah Indonesia dinilai kompleks.
Titah Prabowo tersebut bertolak belakang dengan keputusan yang diambil Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi). Jika menengok ke belakang, pemenuhan TKDN diatur dengan cukup ketat. Bahkan, perusahaan teknologi sekaliber Apple Inc. membutuhkan waktu kurang lebih enam bulan demi dapat memasukkan produk terbarunya, seri iPhone 16, ke pasar Indonesia.
Berdasar catatan Tirto, Apple telah bernegosiasi dengan Kemenperin sejak Oktober lalu dan baru bisa mendapatkan sertifikasi TKDN pada awal bulan lalu. Produsen ponsel merek iPhone ini tak kunjung mendapat sertifikat TKDN karena kegagalan perusahaan tersebut dalam memenuhi syarat TKDN dari pemerintah.
“Dengan adanya MoU dan sudah sepakati nilai investasi, jadi bisa sesegera mungkin (seri iPhone 16 dijual). Sesegera mungkin,” ujar Menteri Perindustrian (Menperin), Agus Gumiwang Kartasasmita pada akhir Februari lalu.
Apple, kata Agus, sepakat untuk menanamkan investasi baru sebesar 160 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp2,69 triliun (asumsi kurs Rp16.800 per dolar AS) yang akan berlangsung dalam periode tiga tahun, antara 2024-2027. Nilai investasi berbentuk tunai (hard cash) ini mencakup berbagai kegiatan, meliputi kelanjutan pembangunan Apple Academy, pendirian Apple Software Indonesia and Technology Institute, serta Apple Professional Developer Academy.
Sebagai informasi, sebelumnya Apple bermaksud hanya menanamkan investasi 100 juta dolar atau sekitar Rp1,68 triliun untuk pembuatan komponen gabus AirPods Max.
“160 juta dollar AS yang merupakan komitmen investasi siklus berikutnya itu sebetulnya angka minimal. Kami juga sudah menghitung dampaknya terhadap berbagai sektor,” jelasnya.
Sebelumnya, Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arif, mengatakan bahwa pihaknya tengah mengkaji kemungkinan untuk merevisi Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 29 Tahun 2017 tentang Ketentuan dan Tata Cara Perhitungan Tingkat Komponen Dalam Negeri Produk Telepon Seluler, Komputer Genggam, dan Komputer Tablet. Rencana ini muncul usai Kemenperin melihat adanya pergeseran definisi di industri yang terlihat dari komposisi penjualan, teknologi dan jumlah industri teknologi.
"Kami mempertimbangkan bahwa sudah terjadi perubahan struktur industri dalam negeri, pergeseran, sehingga Permenperin tersebut harus menyesuaikan dengan kebutuhan saat ini. Ya kan bisa saja dilihat dari sisi komposisi sales, teknologi, dan juga jumlah industri yang bisa menyokong industri smartphone itu," kata dia di Kementerian Perindustrian, Kamis (22/11/2024).
Hingga kini, Kemenperin masih mengatur tiga skema penghitungan TKDN dalam aturan tersebut. Pertama, pembangunan manufaktur atau pabrik produksi memiliki bobot 70 persen dari penilaian TKDN produk. Kedua, dari aspek inovasi atau pembuatan fasilitas penelitian dan pengembangan (research and development/RnD) memiliki bobot 20 persen dari penilaian TKDN produk. Ketiga, pengembangan aplikasi memiliki bobot 10 persen dari penilaian TKDN produk.
"Beda kalau dengan skema manufaktur, dia bangun pabrik di sini, kemudian produknya itu dihitung skor TKDN-nya. Atau juga skema ketiga, dia skema aplikasi, dilihat aplikasinya, dihitung nilainya ada sekian nilai aplikasinya, maka dia dapat skor TKDN sekian," imbuh Febri.
Sementara itu, melalui revisi ini, Kemenperin ingin agar produsen atau investor asing yang ingin memasarkan produknya harus menggandeng industri dalam negeri untuk memproduksi komponen-komponen yang dibutuhkan atau membeli komponen-komponen tersebut dari perusahaan manufaktur Indonesia. Dengan begitu, diharapkan dapat tercipta efek berganda (multiplier effect), sehingga bisa memperluas kesempatan kerja di Tanah Air.
Perlu Dihitung Ulang Dampak Ekonomi Relaksasi TKDN
Analis kebijakan ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani, melihat TKDN sebagai instrumen kebijakan dari pemerintah untuk melindungi ekonomi nasional. Tidak hanya itu, kebijakan TKDN juga secara efektif mendorong penggunaan produk lokal, meningkatkan daya saing produk nasional, serta menjaga neraca perdagangan tetap positif.Sehingga, ketika kebijakan TKDN akan dievaluasi ulang, harus dihitung dulu secara matematis seberapa besar dampak ekonominya, berapa volume dunia usaha yang akan tutup karena potensi lonjakan impor komponen dan bahan baku imbas relaksasi TKDN, hingga berapa banyak paket kebijakan ekonomi yang harus digelontorkan pemerintah untuk menutup potensi kontraksi ekonomi yang terjadi.
“Kemudian, perlu dihitung juga berapa perkiraan potensi pengangguran tambahan dan dari mana lapangan kerja baru yang bisa tercipta,” kata Ajib, saat dihubungi Tirto, Rabu (9/4/2025).
Menurutnya, relaksasi TKDN akan berlaku optimal ketika industri berada dalam situasi efisiensi ekonomi tingkat tinggi. Namun, dalam kondisi perlambatan ekonomi yang tengah terjadi saat ini, pemerintah perlu terlebih dulu mendorong peningkatan produktivitas, mengurangi aktivitas ekonomi berbiaya tinggi (high cost economy), deregulasi, dan debirokratisasi.
“Intinya, dari sisi dunia usaha akan membutuhkan waktu, dan dari sisi pemerintah membutuhkan komitmen yang nyata dan konsisten,” imbuh Ajib.
Selain usaha-usaha besar, usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) juga dinilai akan terimbas kebijakan relaksasi TKDN. Sebab, selama ini ketatnya regulasi TKDN menjadi semacam pagar pelindung bagi produk lokal agar tidak langsung bersaing dengan barang impor murah dari luar negeri yang tidak menerapkan konsep perdagangan yang adil (fair trade).
Dus, ketika pagar pelindung tersebut dilepas tanpa adanya skenario mitigasi, apalagi dalam situasi global saat ini yang mana banyak negara berpikir untuk memindahkan pasarnya dari AS imbas tarif perdagangan tinggi, jelas akan membuat UMKM yang pertama terdorong keluar dari persaingan bisnis di negeri sendiri.
“Dalam hal ini, Amerika Serikat cenderung menutup pasarnya dengan impor yang besar, sehingga Cina misalnya, Vietnam itu pastinya akan berburu pasar dan pasar paling besar itu di Asia Tenggara terutama itu adalah Indonesia,” jelas Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi di The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho, kepada Tirto, Rabu (9/4/2025).
Berbeda dengan industri-industri besar, UMKM cenderung tak punya cukup modal untuk sekadar bertahan. Pun, daya tawar dari usaha-usaha kecil juga jauh lebih rendah dari barang-barang impor atau bahkan produk dari industri besar.
“(UMKM) sangat rentan dengan perubahan harga di pasar,” imbuh Andry.
Meski begitu, relaksasi TKDN masih bisa menjadi win-win solution sebagai alat negosiasi pemerintah Indonesia kepada Gedung Putih jika relaksasi TKDN ini bisa diatur dengan insentif yang pada akhirnya mendorong UMKM masuk ke dalam rantai pasok global. Jadi, bukan malah menggembosi UMKM, tapi justru memperkuat keterhubungan mereka dengan pasar internasional.
“Di beberapa negara, misalnya seperti Vietnam, mereka membuka impor bahan baku dan komponen, tapi pemerintahnya tetap memberikan insentif fiskal, tetap memberikan bantuan teknis dan tentunya dukungan ekspor bagi UMKM agar mereka bisa ikut mengisi mata rantai industri global. Jadi, industri domestik ini tidak sekedar jadi penonton, tapi ikut bermain dalam pasar internasional,” terangnya.
Karenanya, untuk mencapai hal ini, pemerintah mesti memastikan keterlibatan UMKM dalam mata rantai industri, misalnya melalui skema kemitraan antara pelaku usaha besar dengan UMKM. Selain itu, pemberian insentif, fasilitas pembiayaan dan pendampingan juga harus dilakukan agar mempermudah UMKM naik kelas dan bersaing di pasar global.
Lebih penting, pemerintah tak boleh lepas tangan begitu saja terhadap keberlangsungan UMKM maupun industri-industri besar domestik. Sebab, deregulasi yang digembar-gemborkan pemerintah akhir-akhir ini untuk meningkatkan daya saing industri lokal justru akan berbahaya untuk diterapkan di tengah ancaman perang dagang, tanpa adanya strategi yang ikut mendukung deregulasi tersebut.
Dengan upaya ini, meski TKDN dilonggarkan, Andry melihat UMKM akan tetap mendapatkan bagian dalam produksi atau distribusi.
“Nah, end game-nya apa sih? End game-nya ini menurut saya harus jelas. Artinya, UMKM itu bukan hanya bertahan, tapi justru harus terkoneksi lebih dalam ke rantai pasok global. Selama ini kita tahu, UMKM kita berdiri sendiri-sendiri, tidak ada koneksinya dengan rantai pasok global,” tegas Andry.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Farida Susanty