tirto.id - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) tengah mengkaji kemungkinan untuk merevisi Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 29 Tahun 2017 tentang Ketentuan dan Tata Cara Perhitungan Tingkat Komponen Dalam Negeri Produk Telepon Seluler, Komputer Genggam, dan Komputer Tablet. Rencana ini muncul usai Kemenperin melihat adanya pergeseran definisi di industri yang terihat dari komposisi penjualan, teknologi dan jumlah industri teknologi.
"Kami mempertimbangkan bahwa sudah terjadi perubahan struktur industri dalam negeri, pergeseran, sehingga Permenperin tersebut harus menyesuaikan dengan kebutuhan saat ini. Ya kan bisa saja dilihat dari sisi komposisi sales, teknologi, dan juga jumlah industri yang bisa menyokong industri smartphone itu," kata Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arif, saat ditemui awak media, di Kementerian Perindustrian, Kamis (22/11/2024).
Febri mengatakan, saat ini diatur tiga skema penghitungan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dalam aturan tersebut. Pertama, pembangunan manufaktur atau pabrik produksi memiliki bobot 70 persen dari penilaian TKDN produk.
"Permenperin 29/2017 ada tiga skema tadi itu, dan salah satunya skema inovasi, dan dalam skema inovasi itu kalau dia investasi untuk inovasi sekian rupiah itu dia memenuhi TKDN, dapat skor TKDN sekian. Jadi memang bergantung pada nilai investasinya," ujar dia.
Kedua, dari aspek inovasi atau pembuatan fasilitas penelitian dan pengembangan (research and development/RnD) memiliki bobot 20 persen dari penilaian TKDN produk. Ketiga, pengembangan aplikasi memiliki bobot 10 persen dari penilaian TKDN produk.
"Beda kalau dengan skema manufaktur, dia bangun pabrik di sini, kemudian produknya itu dihitung skor TKDN-nya. Atau juga skema ketiga, dia skema aplikasi, dilihat aplikasinya, dihitung nilainya ada sekian nilai aplikasinya, maka dia dapat skor TKDN sekian," imbuh Febri.
Sementara itu, melalui revisi ini, Kemenperin ingin agar produsen atau investor asing yang ingin memasarkan produknya harus menggandeng industri dalam negeri untuk memproduksi komponen-komponen yang dibutuhkan atau membeli komponen-komponen tersebut dari perusahaan manufaktur Indonesia. Dengan begitu, diharapkan dapat tercipta efek berganda (multiplier effect), sehingga bisa memperluas kesempatan kerja di Tanah Air.
"Dan itu alasannya, apel mulai bekerja sama dengan industri dalam negeri untuk mencoba mengintegrasikan industri dalam negeri dalam global value chain-nya Apple," sambung Febri.
Perlu diketahui, dengan adanya aspek inovasi ini juga lah yang membuat Apple Inc. dapat memenuhi ketentuan TKDN minimal 35 persen untuk produk-produk ponsel pintarnya. Namun, dari komitmen investasi sebesar Rp1,7 triliun yang berlaku 2020-2023, Apple masih belum melunasi Rp271 miliar investasi di antaranya.
Hal ini lah yang kemudian membuat Kemenperin tak juga memberikan izin edar bagi seri terbaru ponsel pintar mereka, iPhone 16.
"Tapi kan janji tetaplah janji, yang harus dipenuhi oleh Apple. Dan kita tahu bahwa Apple adalah perusahaan global yang besar, yang kami tentu berpegang pada janjinya. Dan kita tahu lah bahwa angka Rp271 miliar itu kan bukanlah angka yang besar buat Apple,” kata Febri.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Anggun P Situmorang