tirto.id - Juru Bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arif, mengatakan, setiap kenaikan 1 persen Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan berdampak pada utilisasi alias kapasitas produksi terpasang industri. Ia tidak memungkiri dampak dari kenaikan tarif pajak akan ikut memukul seluruh sektor industri.
“Kenaikan 1 persen PPN itu tentu berdampak sekali pada utilisasi industri. Semua sektor terdampak. Sama itu, semua terdampak. Semua kena,” kata dia, saat ditemui awak media, di Kementerian Perindustrian, Kamis (21/11/2024).
Akan tetapi, Febri memahami, penyesuaian tarif PPN menjadi 12 persen ini dimaksudkan pemerintah untuk mengerek pendapatan negara, yang pada tahun 2025 ditargetkan sebesar Rp3.005,13 triliun. Angka ini naik dari rancangan semula yang senilai Rp2.996,9 triliun. Oleh karena itu, dia pun meminta agar industri memaklumi kenaikan PPN 12 persen yang sudah diketok pemerintah ini.
“Iya, memang harus juga dilihat, pemerintah kan juga punya target pendapatan sekian persen, ya. Target apbn pendapatan. Ya harus dimaklumi juga,” imbuhnya.
Sebelumnya, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Dwi Astuti, meminta agar masyarakat tak melihat PPN hanya dari kenaikan tarifnya saja, melainkan juga dari sisi lainnya. Pertama, tidak semua barang dan jasa terkena PPN, seperti di antaranya adalah bahan-bahan pokok berupa beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan dan sayur-sayuran.
“Serta jasa pelayanan kesehatan, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa transportasi umum, dan jasa ketenagakerjaan, dibebaskan dari pengenaan PPN, artinya kebutuhan rakyat banyak tidak terpengaruh oleh kebijakan ini,” rincinya, melalui aplikasi perpesanan kepada Tirto, dikutip Kamis (21/11/2024).
Kedua, hasil dari penyesuaian tarif ini juga akan kembali kepada rakyat dalam berbagai bentuk dan fasilitas. Beberapa di antaranya adalah bantuan untuk kelompok masyarakat yang membutuhkan, termasuk Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Program Indonesia Pintar (PIP) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah. Pun dengan subsidi listrik, subsidi LPG 3 kg, subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), dan subsidi pupuk.
Selain itu, pemerintah juga telah menetapkan kebijakan tax bracket atau rentang penghasilan yang dikenakan tarif pajak tertentu yang harus dibayarkan berdasarkan penghasilannya. Dengan kebijakan ini, tarif pajak bagi kelompok berpendapatan tinggi akan lebih besar dibandingkan dengan kelompok berpendapatan lebih rendah.
“Perlu kami sampaikan juga bahwa Pemerintah telah memperluas bracket penghasilan menjadi Rp60 juta yang dikenakan tarif terendah sebesar 5 persen. Pemerintah juga menerapkan pembebasan pajak penghasilan (0 persen) bagi Wajib Pajak Orang Pribadi UMKM dengan omzet sampai dengan Rp500 juta,” imbuh Dwi.
Dengan kebijakan-kebijakan tersebut, daya beli masyarakat terutama kelompok masyarakat ekonomi menengah ke bawah diharapkan bisa tetap terjaga.
“Di sisi lain, sebagai wujud kegotongroyongan orang pribadi yang memiliki penghasilan lebih dari Rp5 miliar dikenakan tarif tertinggi sebesar 35 persen,” tegas Dwi.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Andrian Pratama Taher