tirto.id - Seruan penolakan terhadap kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 semakin ramai di media sosial. Salah satunya disampaikan lewat unggahan garuda biru dengan tulisan “Perpajakan Tanpa Perwakilan Rakyat adalah Kejahatan”.
Selain itu, banyak warganet yang membagikan gambar atau stiker Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dengan tulisan, “Pajakmu Semangatku”.
Menanggapi banyaknya protes, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Dwi Astuti, meminta agar masyarakat tak melihat PPN hanya dari kenaikan tarifnya, melainkan dari dua sisi lainnya.
Pertama, menurut dia, tidak semua barang dan jasa terkena PPN, di antaranya bahan-bahan pokok berupa beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran.
“Serta jasa pelayanan kesehatan, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa transportasi umum, dan jasa ketenagakerjaan, dibebaskan dari pengenaan PPN, artinya kebutuhan rakyat banyak tidak terpengaruh oleh kebijakan ini,” ungkapnya melalui aplikasi perpesanan kepada reporter Tirto, dikutip Kamis (21/11/2024).
Kedua, tambahnya, hasil dari kenaikan tarif ini nantinya akan kembali kepada rakyat dalam berbagai bentuk dan fasilitas. Di antaranya adalah bantuan untuk kelompok masyarakat yang membutuhkan, termasuk Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Program Indonesia Pintar (PIP), dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah. Juga subsidi listrik, subsidi LPG 3 kg, subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), dan subsidi pupuk.
Ia menambahkan, pemerintah juga telah menetapkan kebijakan tax bracket atau rentang penghasilan yang dikenakan tarif pajak tertentu yang harus dibayarkan berdasarkan penghasilannya. Dengan kebijakan ini, tarif pajak bagi kelompok berpendapatan tinggi akan lebih besar dibandingkan dengan kelompok berpendapatan lebih rendah.
“Perlu kami sampaikan juga bahwa pemerintah telah memperluas bracket penghasilan menjadi Rp60 juta yang dikenakan tarif terendah sebesar 5 persen. Pemerintah juga menerapkan pembebasan pajak penghasilan (0 persen) bagi Wajib Pajak Orang Pribadi UMKM dengan omzet sampai dengan Rp500 juta,” imbuh Dwi.
Dengan kebijakan-kebijakan tersebut, kata dia, daya beli masyarakat terutama kelompok masyarakat ekonomi menengah ke bawah diharapkan bisa tetap terjaga.
“Di sisi lain, sebagai wujud kegotongroyongan orang pribadi yang memiliki penghasilan lebih dari Rp5 miliar, dikenakan tarif tertinggi sebesar 35 persen,” ujarnya.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Irfan Teguh Pribadi