tirto.id - Data-data ekonomi Amerika Serikat (AS) pada kuartal IV 2024 menunjukkan tren beragam. US Bureau of Economic Analysis (BEA) mencatat defisit neraca transaksi berjalan AS menyempit 6,3 miliar dolar AS atau 2,0 persen menjadi 303,9 miliar dolar AS. Hal itu didorong oleh peningkatan ekspor barang dan jasa, dari senilai 16,1 miliar dolar AS menjadi 1,22 triliun dolar AS.
Impor barang dan jasa juga menunjukkan pertumbuhan positif sebesar 9,7 miliar dolar AS menjadi 1,53 triliun dolar AS.
Meski begitu, ekonomi AS pada periode yang sama hanya tumbuh 2,3 persen secara tahunan (year on year/yoy), melambat dari kuartal sebelumnya yang masih sebesar 2,8 persen (yoy). Bahkan, capaian itu turun drastis dibanding kuartal IV 2023 yang masih sebesar 2,2 persen (yoy).
Maju ke Februari 2025, tingkat pengangguran AS naik jadi 4,1 persen. Jumlah individu menganggur meningkat sebanyak 203 ribu, menjadi 7,05 juta jiwa, sementara jumlah pekerjaan menurun sebanyak 588 ribu menjadi hanya 163,31 juta lapangan pekerjaan.
Pada saat yang sama, tingkat inflasi AS pada Februari 2025 tercatat turun ke angka 2,8 persen (yoy) dari posisi Januari yang sebesar 3 persen, dengan indeks harga konsumen (Index Consumer Price/ICP) naik sebesar 0,2 persen.
Kendati turun, tingkat inflasi tersebut masih jauh lebih tinggi dari yang ditarget The Federal Reserve (The Fed), yakni 2 persen.
Dengan kondisi ini, ekspektasi masyarakat AS terhadap pendapatan, bisnis, dan pasar tenaga kerja turun tajam menjadi hanya di angka 65,2—menjadi level terendah dalam 12 tahun terakhir.
“Orang-orang sering membiarkan pandangan politik mereka memengaruhi pandangan mereka terhadap ekonomi, yang cenderung terwujud dalam data keyakinan," kata Ketua Dewan Penasihat Ekonomi Presiden AS Donald Trump, Stephen Miran, dikutip CNN, Rabu (26/3/2025).
Ketua The Fed, Jerome Powell, pun sampai turun tangan berusaha menenangkan pasar. Dia yakin bahwa ekonomi AS masih cukup sehat.
“Pertumbuhan tampaknya sedikit melambat, belanja konsumen juga melambat. Tapi, masih dalam kecepatan [pertumbuhan] yang solid,” kata Powell dalam konferensi pers, Rabu (19/3/2025) lalu.
Meski begitu, yang dilakukan Powell justru menggambarkan kondisi sebaliknya. Dalam Summary of Economic Projections (SEP) yang terbit pekan lalu, The Fed meramal bahwa pertumbuhan ekonomi AS hanya akan berada di kisaran 1,7 persen di tahun ini.
Padahal, sebelumnya di Desember 2024, The Fed memperkirakan ekonomi AS masih dapat tumbuh sebesar 2,1 persen.
Berbagai data ekonomi tersebut membuat World Economic Forum khawatir AS akan mengalami stagflasi. Sebagai informasi, stagflasi merupakan siklus ekonomi yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang lambat dan tingkat pengangguran yang tinggi disertai inflasi. Kendati demikian, stagflasi yang mungkin terjadi tidak akan sama seperti yang pernah terjadi pada 1970-an.
“Di AS, kondisinya jauh berbeda dari kelesuan pada level tahun 1970-an, tetapi ada sedikit aroma nostalgia yang mengecewakan di udara. Beberapa indikator utama yang suram, bercampur dengan ketidakpastian kebijakan yang besar, telah menimbulkan kekhawatiran,” tulis World Economic Forum dalam laporannya, dikutip Rabu (26/3/2025).
Sinyal Bahaya dari AS
Menurut ekonom dari Departemen Ekonomi Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, isu terkait inflasi yang tetap tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang melambat di AS tidak lagi sekadar risiko teknikal dalam grafik ekonomi. Risiko itu telah menjadi pembicaraan serius di kalangan pembuat kebijakan, analis, hingga pelaku pasar dunia.
Ini juga bukan hanya sinyal pantulan dari negeri seberang, melainkan peringatan dini bahwa pondasi makroekonomi kita harus siap menghadapi tekanan global yang semakin kompleks. Sebab, ketika gejolak pasokan, kebijakan proteksionis, dan disrupsi global bercampur menjadi satu, korelasi itu bisa runtuh.
“Inilah yang sedang dikhawatirkan banyak pihak, bahwa tarif impor baru dari AS, meningkatnya biaya logistik global, dan tekanan geopolitik bisa menjadi pemicu stagflasi dalam skala global,” kata Syafruddin dalam keterangannya, dikutip Rabu (26/3/2025).
Bagi Indonesia, risiko stagflasi global memiliki dua dampak utama yang tidak bisa diabaikan: pelemahan nilai tukar rupiah dan perlambatan ekspor.
Ketika inflasi AS tinggi dan The Fed mempertimbangkan untuk menunda pemangkasan suku bunga, arus modal cenderung keluar dari negara berkembang. Investor global akan memburu aset-aset safe haven, seperti dolar AS dan obligasi pemerintah AS yang menawarkan imbal hasil tinggi.
Kondisi itu pun akan memberikan tekanan besar pada mata uang negara-negara berkembang, termasuk rupiah.
“Kita sudah melihat bagaimana rupiah cenderung melemah setiap kali The Fed memberikan sinyal hawkish, apalagi jika didorong oleh kekhawatiran stagflasi yang membuat volatilitas pasar meningkat,” terang Syafruddin.
Contohnya bisa kita tilik pada perdagangan Selasa (25/3/2025), saat rupiah ditutup turun ke level Rp16.611 per dolar AS—menjadi yang terendah setelah pada Krisis Moneter 1998. Terpuruknya rupiah itu ditengarai disebabkan oleh perilisan data PMI Jasa AS yang ternyata lebih tinggi dari perkiraan, yakni di level 53,5 pada bulan ini dibandingkan dengan Februari yang berada di level 51,6.
Sayangnya, pelemahan rupiah tidak berdampak tunggal. Ketika nilai tukar tertekan, biaya impor akan mengalami penaikan, tekanan inflasi domestik meningkat, dan beban utang luar negeri ikut melebar.
Kondisi tersebut akan membawa Bank Indonesia (BI) ke persimpangan: menaikkan suku bunga untuk meredam depresiasi atau mempertahankan suku bunga agar tidak menghambat pemulihan domestik.
“Ketidakpastian global, jika tidak diimbangi dengan koordinasi fiskal dan komunikasi kebijakan yang kuat, dapat mengikis kepercayaan pelaku usaha dan konsumen,” ujar Syafruddin.
Di sisi lain, ekspor nasional juga berpotensi menghadapi ancaman serius. Apalagi, sampai saat ini negara mitra dagang Indonesia masih berpaku pada tiga entitas besar, yakni Cina, AS, dan Eropa.
Dus, jika ekonomi global melambat akibat stagflasi, permintaan terhadap komoditas, seperti batu bara, sawit, dan nikel, maupun manufaktur, seperti elektronik dan tekstil, akan menurun. Negara-negara importir akan mengerem belanja mereka, baik karena tekanan harga di dalam negeri maupun karena daya beli masyarakat yang melemah.
“Hal ini akan memukul pendapatan ekspor Indonesia dan mempersempit ruang fiskal pemerintah,” lanjut dia.
Neraca perdagangan yang pada Februari 2025 masih mencatatkan surplus 3,12 miliar dolar AS dapat berbalik menjadi defisit. Pada akhirnya, kondisi ini juga dapat memperlemah posisi cadangan devisa dan memperbesar risiko ekonomi jangka menengah.
Sementara itu, ekonom, Yanuar Rizky, menilai tren stagflasi itu akan terjadi di sepanjang 2025. Hal ini terlihat dari ditahannya Fed Funds Rate (FFR), meski dua mandatnya, terkait inflasi dan tenaga kerja, telah menunjukan pemulihan.
Pada saat yang sama, kebijakan moneter Bank of Japan (BOJ) akan menuju ke arah bunga tinggi dan menyerap uang beredar dengan melakukan normalisasi neraca moneter dan menjual surat utang.
“Begitu juga ECB [European Central Bank] dan PBoC (The Central Bank of the People's Republic of China) berkutat dari upaya mencegah krisis properti jadi crash di pasar keuangannya, setelah saat ini menurunkan sisi produksi di Cina,” kata Yanuar saat dikonfirmasi Tirto, Rabu (26/3/2025).
Indonesia Bisa Kesulitan
Tren stagflasi akan membuat Indonesia cukup kesulitan, apalagi dalam 10 tahun terakhir kualitas belanja pemerintah cukup buruk. Belum lagi, penerbitan surat utang yang terus dilakukan berubah menjadi beban surat utang jatuh tempo.
Sayangnya, perdagangan Indonesia, baik ekspor maupun impor, dengan Cina juga melambat.
Pada akhirnya, menurut Yanuar, pemerintah hanya bisa menangkal dampak stagflasi dengan memitigasi konflik sosial dan penegakan hukum terkait korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Upaya ini bisa memperbaiki persepsi pasar, baik dari dalam maupun luar negeri, terhadap pemerintah.
Sebaliknya, jika upaya ini tidak dilakukan dan persepsi pasar terhadap pemerintah tetap buruk, dikhawatirkan akan membuat beban fiskal semakin melebar dan biaya moneter meningkat.
“Kita harus belajar ke Cina [saat Krisis Moneter Maret 1998] yang melangkah di depan kurva, menyapu isu yang bisa menusuknya. Kita jangan sampai kayak Bangladesh [saat] 2024 yang pemerintahnya asyik sendiri dan menciptakan konflik sosial di saat fiskal pun terbatas untuk bansos dalam masa stagflasi,” sambung Yanuar.
Selain itu, untuk menghadapi risiko stagflasi, pemerintah juga perlu memperkuat ketahanan ekonomi domestik. Bukan hanya melalui belanja negara, tetapi juga dengan melakukan diversifikasi ekspor, penguatan industri pengganti impor, dan insentif kepada sektor-sektor yang tahan terhadap gejolak global.
Pelaku usaha juga perlu didorong untuk melakukan lindung nilai (hedging) atas risiko nilai tukar dan mencari pasar alternatif untuk ekspor.
Di sisi moneter, Bank Indonesia tidak bisa bekerja sendirian. Koordinasi dengan Kementerian Keuangan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjadi krusial.
Indonesia butuh satu kerangka narasi kebijakan yang terintegrasi, bahwa pemerintah hadir, memahami risiko global, dan siap bertindak tegas menjaga stabilitas.
“Jika ekonomi global memasuki zona berbahaya, maka Indonesia harus melangkah dengan strategi, bukan spekulasi. Menjaga rupiah dan ekspor bukan sekadar agenda teknis, melainkan bagian dari menjaga masa depan ekonomi nasional. Jangan tunggu badai datang baru kita mencari pelampung. Kita harus memperkuat kapal ekonomi kita mulai hari ini,” tegas ekonom Syafruddin Karimi.
Sementara itu, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Deni Surjantoro, mengatakan bahwa dalam menghadapi potensi stagflasi pada perekonomian global, pemerintah akan berupaya untuk menjaga daya beli masyarakat.
Bersamaan dengan itu, otoritas moneter juga akan terus melakukan berbagai bauran kebijakan yang dilakukan secara pruden dengan tujuan untuk mendukung kelangsungan usaha.
“Agar tetap mampu bertahan dan berproduksi sehingga tidak menimbulkan dampak terhadap peningkatan pengangguran,” kata dia, saat dihubungi Tirto Rabu (26/3/2025).
Selain itu, dalam upaya mitigasinya, pemerintah juga akan memantau secara intens pergerakan ekspor komoditas utama, pergerakan harga impor dari berbagai komoditas energi dan pangan, serta menjaga minat investor asing untuk tetap bersedia menyimpan dananya di pasar domestik.
“Selain juga memantau pergerakan kurs rupiah, pergerakan IHSG, termasuk pergerakan suku bunga acuan BI dan suku bunga kredit dari perbankan,” tutup Deni.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi