tirto.id - Seiring dengan perkembangan teknologi di dunia, pemerintah, lewat Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), sedang menyusun peta jalan (roadmap) terkait kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI) di Indonesia. Rencana soal tata kelola teknologi tersebut ditargetkan selesai dalam tiga bulan ke depan, sekitar Juni 2025.
Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Nezar Patria, menyampaikan roadmap AI untuk Indonesia menjadi bentuk nyata upaya pemerintah membangun tata kelola yang komprehensif dan mendorong pertumbuhan industri AI yang berkelanjutan di Tanah Air.
"Kita tidak ingin juga menghambat inovasi-inovasi yang sedang dilakukan karena mengingat begitu dinamisnya watak AI ini ya," ucap Nezar, dalam keterangannya, Rabu (19/3/2025).
Menurut Nezar, pemerintah akan fokus menyelesaikan tantangan berkaitan dengan infrastruktur AI dengan menerapkan kebijakan inklusif untuk meminimalkan cost of compliance yang tinggi. Selain itu, Kementerian Komdigi juga menyebut akan mendorong investasi talenta digital di bidang AI.
"Kita ada dalam early stage, dimana dua hal ini harus kita penuhi dulu sebelum kita bicara lompatan-lompatan ke depan," tegasnya.
Di kesempatan terpisah, Nezar kembali menegaskan kalau faktor terus berubahnya teknologi ini membuat pemerintah berencana membuat roadmap AI sebagai fondasi untuk tempo lima tahun ke depan. Periode ini dianggap ideal lantaran perkembangan AI yang amat cepat membuat peta jalan untuk tempo yang terlalu lama menjadi tidak efektif.
"Ini saja planning yang kita buat dua tahun lalu misalnya, itu sudah berubah, tiba-tiba muncul Deepsek di China, berubah lagi tuh petanya," ujar Nezar kepada wartawan, Jumat (21/3/2025).
Oleh karenanya, Nezar juga menekankan pentingnya berkaca pada perkembangan tren teknologi global dan aturan yang berlaku di berbagai negara yang juga dinamis. Dia menyebut EU AI Act misalnya, aturan pengembangan, penggunaan dan penyebaran AI di wilayah negara Uni Eropa itu beberapa kali mengalami penyesuaian, karena terdapat perubahan-perubahan spesifik.
Sama halnya di Amerika Serikat (AS). Presiden Donald Trump sempat mengeluarkan perintah eksekutif yang membatalkan kebijakan mantan Presiden Joe Biden soal kebijakan AI. Kebijakan pemerintah sebelumnya dinilai membatasi inovasi sektor swasta dan memberi terlalu banyak kendali bagi pemerintah.
“Nah, jadi dalam kerangka itu kita coba lihat benchmarking global. Terus posisi kita secara domestik, secara nasional. Lalu kita coba lihat gap-nya ada di mana, sambil juga kita mengukur kemampuan Indonesia dalam membangun satu ekosistem perkembangan industri yang berbasis artificial intelligence,” papar Nezar.
Terkait pengembangan roadmap AI, Nezar juga tidak lupa akan pentingnya perlindungan data, terutama perlindungan data pribadi. Oleh karenanya dia juga sempat menyinggung soal kedaulatan data (data sovereignty), yaitu upaya untuk melindungi kekayaan data nasional. Nezar menjelaskan kalau dalam konsep ini para pengelola data itu harus bisa memegang kendali terhadap data yang diolah.
Selain itu dia juga sempat menyebut karakteristik AI yang akan sangat terpengaruh dari asupannya, sehingga perlu berhati-hati dalam memasok inputnya. "Karena kan AI itu sangat haus akan data, dan semua itu bisa dikonversi menjadi data. Jadi semua hal yang dari data, jadi informasi, kemudian jadi knowledge itu bisa ditangkap oleh AI," tuturnya.
Peta Jalan Harus Fokus ke Tata Kelola dan Peningkatan SDM
Sepakat dengan rencana Komdigi, Ketua Umum Asosiasi Big Data dan AI (ABDI), Rudi Rusdiah ,menekankan dua hal yang perlu menjadi fokus, pengembangan sumber daya manusia (SDM) dan tata kelola. Faktor tata kelola mengacu pada etika penggunaan AI.
"Karena sudah mulai banyak aplikasi AI yang bias," tuturnya kepada Tirto, Senin (24/3/2025).
Senada dengan Komdigi, dia juga menyoroti soal perlindungan data pribadi. Sebab, untuk dapat bekerja dengan optimal, perangkat AI perlu suplai data yang sangat banyak. Hal ini berpotensi menyedot banyak data masyarakat, sementara Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang ada di Indonesia saat ini belum berjalan dengan optimal.
“Karena di Indonesia misalnya, undang-undang PDP-nya sendiri, lembaganya aja belum ada. Sehingga undang-undangnya nggak bisa dijalankan. Jadi kalau saya lihat urgensinya, itu lebih urgent,” tambah dia.
Sementara itu associate professor Strategi Digital dan Ilmu Data, Monash University, Arif Perdana, menilai Indonesia memang perlu mempunyai peta jalan untuk AI dalam waktu dekat. Sebab, dengan arah yang jelas, pemanfaatan AI bisa memberi dampak yang sangat positif buat Indonesia.
“Tanpa arah yang jelas, kita berisiko jadi penonton. Menurut saya, dengan pembaruan strategi, orkestrasi lintas sektor, dan keberanian bertindak, AI bisa jadi pengungkit masa depan bagi Indonesia, bukan hanya untuk efisiensi, tapi juga keadilan sosial,” tutur Arif kepada Tirto, Senin (24/3/2025).
Dia menyebut sebenarnya sudah ada dokumen Strategi Nasional untuk Kecerdasan Artifisial (Stranas KA) yang dibuat oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), pada tahun 2021 lalu. Namun dokumen tersebut menurutnya “belum cukup menggigit” dan hanya menjadi dokumen belaka.
Sementara itu Direktur Regulasi dan Etika Indonesia Al Society (IAIS), Henke Yunkins, mengapresiasi upaya untuk mendorong adanya arahan terkait AI di Tanah Air. iNamun, berkaca dari Stranas KA, seperti yang dijelaskan Arif, dia berharap nantinya roadmap AI yang keluar bisa lebih memberi arahan yang jelas tentang prospek pemanfaatan teknologi ini.
“Ini effort yang cukup bagus, harapan saya ini bukan cuman dokumen akademis saja, tapi juga bisa diterapkan juga membantu kemajuan ekosistem AI di Indonesia. Karena pasti ada peran pemerintah di luar regulasi. Support itu yang bisa mendukung ekosistem AI di Indonesia,” tuturnya kepada Tirto, Senin (24/3/2025).
Henke mengatakan jika mau berkaca ke negara lain, pendekatan Singapura bisa menjadi rujukan yang baik. Di sana, mereka tidak mengeluarkan regulasi terkait AI, mereka hanya mengeluarkan panduan yang praktis untuk menjadi pedoman bagi para pelaku usaha.
“Dan itu berhenti di sana. Mereka tidak latah mengeluarkan, ‘harus begini, harus begitu,’ yang para pengembang dan pelaku usaha butuhkan itu rambu-rambu. Jadi tahu batasan dan tujuan dari pengembangan AI dalam negeri,” tambah pria yang juga CEO dari Phire Studio, perusahaan penyedia layanan solusi digital.
Sementara menurut Arif dari Monash University, ada sejumlah negara yang sudah memiliki dokumen strategis pengembangan AI. Negara seperti Australia, Singapura, dan India menjadi contoh yang terdekat.
“Di ASEAN sendiri, baru Singapura yang memiliki peta jalan AI yang matang. Ini justru menjadi peluang bagi Indonesia untuk tampil sebagai pemimpin regional. Namun, ambisi tersebut harus dibarengi dengan kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur, dan tata kelola yang mendukung,” tambah Arif.
Dia menambahkan Indonesia punya modal yang besar mulai dari jumlah penduduk yang besar, keragaman masalah, sampai potensi data lokal yang juga besar. Dengan kondisi seperti ini jangan sampai Indonesia sekadar jadi pengikut gelombang perkembangan AI global.
Besarnya potensi data dan keberagaman masalah di masyarakat yang bisa diselesaikan dengan AI, membuat Indonesia bisa jadi, “laboratorium hidup untuk AI yang relevan dan memberikan solusi.”
Sependapat dengan Rudi, Arif berpendapat peta jalan AI harus bicara soal keadilan sosial, talenta lokal, dan etika. Strategi ini juga harus bisa diterjemahkan menjadi kebijakan yang bisa diimplementasikan untuk fasilitas seperti sekolah, rumah sakit, perkebunan, sampai dengan kantor pemerintahan.
Lebih lanjut, menurut dia ada tiga komponen penting, yang harus ada dalam peta jalan AI di Indonesia. Pertama, visi dan prioritas sektor yang ingin didorong dengan AI. Kemudian terkait dengan strategi mencetak talenta yang punya keahlian.
“Bukan hanya teknisi, tapi juga mereka yang paham etika AI, dan pembuat kebijakan yang paham AI,” tambah Arif.
Terakhir, terkait infrastruktur data harus dibuat inklusif dan aman, serta merata di semua daerah. “Dan jangan lupakan pendanaan riset serta ruang bagi kolaborasi lintas sektor. Saya berharap peta jalan ini jadi pegangan bersama, bukan hanya dokumen pemerintah, tapi cermin cita-cita untuk kemajuan bangsa,” ujar Arif.
Arif dan Henke juga mengapresiasi upaya pemerintah yang sudah banyak berdiskusi dengan multi-stakeholder dalam menyusun roadmap AI ini. Namun, menurut Arif, nantinya perlu ada kejelasan setelah peta jalan ini selesai, prosesnya akan berlanjut menjadi apa.
Sementara itu, menurut Henke, selain memberi rambu-rambu terkait arah pemanfaatan AI, adanya peta jalan juga diharapkan bisa mengkonsolidasikan arah pemanfaatan teknologi ini untuk sektor prioritas
“Jadi misalnya kita mau fokus pemanfaatan AI untuk kesehatan atau pertanian, ya monggo, kita bareng-bareng ke sana. Kalau dari pemerintah sudah jelas, kita (pelaku usaha dan pengembang AI) bisa fokuskan ke sana,” tambahnya.
Penulis: Alfons Yoshio Hartanto
Editor: Farida Susanty