Menuju konten utama
Mozaik

Dari Perang ke Perang: Kala Kerajaan Minangkabau Menggempur VOC

Di Pantai Barat Sumatra, sepeninggal Sultan Alif dari Kerajaan Minangkabau pada 1680, perlawanan terhadap VOC terus berkobar hingga warsa 1742.

Dari Perang ke Perang: Kala Kerajaan Minangkabau Menggempur VOC
Header Mozaik Perang Garam di Pantai Barat Minangkabau. tirto.id/Tino

tirto.id - Setelah Sultan Alif mangkat pada 1680, Kerajaan Minangkabau mengalami keguncangan politik. Tiga pangeran memperebutkan posisi puncak.

Seturut Albert S. Bickmore dalam TravelsintheEastIndianArchipelago (1869: 470), Raja Suruaso yang berkedudukan di Suruaso, Raja Gagar Alam yang tinggal di Pagaruyung, dan Bandahara Sungai Tarab di Sungai Tarap, masing-masing mengaku sebagai penerus takhta dan mengambil semua gelar mewah dari sultan sebelumnya.

Selama paruh pertama abad ke-18, para pangeran itulah yang menyulut perang secara bergantian dengan VOC di Pesisir Barat Sumatra, utamanya di Padang, tempat VOC sejak tahun 1663 telah berkedudukan dagang dengan membangun gudang (loji) dan benteng.

Sejak 1690, dua di antara mereka, yakni Raja Gagar Alam dan Raja Suruaso, mulai mendatangi VOC di Padang untuk menuntut hak kerajaan atas kota pelabuhan itu. Mereka membawa para pengikutnya turun dari pergunungan dengan kekuatan besar.

Menurut H. van Basel dalam DescriptionofSumatra'sWestCoast (1761), tujuan mereka adalah merengkuh kembali orang-orang pantai ke bawah kekuasaan Raja Minangkabau di pedalaman dan melepaskannya dari penguasaan Kompeni.

Para pangeran biasanya turun ke pesisir dengan membawa surat bersegel kerajaan. Segelnya bisa berbeda-beda, tergantung dari faksi mana dia datang. Penghormatan atas mereka tergambar dalam pepatah: "seramai-ramainya pasar, anak raja lalukan juga.” Artinya, para anak raja mendapat perlakuan yang amat istimewa.

Di Pesisir Barat Sumatra, para pangeran ini punya pengaruh yang besar terhadap permukiman-permukiman Minangkabau. Mereka, kata Leonard Y. Andaya dalam SelatMalaka: SejarahPerdagangandanEtnisitas (2019: 108), "dapat mengumpulkan pasukan dan bahkan mengancam komunitas."

Kompeni menganggap gerakan duo pangeran itu sebagai ancaman bagi kedudukan mereka di Padang. Menurut laporan VOC, Raja Gagar Alam dianggap memiliki kekuatan sihir dalam kata-katanya.

"Dengan kalimat-kalimat bersayap untuk menyembunyikan kepura-puraannya, ia memberikan alasan mengapa orang-orang menyimpang dari kebiasaan lama dengan menahan hadiah tahunan,” demikian tertulis dalam GeneraleMissiven, 15 Januari 1711.

Maksud Gagar Alam, tentu saja, sejak di bawah kuasa Aceh (1620-1663), nagari-nagari di pesisir Minangkabau (yang disebutnya rantau) sudah lama tidak mengirim emas manah—sebagai upeti atau tanda takluk—untuk Pagaruyung.

Oleh sebab itu, setelah Aceh diusir dari pantai mereka pada 1663, semestinya tradisi lama itu dapat dihidupkan kembali. Artinya lagi, secara jelas, Raja Gagar Alam, maupun Raja Suruaso, sebagai wakil dari istana Minangkabau tengah meminta apa yang disebut sebagai hak kebangsawanan mereka.

Namun, Kompeni menolak mengakui duo pangeran itu sebagai wakil Minangkabau yang representatif. Bagi Kompeni, berdasarkan bocoran dari para sekutunya, Kerajaan Minangkabau telah terpecah-belah menjadi faksi-faksi yang saling bersaing.

Kompeni menyandarkan sikapnya itu kepada keterangan-keterangan dari para penghulu Padang dan Sultan Indrapura--yang disebut terakhir ialah raja kerajaan pantai penghasil lada agak jauh di selatan Padang.

Sumber VOC, baik para penghulu Padang maupun Sultan Indrapura, mengaku tidak mengetahui atau mengenal Pangeran Minangkabau atau Manicabouse itu. Mereka berpandangan, Minangkabau tidak lagi sebagai satu kesatuan kerajaan yang utuh.

RajaSuruasoMemulaiPerang

Penolakan VOC memicu retaknya hubungan mereka dengan pusat kekuasaan tradisional pribumi di pedalaman. Di antara duo pangeran Minangkabau itu, Raja Suruaso yang paling tersinggung. Menurut J. C. M. Radermacher dalam BeschryvingvanheteilandSumatra (1787: 61), Raja Suruaso telah menganggap dirinya sebagai penguasa tertinggi di Minangkabau, termasuk untuk seluruh pantainya.

Dia mengirim duta besarnya dengan surat kebesaran ke Padang yang isinya penuh kebanggaan. Mendapat respons yang tidak memadai dari Kompeni dan sambutan para penghulu pantai yang dingin, maka pada awal 1713 Raja Suruaso mulai mengapi-apikan semangat anak negerinya untuk melancarkan serangan terhadap kedudukan Kompeni di Padang.

Pada tahun itu, Raja Suruaso dengan pasukannya bergerak turun menuju Pauh--negeri besar penghasil lada dan beras yang terdekat dengan Padang sekaligus yang paling gigih bermusuhan dengan VOC.

Raja Suruaso memasuki tanah Pauh dengan kekuatan besar orang pergunungan. Pengaruh karisma bayangan kesucian sukunya membuat rakyat Pauh di bawah penghulu kepala Raja Putih bersumpah setia untuk membantunya mengusir Kompeni.

"Raja Putih sekarang juga bergabung, dan menjelang tengah hari tanggal 24 Februari 1713, memimpin pasukan besar di antaranya sebanyak 500 ulama, semuanya berpakaian putih dan memegang tasbih di tangan kanannya bersama Raja Suruaso," tulis van Basel.

Mereka kemudian menyerang Padang, merampas lebih dari 300 kerbau dan menawan 5 penggembala, lalu mengangkutnya ke Pauh.

Pada akhir Februari 1713, VOC yang disokong orang-orang Padang, 120 tentara Bugis dan prajurit-prajurit Eropa, menyerang balik kawanan Raja Suruaso dan Raja Putih. Mereka membakar kampung-kampung di sekitar Pauh setelah berkali-kali melakukannya di masa-masa sebelumnya, demikian dicatat Kielstra dalam OnzeKennisvanSumatra'sWestkustOmstreeksdeHelftderAchttiendeEeu (1887: 26-7).

Terdesak oleh serbuan yang beringas dari aliansi VOC, Raja Suruaso dan Raja Putih beserta para pengikutnya melarikan diri kembali ke pedalaman.

Gagal menangkap RajaSuruaso dan Raja Putih, Letnan Oenen memilih membersihkan kuman-kuman dalam tubuh sekutunya sendiri di Padang. Panglima Padang, Marah Laut, dituduh Kompeni telah membantu Raja Suruaso. Akibatnya, ia dengan salah satu pembantunya, Penghulu Berbangsa, ditangkap dan dikirim Kompeni ke Batavia.

Ketika persekongkolan Marah Laut dan pembantunya itu dengan Raja Suruaso terbukti benar, keduanya dibuang lebih jauh lagi, yakni ke Banda. Sepuluh penghulu Padang lainnya yang dianggap baik oleh VOC kemudian mengambil alih pemerintahan Padang.

Ilustrasi Peta Indonesia dan VOC

Ilustrasi Peta Indonesia dan VOC. FOTO/iStockphoto

AncamanRaja Gagar Alam

Pada pertengahan tahun 1713, Raja Gagar Alam ingin turun lagi ke Padang. Ia disebut-sebut datang untuk menenangkan hati para pengikutnya di pantai dan sekaligus berencana membalas kekalahan saudaranya, Raja Suruaso. Ia juga dikatakan telah menjanjikan kepada nagari-nagari pantai akan memimpin perlawanan terhadap Kompeni. Namun, ternyata hal itu tak kunjung terjadi.

Pada 1714, utusan perdamaian dari Kerajaan Minangkabau di pedalaman datang ke Padang. Mereka mengumumkan bahwa mereka datang untuk mengakhiri semua gangguan terhadap perdagangan di pantai. Tidak jelas mereka mengatasnamakan pangeran yang mana. Namun, dalam pertemuan itu, mereka meminta agar VOC memaafkan Raja Suruaso dan menerimanya sebagai sekutu. Mereka bersedia membuat kontrak tertulis.

Menurut laporan VOC, masyarakat pergunungan sebenarnya menginginkan perdamaian, hanya saja duo pangeran Minangkabau itu masih tidak merasa puas dengan Kompeni. Untuk itu, VOC berpandangan bahwa cara memuaskan mereka adalah mengikat mereka dengan perjanjian dan hadiah.

Di sisi lain, masyarakat pesisir tetap mempercayai kesaktian Kerajaan Minangkabau. Oleh sebab itu, para pangeran mereka masih akan dihormati oleh rakyat pantai setiap kali turun.

Dengan pertimbangan demikian, Kompeni benar-benar menenangkan Raja Gagar Alam dengan hadiah demi hadiah. Kompeni memberinya uang sekitar 60 rix daalder. Ia berharap hadiah itu bersifat tahunan, tetapi Kompeni tidak berjanji untuk memenuhi permintaannya itu.

Pertemuan dan hadiah tersebut telah cukup untuk meredakan permusuhan. Raja Gagar Alam berperilaku lebih tenang setelah itu. Lain itu, hubungan Kompeni dengan Raja Suruaso yang sempat bermusuhan tampaknya juga akan dipulihkan, telah muncul pembicaraan ke arah tersebut.

Di masa-masa kemudian, baik kedatangan Raja Gagar Alam maupun saudaranya Raja Suruaso ke Benteng Padang, Kompeni meresponsnya dengan cara yang sama sebagaimana ia merespons setiap kedatangan wakil Minangkabau, atau utusan kerajaan, atau para pangeran, atau anak raja, dari faksi mana pun, yakni ditenangkan dengan hadiah-hadiah kecil.

PerlawananSengitTuankuSijunjung

Faksi lain dari Kerajaan Minangkabau menyerbu Padang pada 1715. Kali ini, digerakkan oleh seseorang, yang menurut arsip VOC, disebut sebagai "Jenderal-pendeta Sejoenjoeng”. Orang itu bergelar Tuanku Sijunjung, keponakan Raja Minangkabau.

Ia mula-mula membawa pasukan dari pergunungan turun ke Pauh untuk menggabungkan diri dengan penduduk negeri itu yang terpencar-pencar akibat kekalahan yang lalu. Setelah itu, ia dan pasukannya mulai memotong jalan masuk ke Padang dari timur dan utara. Jadi, mereka mencegah perdagangan dari maupun ke Padang dengan nagari-nagari pedalaman dan pesisir pantai di utara.

Lalu mereka mulai bergerak ke arah pantai yang lebih dekat dengan Padang, memenuhi muara sungai di Ujung Karang--sedikit di utara Padang—di bawah berbagai panji, bersiap-siap menyerang kedudukan VOC di Benteng Padang.

Pada sore harinya, laskar Bugis, pasukan Nias, dan sejumlah hulubalang Padang di bawah Panglima Padang, dikirim ke Ujung Karang untuk melawan pasukan Tuanku Sijunjung. Di bawah arahan Kompeni, aliansi Padang berhasil memukul mundur pasukan perlawanan kembali ke Pauh pada sore berikutnya.

Setelah kekalahan ini, aliansi Tuanku Sijunjung kembali berkumpul di Pauh dengan posisi bertahan, pada sebuah cekungan di dalam dinding batu yang tinggi dan terlindungi. Mereka sekali-sekali keluar dari sana dengan pasukan yang kuat menuju kampung-kampung di sekitar Pauh. Dari sana, mereka tidak hanya merampok orang-orang gunung yang datang dari belakang dan menyerang semua orang yang memberikan perlawanan, juga sesekali melakukan perampokan di Padang.

Mengetahui kondisi itu, Kompeni kembali memutuskan untuk mengusir kawanan pemberontak itu. Kompeni memerintahkan pelaksanaannya kepada Letnan Muda Creyn Haasbroek untuk memimpin gabungan kekuatan tentara Eropa dan pendekar pribumi.

Hasilnya, Tuanku Sijunjung melarikan diri lebih jauh arah timur, memasuki pedalaman, mungkin kembali ke negerinya.

"Kehilangan pemimpin mereka, para Pauh yang mengembara itu terpaksa kembali ke jalan Kompeni,” demikian sumber VOC menyebut.

Selanjutnya, orang-orang Pauh itu menyampaikan permohonan untuk diampuni dan diizinkan untuk tinggal di Padang. Kompeni mengizinkan, tetapi dengan terlebih dahulu menekan perjanjian kesetiaan.

Setelah itu, juga telah terjalin perdamaian antara istana Minangkabau dan VOC. Pada 6 November 1716, Sultan AbduI Jalil yang merupakan kakak laki-laki Raja Suruaso muncul di Padang bersama rombongan kecil dari pedalaman. Ia datang untuk menjaga hubungan yang baik dengan Kompeni.

Ia menawarkan perjanjian damai dengan kontrak sebagai berikut: (1) Kompeni dapat terus berkuasa di Padang, (2) Pemimpin lokal pribumi dapat diangkat ke dalam pemerintahan Kompeni, (3) Memastikan penduduk setempat yang ditahan di laut atau dibawa ke laut (dibuang Kompeni) yang telah dibebaskan diperbolehkan kembali ke tempat kelahirannya.

Namun di masa kemudian, Abdul Jalil justru akan menjadi pengobar huru-hara yang lebih besar lagi.

kapal dagang VOC

Replika kapal dagang VOC di Amsterdam. FOTO/modelships.de

PukulanTerakhirAbdulJalil

Namun, ternyata tidak selamanya pangeran-pangeran Minangkabau itu dapat dibujuk dengan hadiah-hadiah.

Pada awal September 1741, Sultan Abdul Jalil yang mengukuhkan dirinya sebagai Radja Pagar-Ujong turun ke Pantai Barat Sumatra membawa api permusuhan terhadap VOC.

Tidak diketahui motifnya secara pasti selain bahwa tuntutan akan bagian emas telah memotivasi faksi tertentu yang belum mendapat jatah untuk menuntut hal yang sama kepada Kompeni. Tuntutan itu disalurkan, mula-mula, melalui unjuk kekuatan.

Dengan dukungan dari Penghulu Kepala Pariaman (Maharaja Lello Patta) dan Kepala Penghulu Sunur (Khatib Raja), Abdul Jalil mula-mula pergi ke Ulakan di utara Padang. Di sana, ia mengusir penghulu kepala setempat Raja Bujang dan para pembantunya. Ia kemudian mengangkat kembali Raja Muda yang sangat dihormati oleh anak negeri Ulakan, tetapi sebelumnya telah diturunkan Kompeni.

Bersama sejumlah besar pengikutnya, ia mencapai Sungai Rotan (dekat kota pelabuhan Pariaman) dan membunuh sejumlah abdi Kompeni. Ia lalu menyerbu distrik-distrik yang berada di bawah perlindungan Kompeni di utara Padang: menyerbu negeri-negeri sekitar Pariaman, membakar dua pabrik bir milik Kompeni, dan berencana menyerbu Fort Vreedenburg (Benteng Pariaman).

Pada bulan itu juga, Benteng Padang (Fort Buuren) mengirim sebuah detasemen khusus untuk memadamkan kekacauan yang diciptakan Abdul Jalil. Sebanyak 68 tentara yang terdiri dari prajurit Eropa maupun Bugis di bawah komando Letnan Muda Derwaard, dilayarkan dengan kapal ke utara dan mendarat di pantai Sunur.

Sesampainya di sana, mereka diserang dua kali oleh pasukan Abdul Jalil dan harus kehilangan 8 orang Eropa dan 6 orang Bugis. Sekalipun begitu, kedatangan mereka dapat merebut Benteng Pariaman yang sempat diduduki pasukan Abdul Jalil.

Mendapati serangan balik yang keras dari VOC, Abdul Jalil dan pasukannya mundur ke arah pedalaman sambil membakar dan merampok Corretagie (Kurai Taji) dan beberapa kampung lainnya di sekitar Pariaman.

Gelombang Baru dari Sungai Tarab

Tidak berselang lama setelah huru-hara di Pariaman yang diciptakan Sultan Abdul Jalil mereda, Bandahara Sungai Tarab tiba secara tak terduga di Kota Tengah (tetangga terdekat Padang di sebelah utara) untuk memulai perang baru.

Menurut laporan VOC, ia bermaksud membujuk para penghulu dari negeri itu menyerang Padang bersama-sama dengan Raja Pagaruyung Abdul Jalil. Ia juga dikatakan mencoba membujuk para penghulu negeri tetangga Padang lainnya, yaitu Pauh, untuk setia kepada Raja Minangkabau, dan mau bergabung dalam membebaskan negeri mereka dari Kompeni. Tampaknya, Pauh dan Kota Tengah setuju untuk bergabung.

Aliansi Bandahara dan Abdul Jalil berangkat pada 17 September 1741 bersama kerumunan besar hulubalang Pauh dan Kota Tengah bersenjata lengkap ke Ujung Karang. Pasukan dari Nanggalo juga menggabungkan diri bersama orang-orang dari Tanjung Saba untuk berkumpul di tempat yang sama. Selanjutnya mereka berbaris ke pos Kompeni di Kota Tengah, dan mengepungnya dari segala penjuru.

Dalam GeneraleMissiven bertanggal 6 Desember 1741, disebutkan bahwa kepala fiskal di pos itu, Robert Muller, yang berupaya menyelamatkan surat-surat berharga Kompeni, bersiap-siap melemparkan meriam-meriam ke dalam air, mengubur segala senjata dan membakar pos itu jika benar-benar sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Pasukan Abdul Jalil dan Bendahara Sungai Tarab dilaporkan terus bergerak siang dan malam di sekitar Kota Tengah.

Di tengah kepungan yang tak kunjung mereda, Muller menduga bahwa pasukan Kompeni tidak akan dapat bertahan lama dengan kekuatan mereka yang kecil. Mereka tidak mendengar apa-apa selain teriakan musuh dari segala penjuru. Kelihatannya, kata dia, orang-orang pribumi itu menggiring mereka agar menyerah.

Sebuah surat tertanggal 30 September 1741 dari Pantai Barat Sumatra sempat melaporkan ke Kastil Batavia ihwal penyerangan itu. Khawatir akan terjadi penyerangan juga atas Benteng Padang, wakil Kompeni di situ sempat pula meminta ke Kastil Batavia agar dikirim 400 sampai 500 tentara Eropa atau Bugis, dengan disertai makanan dan amunisi.

Namun, di saat yang sama, Kompeni juga tengah menghadapi permusuhan yang sengit di Pantai Utara Jawa: Jepara memberontak dan di Cirebon huru-hara meledak.

Pemerintah Agung di Batavia hanya mengabulkan permohonan amunisi dan makanan. Sampai berakhirnya tahun itu, tak ada pasukan tambahan yang datang ke Padang.

Pada Januari 1742, pasukan Abdul Jalil telah begitu kuat mengukuhkan diri mereka di Pauh, Ujung Karang dan Kota Tengah, sampai ke Ulakan, sehingga mereka tidak dapat lagi diusir dengan mudah, demikian laporan GeneraleMissiven, 5 April 1742. Sedangkan garnisun Kompeni di Padang hanya terdiri dari 108 orang Eropa dan 81 orang Bugis, dan di antara mereka juga ada para pelaut dan para tukang yang tidak lebih dari 50 orang.

Gagal membujuk Batavia mengirim tambahan tentara, Wakil Kompeni Padang mencoba meminta bantuan kepada pos mereka di Natal dan Aceh. Mereka mengirimkan 92 prajurit Eropa bersama enam buah meriam, sehingga garnisun di Padang kini memiliki 200 prajurit Eropa, jumlah yang sebanding dengan pasukan Abdul Jalil.

Sejak itu, perang berbalik arah. Kekalahan demi kekalahan diderita pasukan Abdul Jalil dan Bandahara.

Akhir Menuju Perdamaian

Terdesak di berbagai pertempuran, Abdul Jalil mulai bernegosiasi. Ia mengirim dua juru rundingnya ke hadapan Kompeni. VOC menyarankan kepada Abdul Jalil, melalui dua orang juru rundingnya itu, agar segera mengambil langkah-langkah untuk memulihkan perdamaian di antara mereka. Kompeni menyenangkan dua utusan Abdul Jalil itu dengan hadiah kecil dan menjanjikan kepada Abdul Jalil untuk mengirim hadiah kepadanya.

Hadiah demi hadiah akan terus diberikan pada tahun-tahun selanjutnya, demikian janji Kompeni. Namun, dengan syarat Abdul Jalil menggunakan wewenangnya untuk memadamkan api perang sesegera mungkin dan membantu Kompeni melakukan segala upaya untuk menghidupkan kembali perdagangan yang telah menurun drastis selama perang, demikian tertulis dalam GeneraleMissiven, 5 Desember 1742.

Bagaimanapun juga, yang lebih diinginkan Kompeni ialah agar situasi di sekitar distrik-distrik Kompeni dalam keadaan aman dan damai sehingga Kompeni dapat berdagang dengan lancar tanpa gangguang apa pun.

Jadi, untuk memperkecil kerugian Kompeni yang mungkin timbul dari permusuhan dengan Kerajaan Minangkabau di pedalaman, sikap VOC di masa-masa selanjutnya terhadap mereka memiliki pola yang sama. Mereka berupaya sedapat mungkin menghindari konfrontasi langsung, menolak dengan sopan untuk setiap permintaan yang tidak masuk akal bagi anggaran belanja Kompeni, sembari terus membujuk dengan hadiah-hadiah kecil yang tidak terlalu membebani keuangan VOC.

Dengan semua itu, VOC dapat terus mendesak orang-orang ini--para pangeran, atau anak-anak raja, dari kerajaan yang telah terberai--agar melayani kepentingan memajukan perdagangan Kompeni di Pantai Barat Sumatra.

Baca juga artikel terkait SEJARAH VOC atau tulisan lainnya dari Deddy Arsya

tirto.id - News
Kontributor: Deddy Arsya
Penulis: Deddy Arsya
Editor: Irfan Teguh Pribadi