tirto.id - Pada 11 Mei 1717, pemerintah pusat memanggil Hofman—Komandan Pantai Barat Sumatra, pejabat tertinggi di kawasan itu—ke Batavia untuk dimintai keterangan. Bersamanya, dipanggil pula keempat orang bawahan utamanya. Pemerintah pusat menuduh mereka telah menyalahgunakan wewenang VOC untuk tujuan pribadi.
Batavia, sebaliknya, mengirim mantan Gubernur Jenderal Abraham Schepmoes ke Pantai Barat Sumatra untuk melakukan investigasi. Sementara Abraham Patras akan menemaninya untuk mengisi posisi yang ditinggalkan Hofman.
Pada 9 Desember 1717, Schepmoes kembali ke Batavia. Hasil penyelidikannya menunjukkan bahwa memang telah terjadi “gangguan yang menjengkelkan” di Pantai Barat Sumatra. Ia menemukan defisit sebesar 43.975 rijksdaalder.
Kas perusahaan ternyata telah digunakan untuk pembelian barang-barang pribadi oleh para pejabat tinggi di sana. Schepmoes di antaranya telah menyita sejumlah tekstil—yang menjadi bagian dari kekurangan kas itu—di rumah dinas Hofman di dalam Benteng Padang.
Benteng itu, yang berganti nama menjadi Fort Buuren pada 1751, adalah kantor utama VOC untuk kawasan Pantai Barat Sumatra. VOC berkuasa di kawasan itu di sepanjang Barus di utara hingga Mukomuko di selatan.
Dari rumah Hofman, Schepmoes juga menemukan sisa uang penjualan tanah yang jauh lebih besar lagi yang tidak dilaporkan.
Meniti ke Puncak Karier
Menurut F.W. Stapel, Coenraet Fredrik Hofman adalah orang Jerman. Ia diperkirakan lahir sekitar tahun 1666. Tempat kelahirannya dieja Essingen, Assenen, Assenhem, dan Hassenheym secara bergantian dalam dokumen-dokumen VOC.
Pada 1686, Hofman tiba dengan kapal Oosterlandt di Batavia untuk memulai karier sebagai kelasi dua dengan gaji 10 rijksdaalder per bulan. Penempatan pertamanya sebagai pegawai VOC di Hindia adalah di Benteng Padang. Karena kemampuannya dalam menulis dan berhitung, VOC menempatkannya sebagai juru tulis.
Pada tahun 1693, Komandan Benteng Padang, Abraham Boudens, mengangkatnya menjadi asisten dengan gaji 24 rijksdaalder. Akan tetapi, kantor pusat VOC di Batavia menganggap pengangkatan ini terlalu sewenang-wenang dan gajinya terlalu tinggi. Oleh sebab itu, perusahaan menurunkan pangkat Hofman kembali sebagai kelasi dua.
Namun, ini hanya tindakan sementara, karena tidak lama kemudian perusahaan mengangkatnya sebagai asisten di Ambon pada tahun 1695, dengan gaji 20 rijksdaalder. Sejak saat itu, Hofman bertugas secara berturut-turut di Ambon, Ternate, dan Batavia. Ia secara bertahap terus naik pangkat menjadi wakil pedagang (onderkoopman) dan pedagang (koopman).
Pada 1708, ketika menjadi administrator pertama gudang besi VOC di Batavia, ia berhasil menarik perhatian para atasannya dan membuat kesan yang baik. Oleh karena itu, pada 25 April 1710, perusahaan mengangkatnya sebagai Komandan Pantai Barat Sumatra, dengan pangkat kepala pedagang (opperkoopman), pangkat tertinggi dalam birokrasi VOC.
Jadi, Hofman kembali dengan martabat tertinggi ke Padang. Tempat yang sama di mana ia memulai kariernya sebagai kelasi dua, 24 tahun sebelumnya.
Ketika bertugas di Pantai Barat Sumatra, pada 1715 ia mulai mengerjakan laporan etnografis berjudul “Opkomst der Padangnesen en Derzelver Regeringen”. Karya itu disusun dari berbagai memoar Melayu dan tradisi lisan setempat. Di dalamnya Hofman menguraikan asal-usul kerajaan Minangkabau dan Nagari Padang, adat istiadat serta kebiasaannya, termasuk sistem kekerabatan matriarkatnya yang khas.
Pada 1717, ia merampungkan penulisan karyanya itu dan mengirimkan salinannya—dengan sebuah surat pengantar—ke Batavia.
“Untuk Yang Mulia... saya melampirkan catatan-catatan pribadi saya mengenai catatan asli pertama pemerintahan lokal di sini, dan dengan cara bagaimana pemerintahan ini berubah dari waktu ke waktu”, tulisnya.
Tampaknya, hasil kerjanya mendapatkan respons yang baik dari pemerintah pusat. Karier yang bagus bagi Hofman, tetapi tidak berselang lama diikuti dengan kejatuhan yang mengerikan akibat skandal korupsi.
Bersekongkol dengan Istri dan Bawahan
Dalam menjalankan kejahatan korupsi, Hofman bersekongkol dengan beberapa bawahannya. Jongtijs dan Draijpon, dua wakilnya di Benteng Padang, kedapatan memiliki 18.000 rijksdaalder dari kas barang-barang pribadi di gudang VOC.
Vlasvat dan van Santen, dua wakil lainnya, mengaku bahwa mereka telah bertindak atas perintah Hofman (Generale Missiven 15 Januari 1718).
Sementara itu, pejabat administrator Francais Spijk juga terbukti menyelewengkan uang Perusahaan senilai 2943 rijksdaalder. Sedangkan pendeta Canter Visscher menjual tekstil milik Kompeni seharga 3.016 rijksdaalder untuk keperluan pribadi.
Istri Hofman bahkan disebut-sebut terlibat dalam kejahatan yang sama. Perempuan itu diketahui menyogok para pedagang dalam upaya penyelundupan budak guna “memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri,” kata sumber VOC yang sama.
Perusahaan segera memerintahkan agar Hofman dan para tertuduh lain diborgol dan diangkut dengan kapal ke Batavia. Kasus mereka diajukan ke Raad van Justitie (Dewan Kehakiman) Batavia dan mulai disidangkan pada tahun berikutnya.
Plakaatboek (11 Juli 1736) mencatat bahwa pada 9 September 1719, Raad van Justitie akhirnya menjatuhkan putusan sebagai berikut: Hofman dipecat dari jabatannya. Ia dinyatakan tidak layak dan tidak boleh lagi bekerja pada kantor VOC di mana pun. Setelah itu, pangkatnya sebagai pegawai Kompeni dicopot.
Selain itu, ia juga harus dicambuk dan dirantai di depan umum. Ia kemudian harus pula melayani Kompeni sebagai tahanan rantai tanpa bayaran (kerja paksa) selama 15 tahun.
Hofman sudah berusia lebih dari 50 tahun pada saat putusan itu dikeluarkan. Ia sempat mengajukan peninjauan kembali. Namun, pada tanggal 14 Mei 1720, Raad van Justitie menolak permintaan revisi.
Pada 7 September 1720, tercatat dalam Plakaatboek edisi yang sama, eksekusi atas Hofman mulai dijalankan. Tanjung Harapan ditetapkan sebagai tempat ia harus menyelesaikan 15 tahun kerja paksa yang menyengsarakan. Titik nadir bagi kariernya yang sempat cemerlang.
Penulis: Deddy Arsya
Editor: Irfan Teguh Pribadi