Menuju konten utama

Negeri Emas Minangkabau yang Memikat VOC

Pulau Sumatra sejak dahulu masyhur karena emas. Di antara beberapa daerah sumber, Minangkabau adalah yang paling terkenal dalam sejarah.

Negeri Emas Minangkabau yang Memikat VOC
Header Mozaik Riwayat Emas Sumatera Barat. tirto.id/Quita

tirto.id - Pulau Sumatra dahulu masyhur karena emas. R.D. Verbeek dalam monografi Eenige Beschouwingen over Goud en Aanwezigheid daarvan op Sumatra’s Westkust (1877) menyebut kala Iskandar Zulkarnain ke India, dia mendengar kabar adanya pulau kaya emas di seberang lautan. Ahli geografi Yunani dan Romawi Dionisius, Pompoinus Mela, dan Plinius juga menyebut pulau kaya emas dan perak nun jauh di lautan selatan India.

Teks Yunani abad 1 Masehi Periplus Maris Erythraei jugamenyebut tentang Chryse, pulau emas di negeri yang “mataharinya berada di atas kepala”. Lebih lanjut, Ptolomaeus (wafat 160 M) menyebut tentang pulau yang sangat subur serta kaya emas dan perak di seberang Gangga. Dia menyebutnya Aurea Chersonesus.

Masih kurang? Tiliklah satu naskah geografi dari Tiongkok era Dinasti Ming (abad ke-14) yang menyebut tentang negeri San Fo Tjai yang ditengarai sebagai Sumatera. Di negeri itu, para penduduknya tak kenal mata uang tembaga, melainkan hanya koin emas dan perak.

Masih pula ada beberapa catatan lagi, tapi tak perlulah penulis berpanjang kata. Yang terang, emas memang ada di Sumatra. Di antara beberapa sumbernya adalah Bengkulu, Sumatra Utara, dan Aceh.

Namun, dari aspek kelimpahan produksi dan pengolahan emas, Sumatera bagian tengah, khususnya Minangkabau-lah yang paling terkenal.

Tradisi menambang dan mengolah emas di Ranah Minang sudah eksis sangat lama. Prasasti Pagaruyung I bertanggal 1356 Masehi menyebut Adityawarman sebagai raja negeri Svarnnabhūmi yang secara harfiah berarti Negeri Emas. Tome Pire dalam Suma Oriental juga mencatat tentang Kerajaan Minangkabau (Menamcabo) yang begitu kaya emas.

Raja-raja Minangkabau era Pra-Islam bebas mengambil emas dari tambang mana pun yang menghasilkan lebih dua bahar per tahun. Paling tidak ada tiga pelabuhan di Pantai Barat Sumatra untuk emas: Tiku, Pariaman, dan Barus. Ada pula emas asal Minangkabau yang dibawa via sungai ke Riau lalu Malaka dan kemudian diperdagangkan lintas benua.

Negeri Emas Minangkabau

William Marsden dalam The History of Sumatera (1811) menulis bahwa Minangkabau terkenal sebagai penghasil emas. Di abad ke-19, Padang menerima paling tidak 10 ribu ons emas dari tambang-tambang di pedalaman.

Jumlah tambang emas di pedalaman Minang itu pun tak kepalang banyaknya. “Jumlahnya tidak kurang dari 1.200 tambang,kata Marsden. Nilai ekonomisnya ditaksir mencapai 1 juta gulden.

Meski demikian, menurut Marsden, jauh lebih banyak emas yang dibawa ke Pantai Timur.

Emas dari Minangkabau tersedia dalam berbagai bentuk, di antaranya rock-gold yang disebut amas-supayang, yakni bongkahan besar kuarsa dengan urat emas signifikan. Ada pula amas-sungei-abu berupa bongkahan emas murni. Ada juga berbentuk butiran yang disebut amas-urai.

Para penambang dari dua abad silam menggunakan alat-alat sederhana, seperti dulang, cangkul, dan ijuk. Untuk memisahkan butiran emas dari pasir, lumpur, atau kuarsa, mereka hanya menggunakan air.

Dari penambang, emas mentah akan diolah oleh perajin-perajin bumiputra menjadi serbaneka perhiasan, baik yang dipakai langsung maupun penghias kostum dan senjata.

Menurut Verbeek (1877), salah satu sebab VOC tergiur pada Sumatra adalah karena emasnya. Sejak 1666, VOC mencari segala cara agar bisa membangun markas di Padang. Tujuannya tentu saja untuk memonopoli emas dan juga lada dari pedalaman.

Pada 1670, VOC bahkan memutuskan berinvestasi besar-besaran pada penambangan emas dengan teknologi Eropa di Salido. Sebelumnya, tambang ini hanya diusahakan oleh pribumi.

Untuk keperluan itu, VOC mengutus Visscher serta delapan penambang Eropa. Hasil awalnya cukup bagus. Pada 1675, Batavia menerima emas dan perak senilai 10 ribu gulden dari sana.

Infografik Mozaik Riwayat Emas Sumatera Barat

Infografik Mozaik Riwayat Emas Sumatera Barat. tirto.id/Quita

Jatuh-Bangun Tambang Emas

Tambang Salido sempat ditinggalkan pada 1696 karena flukutuasi produksi sementara biaya pengiriman ke Eropa bertambah besar. Dari 1690 sampai 1694, “Logam yang ditambang hanya menghasilkan sekira 174.000 gulden. Padahal, ongkos transportasinya mencapai 276.000 gulden,” tulis Verbeek.

Hal yang sama terjadi lagi dalam rentang 1670 hingga 1687. Total biaya yang harus dikeluarkan untuk menjalankan pertambangan saat itu mencapai 473.145 gulden, sementara hasilnya hanya 403.133 gulden. VOC sampai terpaksa berutang 280.000 gulden untuk menutupnya.

Meski rugi sedemikian rupa, para pembesar VOC nyatanya tak kapok. Pada 1720, mereka mengutus Mettenius dan Kieling mengeksplorasi daerah-daerah di Minangkabau yang menyimpan potensi emas. VOC bahkan secara khusus masih mengupayakan pembukaan kembali Tambang Salido.

Mettenius meyakinkan VOC bahwa mereka bisa meraih 500 ribu gulden per tahun dari Salido. Namun, Kieling berpendapat lain. Menurutnya, jauh lebih banyak lagi deposit emas di perbukitan di luar Padang. Kendalanya, wilayah itu adalah wilayah merdeka serta tertutup bagi orang asing.

Tambang Salido sempat dibuka kembali pada 1732, tapi kemudian benar-benar ditinggalkan pada Agustus 1737. Lokasi yang oleh masyarakat setempat dijuluki Tambang Kompeni itu lantas disewakan kepada para inlander yang berminat mengais sisa-sisanya.

E.B. Kieltsra dalam Onze Kennis van Sumatra’s Westkustomstreeks de Helft der Achttiende Eeuw (1877) menyebut bahwa di abad ke-18, sebenarnya masih sangat banyak tambang emas yang belum diketahui VOC. Beberapa di antaranya berlokasi di Tanah Datar, Pasaman, Solok, dan Sungai Pagu.

Kawasan yang disebut terakhir bahkan dijuluki sariboe tiga ratoes tambang. Situs ini tidak jarangmenghasilkan massa emas sekira 2 atau 3 pon yang rerata mengandung 22 sampai 22 ½ karat. Bahkan ada yang sempurna 24 karat.

Era penambangan emas di pedalaman Minangkabau masih terus berlangsung selama paruh akhir abad ke-18. Namun, sebagaimana sudah disinggung sebelumnya, hasil dan keuntungannya berangsur menurun hingga benar-benar lesu dan pudar di abad ke-19. Belanda pun beralih pada komoditas lain yang lebih mampu mendulang cuan.

Baca juga artikel terkait SUMATRA BARAT atau tulisan lainnya dari Novelia Musda

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Novelia Musda
Penulis: Novelia Musda
Editor: Fadrik Aziz Firdausi