Menuju konten utama
Mozaik

Pembantaian Amboina, Luka Sejarah Perdagangan Rempah

Pada awal 1623, VOC menangkap dan membantai 10 orang Inggris, 10 tentara bayaran Jepang, dan 1 orang Portugis yang dituduh akan menyerang Benteng Victoria.

Pembantaian Amboina, Luka Sejarah Perdagangan Rempah
Header Mozaik Pembantaian Amboina. tirto.id/Tino

tirto.id - Lewat mulutnya, kain itu ditarik erat hingga ke belakang kepala, sedangkan lengan dan kakinya terpisah dengan tali melalui ujung pintu. Seorang tentara terus mengguyur kepalanya dengan air dan ia kian tersentak saat air kembali menyembur lewat mulut dan rongga hidung.

Shichizō mengerang saat kain itu terus ditarik dengan keras, sementara air terus dituangkan dari kendi besar. Ia terus ditanya para serdadu VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie) untuk menyebutkan nama-nama yang terlibat dalam konspirasi.

Pada 23 Februari 1623, Shichizō ditangkap. Ia dicurigai karena terus menanyakan situasi dan titik penting di dalam Bentang Victoria. Gubernur Ambon saat itu, Herman van Speult, memanggilnya untuk dimintai keterangan. Ia awalnya menyangkal tuduhan, tetapi kemudian mengakui bahwa ia memang mengajukan pertanyaan tersebut ke beberapa serdadu VOC hanya karena rasa ingin tahu.

Van Speult lalu memerintahkan penyidikan mengingat pentingnya benteng yang dibangun pada 1605 itu sebagai lumbung rempah-rempah yang sangat kaya. Dia tidak percaya pada penjelasan Shichizō dan memutuskan untuk menyiksanya agar mengaku.

Seorang pengacara pajak bernama Isaaq de Bruyn memimpin investigasi yang kemudian mengarah pada sepuluh rekan Shichizō yang juga berprofesi sebagai tentara bayaran asal Jepang. Shichizō juga menyebutkan nama Abel Price sebagai penghubung utama antara Jepang dengan konspirator Inggris.

Penangkapan Shichizō, meskipun awalnya tampak seperti kasus kecil, menjadi pemicu utama dari serangkaian peristiwa yang berujung pada Pembantaian Ambon atau dikenal dengan Ambonse Moord, yang akhirnya memicu kemarahan Inggris.

Setelah Shichizō mengaku terlibat dalam konspirasi, Isaaq de Bruyn, yang juga bawahan Gubernur Van Speult, menangkap dan menyiksa 10 tentara bayaran Jepang lainnya dan 1 orang Portugis yang berada di garnisun Ambon. Semua tentara bayaran tersebut mengaku terlibat untuk merebut Benteng Victoria dengan mendapatkan upah yang besar.

De Bruyn kemudian memperluas penyelidikan dengan menangkap Abel Price yang mengaku memiliki peran penting dalam konspirasi dan akhirnya menyebutkan bahwa ia diperintah oleh Gabriel Towerson, seorang kapten yang bekerja untuk EIC (East India Company) berusia 49 tahun di Ambon.

Sementara De Bruyn terus menyiksa para pedagang Inggris lainnya, termasuk pengawas budak dan prajurit, ia mendapatkan kesimpulan bahwa semua pengakuan mengarah pada konspirasi besar yang dipimpin oleh Towerson dan para antek Jepangnya.

Akar Persaingan Sengit

Peristiwa kelam di Ambon itu berakar dari perebutan kekuasaan di Kepulauan Maluku, wilayah yang kaya akan rempah-rempah yang menjadi komoditas berharga di era kolonial. Sejak abad ke-16, Portugis telah mendominasi perdagangan rempah-rempah di Maluku, membangun benteng, dan menjalin hubungan dengan penduduk lokal. Namun, kedatangan Belanda dan Inggris secara perlahan mengubah lanskap geopolitik.

Pulau Ambon, dengan lokasinya yang strategis dan kekayaan rempah-rempahnya yang melimpah, menjadi medan pertempuran utama dalam perebutan kekuasaan antara VOC dan EIC. Keduanya sempat menjadi sekutu saat menandatangani perjanjian untuk bekerja sama dalam mengusir Portugis pada tahun 1619.

Sebagai perusahaan dagang yang didirikan pada tahun 1602, VOC dengan ambisi monopoli perdagangan rempah-rempah, menerapkan berbagai strategi, termasuk membangun benteng Nieuw Victoria, menjalin kerja sama dengan penguasa lokal, dan menggunakan taktik perdagangan agresif.

Sedangkan EIC mulai membangun pengaruh di Maluku dengan menerapkan strategi serupa, membangun benteng di Laha, sebuah desa di pesisir selatan Ambon. Mereka bersaing dengan VOC dalam harga dan kualitas rempah-rempah.

Faktor-faktor tersebut telah memicu kecurigaan dan kemarahan VOC yang melihatnya sebagai upaya EIC untuk merebut kendali atas pulau tersebut.

Persaingan ini kian memanas, memicu berbagai konflik di berbagai wilayah di Maluku. Salah satu contohnya adalah perebutan Pulau Tidore, saat VOC dan EIC saling mendukung kandidat raja yang berbeda. Konflik ini memicu peperangan yang memakan banyak korban jiwa.

Pada tahun 1622, beredar desas-desus tentang rencana EIC untuk menyerang benteng VOC di Victoria. Desas-desus ini semakin memperburuk situasi dan memicu ketegangan di Ambon. VOC menuduh EIC bersekongkol dengan penduduk lokal untuk menggulingkan kekuasaan mereka.

Kengerian Pembantaian

Pengakuan Shichizō memicu penyelidikan lebih lanjut dan penyiksaan terhadap tentara bayaran Jepang lainnya. Mereka juga dipaksa mengaku terlibat dalam konspirasi, yang semakin memperkuat tuduhan terhadap orang Inggris.

Puncaknya pada 11 Februari 1623, VOC menangkap 10 orang Inggris, 10 tentara bayaran Jepang, dan 1 orang Portugis yang dituduh terlibat dalam konspirasi untuk menyerang Benteng Victoria.

Tanpa proses pengadilan yang memadai, para tahanan disiksa untuk mendapatkan pengakuan. Penyiksaan melibatkan metode waterboarding, pemukulan, dan pembakaran.

Arsip Nasional Inggris dalam Calendar of State Papers: Preserved in the State Paper Department of Her Majesty's Record Office. Colonial Series Volume 6 (1884:687)mengatakan bahwa tahanan disiksa dengan air dan api lewat lilin yang dinyalakan dekat ketiak maupun telapak kaki.

Di bawah tekanan penyiksaan, beberapa tahanan mengaku terlibat dalam konspirasi. Penyiksaan digunakan untuk membenarkan tindakan VOC dalam menangkap dan mengeksekusi orang Inggris. VOC berpendapat bahwa penyiksaan diperlukan untuk mengungkap kebenaran dan melindungi diri dari ancaman konspirasi.

"...mereka dibakar, ditusuk, diregangkan di rak dan sebagian ditenggelamkan. Beberapa dari mereka, ketika dirantai ke dinding batu, anggota badan mereka diledakkan dengan bubuk mesiu," tutur Stephen R. Brown dalam Merchant Kings: When Companies Ruled the World, 1600—1900 (2010:48).

Pengakuan ini dimanfaatkan oleh VOC sebagai dasar untuk mengeksekusi para tahanan. Pada 8 Maret 1623, dalam sebuah pengadilan, para hakim sepakat memberikan hukuman kepada para tersangka dengan suara bulat: hukuman mati.

Esoknya, para tahanan diarak keliling Kota Ambon sebelum akhirnya dieksekusi dengan cara dipenggal kepalanya dengan satu tebasan pedang, satu per satu. Pemandangan mengerikan ini disaksikan oleh penduduk Ambon dan meninggalkan trauma bagi kerabat serta keluarga tersangka.

Infografik Mozaik Pembantaian Amboina

Infografik Mozaik Pembantaian Amboina. tirto.id/Tino

Luka dan Konsekuensi

Pembunuhan terhadap pegawai EIC di Ambon memicu kontroversi dan pertentangan yang besar antara Belanda dan Inggris. Ketika berita tentang pembantaian mencapai London pada akhir Mei 1624, hal itu memicu kemarahan besar di kalangan pemimpin EIC, termasuk Raja James I yang mengecam pembantaian tersebut.

Mereka kemudian menerbitkan pamflet berjudul “A True Relation of the Unjust, Cruell, and Barbarous Proceedings Against the English at Amboyna in the East-Indies, by the Neatherlandish Governour and Councel there.”

Pamflet ini berdasarkan kesaksian orang-orang yang selamat saat pengejaran tentara VOC terhadap orang Inggris di Ambon. Mereka menuduh alasan konspirasi adalah rekayasa semata serta menyatakan bahwa para pegawainya di Ambon hanya menjalankan tugas perdagangan dan tidak terlibat dalam kegiatan politik.

Selain pamflet, gambar-gambar tentang penyiksaan secara brutal juga banyak dipublikasikan pihak Inggris, meskipun sebagian dibesar-besarkan, disebarluaskan untuk mengobarkan sentimen anti-Belanda. Gambar-gambar tersebut melukiskan Belanda sebagai agresor pengkhianat yang berusaha memonopoli perdagangan rempah-rempah, mengubah pedagang Inggris menjadi martir di mata masyarakat.

VOC meresponsnya dengan menerbitkan pamflet berjudul “Waerachtich Verhael vande Tidinghen ghecomen wt de Oost-Indien” untuk membenarkan tindakan mereka. Semua argumen dan penghakiman dari EIC dan para pejabat Inggris ditolak. Pamflet ini menyatakan bahwa konspirasi yang dilakukan oleh Inggris sangat berbahaya dan proses hukum yang dilakukan adalah sah sesuai yurisprudensi Belanda.

Meski begitu, pada 1627, atas desakan berbagai kalangan, Staten-Generaal (parlemen Belanda) membentuk sebuah tribunal khusus untuk menyelidiki tindakan para hakim di Ambon. Namun, penyelidikan ini terhambat oleh perbedaan pendapat mengenai yurisdiksi, dan akhirnya para pejabat VOC yang terlibat dibebaskan.

Ambonse Moord menimbulkan ketidakpercayaan dan permusuhan yang berlanjut dalam hubungan kedua negara, menyebabkan ketegangan yang berlarut-larut. Perjanjian damai akhirnya disepakati lewat Perdamaian Westminster pada 1654.

Kesepakatan ini berhasil menyelesaikan banyak perselisihan antara Belanda dan Inggris, misalnya, aturan tentang kompensasi untuk korban yang dieksekusi di Ambon, di mana keluarga korban menerima kompensasi sebesar £ 3615. Perjanjian juga berdampak pada berkurangnya ketegangan diplomatik kedua negara.

Pembantaian Ambon terus menjadi topik kontroversi saat hubungan Belanda dan Inggris kembali renggang, seperti dalam Perang Inggris-Belanda Pertama (1652-1654) dan Kedua (1665-1667), yang memperburuk hubungan antara kedua negara. Peristiwa ini terus digunakan sebagai propaganda perang oleh Inggris melawan Belanda, termasuk dalam Perang Boer pada akhir abad ke-19.

Hingga saat ini, Ambonse Moord masih diperdebatkan oleh para sejarawan tentang kebenaran dari tuduhan konspirasi dan motif di balik tindakan Belanda.

Baca juga artikel terkait PEMBANTAIAN atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - News
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi