tirto.id - Pemindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke Kalimantan sudah cukup lama menjadi perdebatan. Jakarta yang menjadi ibu kota sejak era kemerdekaan, yang dari tahun ke tahun menanggung beban ledakan penduduk dan masalah ekologi, dianggap tidak lagi relevan.
Namun, salah satu alasan yag mula-mula mengemuka adalah dikaitkannya Jakarta dengan kenyataan sejarah bahwa kota ini pernah menjadi ibu kota negara kolonial Hindia-Belanda.
Sebagaimana disebut Dian Herdiana dalam "Pemindahan Ibukota Negara: Upaya Pemerataan Pembangunan ataukah Mewujudkan Tata Pemerintahan yang Baik" (2022), di masa awal kemerdekaan, keinginan memindahkan ibu kota disokong oleh narasi bahwa Jakarta kaya akan simbol-simbol kolonialisme.
Usulan atau keresahan itu cukup problematis, karena di balik semangat dekolonisasi yang dihamparkan, justru mengecilkan kedudukan bangsa Indonesia.
Rasanya naif jika menyebut Jakarta sebagai model purwarupa kota kolonial semata. Jauh sebelumnya, peradaban kuno telah tumbuh dan berkembang di kota ini.
Ali Akbar dalam skripsinya berjudul Peninggalan Prasejarah di Jakarta dan Sekitarnya: Kajian tentang Permukiman Prasejarah dalam Skala Makro (2002) misalnya, mengatakan bahwa peradaban manusia purba telah muncul di beberapa titik Daerah Aliran Sungai Ciliwung.
Mereka meninggalkan materi kebudayaan berupa tembikar, beliung, manik-manik, dan cetakan logam. Tinggalan-tinggalan ini mengindikasikan Jakarta setidak-tidaknya telah dihuni sejak masa bercocok tanam yang berlangsung paling tidak sejak 12.500 tahun yang lalu.
Perkembangan kebudayaan masyarakat Jakarta kala itu terus berlanjut hingga masa Hindu-Buddha di periode sejarah.
Ditemukannya Prasasti Tugu di Jakarta Utara menginformasikan bahwa wilayah Jakarta masuk ke dalam kedaulatan Kerajaan Tārumanagara.
Juga dalam catatan Suma Oriental yang ditulis Tome Pires melalui publikasi Armando Cortesao (2018), Kota Kalapa (nama lama Jakarta) merupakan bagian yang tak terpisahkan dari aktivitas pelayaran dan perdagangan Kerajaan Sunda pada abad ke-16.
Keraton dan Pangeran Jayawikarta
Sumber-sumber historis itu memang tidak cukup untuk menjelaskan sejarah Jakarta sebagai suatu kota tradisional. Kedudukan Jakarta sebagai kota tradisional di Pulau Jawa bisa lebih jelas diamati pada periode Islam di akhir abad ke-16 sampai awal abad ke-17.
Kendati rentang waktunya relatif lebih singkat, baik dari sumber historiografi tradisional maupun pencatatan VOC, Jakarta yang kala itu berada di bawah naungan Kesultanan Banten digambarkan begitu jelas.
Jakarta yang kala itu disebut Jayakarta, sudah kosmopolitan jauh sebelum Batavia berdiri.
Riwayat Keraton Jayakarta banyak disebut dalam catatan awal VOC ketika pertama kali mendarat di kota itu. Pencatatan yang detail tentang keraton ini sejalan dengan kepentingan VOC yang memang berkonflik dengan penguasa Jayakarta, yakni Pangeran Jayawikarta.
Awal hubungan VOC dengan Pangeran Jayawikarta berlangsung ketika perusahaan dagang itu mulai menyambangi Pelabuhan Banten.
Menurut Adolf Heuken dalam Sejarah Jakarta: dari Masa Prasejarah sampai Akhir Abad ke-20 (2018), VOC ketika itu ragu untuk membangun loji perdagangan dan pusat perbengkelan kapal di Banten, karena iklim politik yang simpang siur dan ramainya para pesaing dagang.
Maka itu, mereka memilih daerah Jayakarta yang merupakan vasal Kesultanan Banten. VOC membeli sebidang tanah di tepi timur muara Sungai Ci Liwung untuk dibangun loji perdagangan pada 1610.
Letak loji tidak begitu jauh dari Keraton Jayakarta yang menjadi kediaman resmi Pangeran Jayawikarta, kira-kira 700 meter ke arah selatan dari menara syahbandar (loji VOC). Posisi keraton kurang lebih di tepi barat Kali Besar, sekitar Jl. Kopi, Kelurahan Roa Malaka, Jakarta Barat di masa sekarang.
Menurut T.B. Ataladjar dkk. dalam Toko Merah Saksi Kejayaan Batavia Lama di Tepian Muara Sungai Ciliwung: Riwayat dan Kisah Para Penghuninya (2003), tata kota Jayakarta tidak banyak berbeda dengan kota Islam di pesisir Jawa lainnya.
Model kota Jayakarta kala itu tidak jauh beda dengan Banten, Cirebon, Demak, bahkan Yogyakarta-Surakarta hari ini.
Dendam Murjangkung
Keraton Jayakarta tidak berumur panjang. Kejatuhannya terkait erat dengan dinamika politik antara Pangeran Jayawikarta sebagai Adipati Jayakarta dengan VOC.
Sang pangeran sadar loji yang menjadi basis pendudukan orang-orang Kompeni mengancam kedudukannya. Mula-mula, sebagaimana dihimpun oleh Thomas Stamford Raffles dalam History of Java (1817), Pangeran Jayawikarta membatasi jumlah penduduk yang menghuni loji dan tidak memperbolehkan kompeni membangun permukiman tetap.
Pangeran Jayawikarta bahkan menempatkan sejumlah meriam di sekitar Muara Ci Liwung untuk mengawasi tindak tanduk para pedagang Belanda.
Upaya yang ia lakukan rupanya tidak membuat Kompeni tunduk. Mereka justru banyak melanggar peraturan pangeran, misalnya mulai membangun rumah berbahan batu tingkat dua dan benteng batu pada tahun 1618.
Puncaknya, VOC mulai menempatkan meriam yang moncongnya diarahkan ke Keraton Jayakarta. Benar saja, suatu kali meriam itu benar-benar memuntahkan bola proyektilnya tepat ke atap Keraton Jayakarta. Pangeran berang dan meminta pertanggungjawaban VOC, lalu menerima uang kompensasi dari kongsi dagang itu.
Respons Pangeran Jayawikarta yang cenderung lunak terhadap VOC membuat Sultan Banten marah besar. Jayawikarta dipecat dari jabatannya sebagai Adipati Jayakarta dan digantikan oleh Arya Ranamanggala pada Desember 1619.
Ternyata, sebelum dipecat, Pangeran Jayawikarta berhasil mengusir VOC. Namun, perintah tetap perintah, ia tetap ditarik ke Banten karena tindakan sebelumnya.
Selama transisi pemerintahan di Keraton Jayakarta, Jan Pieterzoon Coen atau Murjangkung dalam pelafalan Jawa, baru saja menduduki posisi Gubernur Jenderal VOC. Dalam pengasingannya dari Jayakarta, ia sibuk menggalang kekuatan untuk membalas dendam Pangeran Jayawikarta yang telah mengusir VOC.
Pembalasan Murjangkung terjadi pada 30 Mei 1619. Dengan kekuatan kurang lebih 1000 serdadu, ia membakar habis Keraton Jayakarta dan menumpas pasukan Arya Ranamanggala.
Tanpa berlama-lama, Murjangkung kemudian mendirikan Kota Batavia di atas reruntuhan Keraton Jayakarta. Kemenangan gemilang bagi Jan Pieterzoon Coen ini, menurut Heuken, direkam dalam suatu manuskrip Jawa bernama Serat Baron Sakendher.
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Irfan Teguh Pribadi