tirto.id - Namanya identik dengan penganiayaan dan eksekusi terhadap jenderal patriotik Yue Fei. Bahkan berabad-abad kemudian, warisannya tetap menjadi kutukan mendalam. Patung-patungnya yang tengah berlutut di dekat makam Yue Fei kerap diludahi rakyat Tiongkok.
Selama masa jabatannya yang berlangsung 18 tahun, ia mengambil berbagai langkah kontroversial dengan mempertahankan kekuasaan, melemahkan pertahanan politik dan militer.
Dialah Qin Hui, pengkhianat dan koruptor kelas kakap pada era Dinasti Song Selatan.
Dicurigai Usai Dibebaskan Musuh
Lahir di Jiangning, kini Nanjing, Provinsi Jiangsu pada tahun 1090, atau sumber lain menyebut 17 Januari 1091, Qin Hui memiliki bakat dan pengetahuan sejak dini dengan meraih gelar Jinshi dalam ujian kekaisaran pada usia 15 tahun.
Di awal kariernya, ia bertugas sebagai utusan yang berani untuk bernegosiasi dengan pemerintahan Jurchen Jin. Dinasti ini didirikan oleh klan Wanyan dari suku Jurchen dan menguasai kerajaan yang meliputi bagian besar Asia Dalam dan utara Tiongkok selama periode 1115-1234.
Selain Dinasti Jin, suku Jurchen juga menjadi pendiri Dinasti Qing, lebih dari 500 tahun kemudian.
Karier Qin Hui mengalami perubahan dramatis ketika ia ditangkap bersama Kaisar Huizong dan Qinzong dalam Insiden Jingkang pada 9 Januari 1127. Insiden ini terjadi saat Jurchen Jin menyerbu Bianjing, ibu kota Dinasti Song—kini Kota Kaifeng, Provinsi Henan.
Usai mundur ke Hangzhou, menurut Giulio Magli dalam buku Sacred Landscapes of Imperial China: Astronomy, Feng Shui, and the Mandate of Heaven (2020:90), para kaisar tidak pernah kehilangan harapan untuk menaklukkan kembali wilayah utara, dan karena alasan ini hanya makam para penguasa Song Utara yang dibangun dalam bentuk monumental.
Pada 1130, Qin Hui secara misterius kembali dari penawanan kekaisaran Jurchen Jin ke Kaisar Gaozong. Dinasti Song Selatan ini dibentuk oleh Zhao Gou, putra kesembilan Kaisar Huizong yang selamat dari penangkapan Dinasti Jin.
Klaimnya tentang pelarian itu dicurigai banyak orang, karena ia adalah satu-satunya pejabat tinggi yang kembali bersama seluruh keluarganya tanpa cedera. Langkahnya dianggap memiliki kesepakatan rahasia dengan Jurchen Jin.
Terlepas dari keraguan seputar kembalinya, Qin Hui dengan cepat mendapatkan dukungan Kaisar Gaozong dan menjadi Menteri Kekaisaran Song Selatan pada tahun 1131. Meskipun sempat dicopot dari jabatannya setelah pemakzulan, ia kembali berkuasa sebagai pendukung perdamaian dengan Dinasti Jin setelah kemenangan Song pada tahun 1137.
Iklim Politik dan Peluang Korupsi
Dinasti Song mendirikan sistem birokrasi terpusat berdasarkan meritokrasi melalui ujian pegawai negeri. Tetapi sistem ini tidak kebal terhadap korupsi, dengan masalah seperti tekanan keuangan, stagnasi institusional, dan konflik faksi yang muncul.
Pada akhir pemerintahan Dinasti Song di pengujung abad ke-13, korupsi juga memengaruhi militer. Para pejabat mengalihkan dana angkatan laut untuk memperkaya diri, yang akhirnya melemahkan armada dalam Pertempuran Yaishan. Akibatnya, pasukan Mongol mampu memenangkan perang dan berhasil membangun Dinasti Yuan di bawah kendali Kubilai Khan.
Monopoli garam, sumber pendapatan utama, juga mengalami korupsi yang serius menurut Cecilia Chien dalam studinya “Salt and State: An Annotated Translation of the Songshi Salt Monopoly Treatise”.
Produksi garam laut, yang lebih mahal dan berkualitas lebih tinggi, mencakup enam area produksi utama termasuk Jingdong, Hebei, Liangzhe, Huainan, Fujian, dan Guangnan.
Padahal kaisar pertama Dinasti Song, Taizu, sudah pernah mengambil langkah-langkah untuk mengurangi korupsi dan kekuasaan para kasim, yang membuktikan bahwa korupsi adalah masalah yang diakui sejak awal dinasti.
Warsa 1058, sebuah kebijakan Reformasi Wang Anshi digulirkan sesuai nama pengusungnya, Wang Anshi, seorang ekonom, hakim, filsuf, penyair, sekaligus politikus terkemuka. Kebijakan ini sebagian bertujuan untuk mengatasi masalah keuangan, khususnya praktik korupsi di kalangan birokrat.
Salah satu pendukung kebijakan ini, Chen Dong, seorang akademisi di kekaisaran menjadi martir karena menentang korupsi selama Dinasti Song. Ia dieksekusi pada tahun 1127 dan namanya direhabilitasi pada era Kaisar Gaozong.
Meskipun ada upaya untuk mencegahnya, suap dan nepotisme tetap hadir, melemahkan kepercayaan publik dan efektivitas administrasi. Censorate, badan pengawas tertinggi kekaisaran, seharusnya memantau pejabat dan mencegah korupsi, tetapi malah tidak efektif.
Birokrasi yang besar dan terus berkembang juga memberikan tekanan keuangan pada kekaisaran, terkadang menyebabkan peningkatan pajak yang membebani penduduk.
Begitu pula hilangnya wilayah utara dan ancaman terus-menerus dari Jurchen Jin menciptakan lingkungan politik yang tidak stabil di Song Selatan.
Sebagai menteri paling kuat yang tidak mungkin digantikan, Qin Hui memiliki otoritas yang sangat besar untuk memanipulasi sistem politik demi keuntungan pribadi. Ia juga mengangkat pejabat berdasarkan kesetiaan padanya, lalu menempatkan mereka di posisi strategis dalam pemerintahan.
Pada 1141, dengan dukungan Kaisar Gaozong, Qin Hui berhasil menekan para investor dan menandatangani Traktat Shaoxing dengan Jurchen Jin dan secara efektif menerima status Song Selatan sebagai negara boneka. Secara resmi, perjanjian diratifikasi pada 11 Oktober 1942.
"Berdasarkan ketentuan perjanjian Qin Gui, Song Selatan menyerahkan Tiongkok Utara ke Sungai Huai dan setuju untuk membayar upeti tahunan yang besar berupa perak dan sutra kepada Jin. Suku Jurchen, yang berjumlah sekitar 6 juta dari 45 juta penduduk Tiongkok Utara, akan memerintah hingga 1234. Mereka membangun birokrasi bergaya Tiongkok; banyak penduduk asli Tiongkok menjadi pegawai negeri sipil Jin," tulis John S. Bowman dalam buku Columbia Chronologies of Asian History & Culture (2000:34).
Kebutuhan untuk negosiasi dan peredaan konflik dengan Dinasti Jin tersebut membuka jalan bagi Qin Hui dan beberapa para pejabat untuk memperkaya diri melalui kesepakatan atau dengan menerima suap dari Jurchen Jin sebagai imbalan atas kebijakan yang menguntungkan.
Qin Hui lalu menikmati kehidupan mewah dan menjadi semakin berani dalam memperoleh uang melalui korupsi saat mengonsolidasikan kekuasaannya. Dia juga menjebak dan mengasingkan banyak pejabat yang jujur yang tidak patuh padanya, melenyapkan oposisi dan menyita aset mereka atau menuntut kepatuhan melalui suap.
Kendalinya atas Censorate Kekaisaran memungkinkannya untuk menyingkirkan lawan-lawan politik dari pemerintahan. Ia juga mempraktikkan sensor yang kuat dan kontrol pikiran atas Universitas Kekaisaran, memastikan hanya “ide-ide yang dapat diterima” yang diajarkan, yang berfungsi untuk membungkam perbedaan pendapat dan mempertahankan cengkeramannya pada kekuasaan dan aliran informasi tentang kegiatannya.
Meskipun Dinasti Song menghadapi masalah korupsi secara umum, kasus Qin Hui menonjol karena dampak tindakannya terhadap kebijakan publik, pengkhianatan terhadap seorang pahlawan, dan keburukan historis abadi yang ia timbulkan.
Korupsi yang dilakukannya bukan hanya transaksional tetapi sangat politis dan penuh dendam pribadi, dibanding korupsi birokrasi yang lebih umum.
Pengkhianatan terhadap Yue Fei
Memasuki tahun 1137, Qin Hui mulai menjebak jenderal patriotik Yue Fei yang dituduh membangkang hingga dijebloskan ke penjara. Yue Fei adalah jenderal yang dihormati karena keberaniannya dalam merebut kembali wilayah yang hilang dari pasukan Jurchen Jin pada tahun 1134 dan 1140, yang memperkuat pertahanan Dinasti Song.
Meningkatnya pengaruh dan popularitas Yue Fei membuat kelompok pejabat yang merasa terancam, terutama Qin Hui, melakukan berbagai tindakan untuk menekan pahlawan nasional itu.
Penjebakan Yue Fei menunjukkan bahwa Qin Hui memprioritaskan agenda politik dan keuntungan pribadinya di atas kepentingan Dinasti Song.
Qin Hui juga memerintahkan Zhou Sanwei untuk memeras pengakuan dari Yue Fei, menunjukkan taktik koersif untuk tujuan politik, yang dapat diperluas ke keuntungan finansial dalam konteks lain.
Ia lalu menganiaya dan mengeksekusi Yue Fei pada 27 Januari 1142. Catatan lain menyebutkan istri Qin Hui, Wang Shi, juga memainkan peran dalam merencanakan melawan Yue Fei. Ia diduga mengirimkan surat eksekusi rahasia tanpa persetujuan kaisar, termasuk keterlibatannya meracuni Yue Fei di sel penjara.
Sebuah kuil didirikan untuk menghormati Yue Fei di Hangzhou setelah eksekusinya. Menurut sejarawan Marc Matten, kuilnya terus direnovasi sepanjang dinasti-dinasti berikutnya, bahkan selama Dinasti Qing.
Qin Hui sendiri meninggal dengan tenang di rumahnya pada tahun 1155. Ia mula-mula lepas dari berbagai bayang-bayang dan kecaman historis yang datang ratusan tahun kemudian.
Secara konsisten ia dicerca oleh para sejarawan Tiongkok sebagai pengkhianat dan pejabat yang korup sejak masa Kaisar Gaozong.
Sentimen publik sangat negatif terhadap Qin Hui selama berabad-abad, sebagaimana dibuktikan oleh tradisi mengutuk, meludahi, dan bahkan mengencingi patung-patungnya. Kue goreng yang disebut You Tiao (hantu goreng), atau Cakwe, dalam bahasa Kanton dulunya disebut Yau Zaa Kuai (Hui), yang melambangkan Qin Hui dan istrinya yang secara figuratif digoreng dan dimakan, melambangkan kebencian publik.
Patung-patung besi Qin Hui dan istrinya yang berlutut di depan makam Yue Fei di Hangzhou berfungsi sebagai pengingat abadi akan pengkhianatan mereka dan menjadi sasaran cemoohan publik. Patung-patung ini telah diganti beberapa kali selama berabad-abad karena kerusakan akibat amukan warga.
Kecaman abadi dan intens terhadap Qin Hui selama berabad-abad, dari catatan sejarah hingga budaya populer, menggarisbawahi beratnya korupsi dan pengkhianatan yang pernah ada dalam sejarah Tiongkok.
Lain itu, penghinaan kepadanya menunjukkan bahwa korupsinya bukan hanya masalah perselisihan politik, tetapi pengkhianatan fundamental terhadap nilai-nilai dan moralitas.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi