tirto.id - Mao Zedong memulai Revolusi Kebudayaan Cina pada tahun 1966. Pemuda-pemudi militan yang tergabung dalam Pengawal Merah (Red Guard) memburu "Empat Tua", yakni adat lama, budaya lama, kebiasaan lama, dan ide lama. Dalam versi riil, Puyi adalah target yang sempurna. Ia adalah kaisar terakhir Cina dari Dinasti Qing yang masih hidup. Puyi adalah simbol feodalisme yang mengakar kuat selama ribuan tahun dan sedang ditumpas oleh mahasiswa-mahasiswi komunis tersebut.
Puyi berpikir kali ini ia akan menemui ajal di tangan Mao Zedong. Meskipun telah berikrar menjadi seorang komunis sejati, namun darah biru tetap mengalir di tubuhnya. Puyi yang pasrah kemudian ditahan oleh otoritas lokal. Aksesnya terhadap fasilitas mewah dibatasi. Bukunya yang sudah diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Perancis, From Emperor to Citizen, dibakar karena dituduh mengandung unsur-unsur 'Empat Tua'.
Puyi memang meninggal setahun kemudian, tepatnya pada tanggal 17 Oktober 1967, saat usianya menginjak 61 tahun. Namun, kematiannya bukan karena eksekusi rezim, melainkan komplikasi kanker ginjal dan penyakit jantung menahun. Sesuai aturan negara, mayatnya dikremasi dan abunya ditempatkan di Makam Revolusi Baboshan, tempat para tokoh Partai Komunis Cina dan pejabat negara lainnya turut beristirahat dengan tenang.
Puyi lahir pada 7 Februari 1906 sebagai keturunan klan Asin Gioro yang menguasai Dinasti Qing sejak tahun 1644. Di usia ke-2 pada bulan Desember 1908 ia dipilih menjadi Kaisar Dinasti Qing ke-12 setelah ditunjuk Janda Permaisuri Cixi yang terbaring sekarat di ranjangnya, demikian catat William A. Joseph dalam bukunya, Politics in China: An Introduction.
Baca juga: Panglima Islam Kekaisaran Cina Merambah Nusantara
Penunjukan Puyi bermotif politis mengingat kerajaan kala itu sedang goyah akibat tuntutan reformasi dan modernisasi di akar rumput yang dipimpin Sun Yat-Sen, plus upaya penggulingan yang diprakarsai Jenderal Yuan Shikai. Akibat rencana Yuan Shikai bocor, istana amat memusuhinya, meski tak bisa berbuat banyak karena tentara di bawah komando Yuan. Penunjukan Puyi adalah simbol bahwa dinasti mesti hidup lebih lama lagi meski sedang ditekan sana-sini.
Puyi tetap diurus oleh ayahnya, Zaifeng (atau Pangeran Chun) dan terutama oleh pengasuhnya Wang Wen-Chao. Ia diboyong ke Kota Terlarang dan menjalani masa kecil yang absurd. Di atas kertas, ia adalah penguasa Cina daratan, tapi sehari-hari ia tak ubahnya balita pada umumnya. Segala ritual formal ia jalani jika suasana hati sedang baik. Karena terlalu dimanja, pada usia 5-6 tahun ia tumbuh menjadi anak yang sewenang-wenang terhadap bawahannya.
Pada akhir tahun 1911 tuntutan reformasi kian tak terbendung. Yuan Shikai plus Revolusi Xinhai yang digerakkan kaum nasionalis Cina kemudian sukses menggulingkan kekuasaan Puyi. Tanggal 12 Februari 1912 Dekrit Kekaisaran tentang Penurunan Tahta Kaisar Qing dirilis. Puyi, selain menjadi kaisar Cina termuda kedua setelah Kaisar Shang dari Dinasti Han (menjabat di usia 100 hari), juga resmi menjadi salah satu kaisar dengan masa kepemimpinan terpendek.
Baca juga: Keajaiban Mosuo, "Kerajaan Perempuan" Terakhir di Cina
Puyi dan pembesar kerajaan kemudian dipersilakan untuk mendiami bagian utara Kota Terlarang dan Istana Musim Panas. Subsidi tahunan sebanyak empat juta tael perak pun digelontorkan oleh Republik Cina untuk urusan rumah tangga kekaisaran—walaupun sebenarnya tak pernah dibayar penuh dan langsung dihapus beberapa tahun setelahnya.
Puyi kecil tak tahu apa-apa. Ia masih menganggap dirinya sebagai seorang raja saat menempati kediaman baru. Setelah memasuki masa remaja, Puyi baru diberi tahu tentang jabatan singkatnya sebagai raja, pertentangan internal istana, serta pengkhianatan Yuan Shikai yang memunculkan dendam abadi di dada Puyi.
Puyi lahir dan hidup di masa yang serba penting. Ia jadi saksi utama peristiwa-peristiwa besar terkait politik Cina di sekitarnya. Ia terlibat dalam pergolakan Jepang melawan Cina, terutama di wilayah Cina daratan bagian Utara, di mana sebagian wilayahnya dikuasai Jepang.
Pada Februari 1925 ia pindah ke Tianjin yang waktu itu merupakan wilayah konsesi Jepang. Hasrat mendirikan lagi kebesaran Dinasti Qing masih bergelora di hatinya, demikian papar Edward Samuel Behr yang menulis kehidupan Puyi secara rinci dalam biografi The Last Emperor(1987). Puyi kemudian mendekati Jepang dan meminta diangkat sebagai penguasa Manchukuo (Manchuria). Langkah ini ditantang oleh Republik Cina, namun Jepang lebih punya kuasa atas Puyi. Pada 1 Maret 1932, ia pun diangkat sebagai penguasa Manchukuo.
Baca juga: Seabad Malaka Berjaya, Kemudian Musnah
Puyi gembira sebab hasratnya terpenuhi. Namun ayahnya Zaifeng justru menertawainya sebab menilai Puyi sedang dibohongi Jepang. Puyi, dengan kata lain, hanyalah boneka kolonial Jepang. Jepang, kata Zaifeng, tak mungkin menyerahkan wilayahnya begitu saja untuk Puyi. Teori ini kemudian menemui kebenarannya pada awal 1940-an ketika Jepangisasi di Manchuria kian menjadi-jadi. Puyi sempat protes, tapi tak bisa apa-apa. Apalagi Jepang memberikan janji-janji manis terkait masa depan monarki Qing—janji yang akhirnya terbukti palsu belaka.
Puyi tergolong kurang kompeten menjalankan pemerintahan Manchuria. Ia tetap melakoni kehidupan mewah ala raja, sementara banyak rakyat Manchuria jauh dari kata sejahtera. Situasinya kian pelik karena Puyi tak sanggup menjinakkan geng-geng Manchuria dari Cina, Jepang, Korea, maupun Rusia yang saling berseteru satu sama lain serta memicu kesengsaraan lebih dalam bagi rakyat Manchuria.
Jelang pertengahan Agustus 1945, Jepang yang kian tak berdaya menghadapi sekutu juga akhirnya menyerah di tangan Uni Soviet. Manchuria jatuh ke tangan Moscow, sementara Puyi ditetapkan sebagai tahanan. Saat Partai Komunis Cina di bawah kepemimpinan Mao Zedong sukses mengalahkan kaum nasionalis dan berkuasa di Cina daratan pada 1949, termasuk Manchuria, muncul wacana untuk memulangkan Puyi.
Puyi ketakutan sebab membayangkan dirinya akan dieksekusi oleh Mao jika diekstradisi. Ia sempat memohon kepada Stalin agar dirinya diberi suaka. Namun negosiasi antara kedua negara selanjutnya condong ke keinginan Republik Rakyat Cina (RRC). Di tahun yang sama ia diantar pasukan Soviet ke perbatasan dan bertemu dengan tentara RRC yang kemudian mengawalnya pulang kampung.
Baca juga: Diplomasi Fauna dan Bujuk Rayu Cina
Tak disangka-sangka, Mao justru memperlakukan Puyi dengan normal sebagaimana tahanan politik lain. Puyi menghabiskan 10 tahun selanjutnya di Pusat Manajemen Penjahat Perang Fushun di Provinsi Liaoning. Di tempat tersebut Puyi dibentuk menjadi seorang komunis sejati dan dipaksa untuk menanggalkan seluruh titel maupun mental feodal khas penghuni istana. Setelah pendidikannya rampung pada 1959, ia mendapat izin Mao untuk tinggal di Beijing dan menetap selama enam bulan berikutnya bersama seorang adik perempuan.
Untuk membuktikan komitmennya pada Partai Komunis Cina, ia ditugaskan untuk bekerja di Kebun Botani Beijing. Hingga akhir hayatnya pada 1964, ia bekerja sebagai seorang editor untuk departemen literasi Konferensi Konsultatif Politik Rakyat China (Chinese People's Political Consultative Conference/CPPCC) dengan gaji bulanan sekitar 100 yuan. Li Shuxia, seorang perempuan yang menemani masa penghabisan Puyi, adalah seorang perawat rumah sakit yang dinikahinya pada 1962.
Pada 1995, sebagai bagian dari kebijakan baru negara, Li Shuxia memindahkan abu tubuh Puyi ke Makam Qing Barat yang terletak kurang lebih 120 km barat daya Beijing. Di tempat tersebut juga bersemayam 4 dari 9 kaisar Dinasti Qing bersama 3 permaisuri, 69 pangeran, para puteri dan deretan selir kekaisaran.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf