tirto.id - Seorang pemuda—biasanya di atas 13 tahun—diam-diam masuk sebuah rumah tradisional terbuat dari kayu-kayu tua. Hampir semua penghuni rumah itu sedang tidur karena jam sudah menunjukkan waktu istirahat. Ia menjaga langkahnya agar tak berisik, pria itu mengendap-endap menuju kamar seorang perempuan. Di malam lain, di rumah lain, ia mungkin tak akan berjalan melewati lorong seperti yang dilakukannya malam itu—bisa saja ia memanjat tangga kemudian mengetuk jendela kamar sang perempuan, tergantung struktur rumah yang dimasukinya.
Sampai di kamar, sang pemuda justru disambut girang si gadis. Dipandu gejolak syahwat, mereka bersenggama. Esok paginya, sebelum matahari terbit dan seisi rumah itu bangun, sang pemuda sudah pergi.
Tabiat tersebut tak cuma dilakukan malam itu saja. Hampir tiap malam, ia pindah-pindah rumah, gonta-ganti pasangan. Sang perempuan yang malam itu tidur dengannya juga sudah tak terhitung menyambut berapa banyak pria di kamarnya. Kadang ibu atau neneknya mendengar derap langkah di malam buta, dan tahu kalau anak perempuan mereka menyambut pria di kamarnya, tapi membiarkannya. Bagi mereka, urusan itu adalah privasi yang tak perlu dicampuri.
Di desa mereka, seks bebas itu disebut “axia” alias “walking marriage” alias “perkawinan berjalan”.
Di sana, warganya memang tidak mengenal pernikahan seperti yang dikenal dunia arus utama: tak ada ijab kabul atau janji setia sebelum sumpah “I do”. Pria dan wanita tak mesti menikah jika ingin melakukan seks atau beranak. Pernikahan dinilai terlalu mengikat dan pelik. Semua itu adalah buah dari budaya matriarkat—sistem sosial dengan ibu sebagai kepala dan penguasa seluruh keluarga—yang mereka anut. Dalam suku mereka, perempuan diperlakukan superior. Sehingga akhirnya, tak ada stigma buruk yang melekat pada para perempuan dalam sistem perkawinan berjalan.
Suku itu bernama Mosuo.
Mereka tinggal di provinsi Yunan dan Sichuan, Cina. Tepatnya di pinggiran Danau Lugu, di kawasan Yongning, Yanyuan. Dekat tepi Gunung Himalaya dan berbatasan langsung dengan Tibet. Desa itu juga dikenal sebagai “Kerajaan Wanita” atau “Tempat Matriarkat Terakhir di Cina”.
Di tengah dunia yang dikepung sistem patriarkat—sistem sosial dengan ayah sebagai kepala dan penguasa seluruh keluarga—Mosuo jadi menarik untuk disorot. Broadly bahkan menyebut Mosuo sebagai tempat terakhir matriarkat terakhir di dunia. Banyak penelitian memang mengungkapkan bahwa matriarkat adalah barang langka di dunia.
Sejumlah antropolog bahkan yakin kalau tak ada masyarakat yang tercatat sejarah mengadopsi sistem matriarkat. Salah satunya Chyntia Eller dalam buku Mitos Matriarkat Prasejarah(2000). J.M. Adovasio, Olga Soffer, dan Jake Page juga punya opini serupa dalam buku Jenis Kelamin Tak Kelihatan: Mengungkap Peran Nyata Perempuan dalam Prasejarah.
Peggy Reeves Sanday dari Universitas Cornell juga sepaham, dan menceritakan kalau matriarkat yang dimaksud sering disalahidentifikasikan dengan matrilineal—kata sifat yang menggambarkan hubungan keturunan melalui garis kerabat wanita. Dalam bukunya Women at the Center, Sanday mencontohkan Minangkabau sebagai salah satu suku di dunia yang masih memelihara matrilineal dalam sistem sosialnya, tapi sama sekali tidak memelihara sistem matriarkat. Alasannya, suku yang mayoritas hidup di Sumatera Barat, ini juga identik dengan Islam yang memakai sistem patriarkat.
Seorang mantan pengacara sukses di Singapura keturunan Cina, Choo Waihong, memutuskan mengunjungi Mosuo karena keunikannya tersebut. “Aku tumbuh di dunia tempat para pria adalah bosnya,” kata Waihong pada The Guardian.
“Aku dan ayahku sering bertengkar—dia adalah tipikal pria klasik dalam masyarakat patriarkat keturunan Cina di Singapura. Dan aku benar-benar tak pernah terikat di (dunia) kerja; aturan-aturannya (selalu) diarahkan untuk kepentingan pria, dan secara intuitif mereka (para pria) akan mengerti, sementara aku tidak. Aku selalu feminis seumur hidupku, dan Mosuo adalah tempat perempuan jadi pusat masyarakat mereka. Itu adalah hal menginspirasi,” ungkapnya.
Waihong kini bahkan punya rumah di Mosuo. Ia akan bolak-balik Singapura-Cina tiga sampai empat kali dalam setahun, untuk tinggal beberapa bulan di sana. Kepada The Guardian, ia juga bercerita tentang Ladzu, 22, putri baptisnya yang keturunan asli Mosuo. Oleh Ladzu, Waihong diajari bahasa Mosuo dan segala hal tentang budaya mereka.
Ia jadi paham banyak hal. Misalnya, tentang pembagian peran perempuan dan pria dalam kehidupan sehari-hari suku Mosuo. Perempuan berperan sebagai pemimpin rumah tangga, bekerja domestik (seperti membersihkan rumah dan menyiapkan makanan) dan non-domestik (seperti mencari nafkah: berkebun, beternak, atau berdagang).
Ah mi, atau perempuan paling tua di rumah, adalah kepala keluarga. Biasanya peran ini diisi oleh nenek yang berkuasa atas rumah dan segala keputusan di rumah. Ia mengatur keuangan seluruh anggota. Ah mi juga akan memilih pewarisnya untuk mengurusi harta serta rumahnya.
Sementara pria cenderung tidak punya peran apa-apa, selain memancing, mengasuh anak kecil, dan menyiapkan upacara kematian, atau berperang dahulu kala ketika dibutuhkan. Laki-laki tidak punya pekerjaan, dan cenderung hanya hidup untuk rutinitas malam hari alias bercinta.
Sebab di Mosuo tak mengenal adat pernikahan, adalah hal wajar seorang anak tidak tahu ayahnya. Anak ditanggungjawabi ibu, dibesarkan nenek di rumah, dibantu saudara laki-laki sang ibu jika ada. Tak seperti di tempat lain, di Mosuo tak ada stigma tentang hal itu.
“Bagi perempuan Mosuo, axia seringkali dianggap sebagai nikmat kesesatan dari pekerjaan membosankan di kehidupan sehari-hari mereka, sebagaimana para pria itu hadir sebagai tenaga donor sperma belaka,” kata Waihong.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Aulia Adam