tirto.id - Panda Hu Chun berputar-putar di dalam kandangnya. Dia bergerak dengan tenang, santai, menggemaskan. Sesekali panda itu duduk. Kemudian dia diam dan menggenggam remah-remah bambu. Tak peduli mata manusia memandang, Hu Chun asik menyantap sajiannya itu.
Kamis (28/9/2017), Hu Chun bersama seekor panda lainnya Cai Tao, tiba di Bandara Sukarno-Hatta, Tangerang. Keduanya dikirim langsung oleh pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC) untuk memeringati 60 tahun hubungan bilateral antara negeri tirai bambu itu dengan Indonesia. Selama satu bulan ke depan Hu Chun dan Cai Tao akan menjalani proses karantina di Rumah Panda yang dikelola Taman Safari Indonesia 1 Bogor. Keduanya pun bakal menikmati udara Bogor setidaknya untuk 10 tahun ke depan.
Saling mengirim hewan jamak dilakukan. Fenomena ini disebut dengan istilah "diplomasi hewan", yakni penggunaan fauna lokal yang masih hidup untuk tujuan diplomasi. Biasanya masing-masing negara akan mengirimkan hewan yang dinilai sebagai ikon negaranya kepada negara yang dianggap cocok sebagai mitra guna mencapai tujuan strategis tertentu.
Baca juga: Peneliti Ungkap Arti di Balik Warna Hitam-Putih Panda
Peneliti asal Queensland University of Technology Falk Hartig mengisahkan contoh fenomena tersebut pada kasus pengiriman jerapah oleh penguasa Mesir Pasha Muhammad-Ali kepada Raja Perancis Charles X pada 1826. Kala itu Mesir sedang terlibat perang dengan Yunani yang dibekingi Perancis, Inggris, dan Rusia.
Mengingat situasi itu, pengiriman jerapah bersifat politis: sang Pasha sedang membujuk Perancis agar tidak lagi mendukung Yunani. “Meskipun rencana tersebut tidak berhasil. Namun hewan berkaki empat itu memiliki dampak yang sangat besar pada publik Perancis,” ujar Hartig.
Selama perjalanan dari Marseille ke Paris, si jerapah mampir sejenak di kota Lyon. Sekitar 30.000 orang berkunjung untuk melihat jerapah yang dikandangkan di alun-alun utama kota. Sesampainya di Paris, selama enam bulan 600.000 pengunjung datang untuk menyaksikan hadiah sang Pasha. Tidak hanya itu, ia juga menjadi inspirasi untuk berbagai lagu, puisi, komposisi musik, sampai satire politik.
“Anak-anak membeli biskuit jahe berbentuk jerapah, pria memakai dasi dengan desain jerapah dan wanita mengenakan rambut ala girafe. Bintik-bintik yang khas dan bentuknya yang berleher panjang tampak pada tekstil dan pelapis dinding, peralatan makan dan pernak-pernik, sabun dan perabotan,” sebut Hartig.
Panda, dari Hadiah ke Bisnis
Setali tiga uang, panda juga berperan membentuk jejaring diplomasi RRC. Dalam "Panda Diplomacy: The Cutest Part of China’s Public Diplomacy", Hartig menjelaskan tradisi pemberian panda dapat dilacak hingga era kekaisaran di Cina. Ketika Dinasti Tang berkuasa, Permaisuri Wu Zetian mengirim 70 bulu binatang dan sepasang panda raksasa ke Kaisar Jepang.
Kemudian di era modern, tradisi ini dihidupkan lagi sejak 1940-an. Pada 1941 Chiang Kai-shek mempersembahkan sepasang panda kepada Amerika Serikat sebagai bentuk terima kasih. Menurut Hartig era ini digolongkan sebagai tahap pertama diplomasi panda, yang diberikan sebagai hadiah.
Tradisi itu pun berlanjut saat komunis berkuasa di Cina. RRC mengirim panda ke negara-negara komunis lain guna memperkuat hubungan persekutuan ideologi. Baru setelah RRC menggantikan Taiwan (yang secara resmi bernama Republik Cina dan berhaluan nasionalis) sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB, panda juga dikirim ke negara-negara non-komunis sebagai bagian dari kunjungan kenegaraan.
Yang paling terkenal adalah dua panda bernama Ling Ling and Hsing Hsing. Keduanya diberikan oleh Mao Zedong kepada Presiden AS Richard Nixon pada pada 1972.
Pola pemberian panda sebagai hadiah berubah selama era 1980-an. Pada masa yang digolongkan Hartig sebagai tahap kedua diplomasi panda tersebut, pengiriman hewan berwarna hitam dan putih itu lebih bersifat komersial. Jika sebelumnya panda diberikan secara gratis untuk selamanya, kali ini panda hanya dipinjamkan saja selama kurang lebih 100 sampai 200 hari.
Selama masa itu panda biasanya menjalani tur dari kota ke kota untuk dipertontonkan. Bisnis ini pun menjadi sangat besar dengan turut bermainnya kebun binantang di luar RRC yang menyewakan panda koleksinya untuk kebun binatang di negeri lain. Tak pelak kebijakan tersebut pun kerap diprotes oleh aktivis lingkungan dan perlindungan satwa.
Pada 1996 Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) menegaskan peminjaman panda hanya boleh dilakukan dengan syarat pemerintah RRC dan negara tujuan berjanji transaksi kedua negara akan menimbulkan keuntungan bagi spesies langka itu.
Pola tersebut mulai berubah drastis sejak gempa melanda wilayah RRC pada 2008. Gempa tersebut menyebabkan banyak tempat perlindungan panda rusak dan tidak siap menampung sejumlah panda yang habis masa peminjamannya. Era ini menandai tahap ketiga diplomasi panda.
Soft Power Panda
Perawatan panda juga dibayang-bayangi ongkos yang tidak sedikit. Berdasarkan data yang berhasil dihimpun Hartig, kebun binatang di Toronto dan Calgary, Kanada diperkirakan membayar 200 ribu dolar AS per tahun untuk bambu yang dimakan panda. Sedangkan Kebun Binatang Edinburgh di Skotlandia menghabiskan 405.000 dolar AS untuk pembangunan kandang dan 113.000 dolar AS untuk makanan panda per tahun yang mesti diimpor dari Belanda.
Sekalipun panda menarik banyak pengunjung, alih-alih menguntungkan, hewan itu malah membuat Kebun Binatang Adelaide di Australia menanggung utang. Kebun binatang Adelaide menghabiskan 8 juta dolar AS hanya untuk membangun kandang panda. Guna memenuhi kebutuhan itu dan membiayai perawatan selanjutnya, pihak kebun binatang meminjam uang kepada pemerintah negara bagian Southern Australia sebesar 57 juta dolar Australia. Namun pihak kebun binatang hanya mampu mengembalikan 17 juta dolar Australia alias masih utang 24 juta dolar Australia.
Selain itu, peneliti dari Lunds University Stina Hinderson juga melihat panda sebagai simbol RRC menunjukkan soft power alias kuasa lembutnya. Istilah soft power merujuk pada cara-cara suatu negara mencoba memengaruhi kebijakan negara lain melalui bujukan ekonomi maupun pertukaran ikon kebudayaan, termasuk flora dan fauna lokal, alih-alih menggunakan hard power paksaan seperti pengerahan pasukan militer dan embargo ekonomi.
Salah satu kisah yang dapat menggambarkan hal ini adalah relasi RRC dengan Kanada. Pada 1973, dalam lawatannya ke RRC, Perdana Menteri Kanada Pierre Trudeau berharap negeri tirai bambu itu memberikan panda kepada Kanada - sebagaimana AS pada 1972. Upaya memenuhi harapan itu juga tidak main-main, Pierre Trudeau bahkan mengirim empat berang-berang Kanada ke RRC.
Hasilnya? Trudeau gagal. Tidak ada panda untuk Kanada.
Baca juga: Indonesia Merapat ke Cina
Relasi Cina-Kanada pun sempat mendingin. Pada 2006 Stephen Harper menjadi perdana menteri Kanada. Dia menganugerahi Dalai Lama—pemimpin religius Tibet yang tidak disukai oleh RRC—sebagai warga negara kehormatan Kanada, mengkritik rekam jejak pelanggaran HAM di RRC, serta menunda pertemuan antara kedua menteri luar negeri. Harper juga memboikot upacara pembukaan dan penutupan Olimpiade Beijing 2008.
Pada 2012 Harper menandatangani kontrak lebih dari 20 perjanjian perdagangan senilai 3 miliar dolar AS dan deklarasi peningkatan perlindungan investasi asing. Sepulangnya dari sana Harper mengumumkan bahwa panda akan dikirim ke Kanada.
Dari Anjing Sampai Koala
Selain RRC, sejumlah negara lain juga melakukan diplomasi hewan. Pada 1953 pemimpin Vietnam Ho Chi Minh memberikan dua gajah asia kepada Mao Zedong sebagai simbol persahabatan kedua negara komunis tersebut.
Sementara itu, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe memberikan seekor anjing Akita kepada Presiden Rusia Vladimir Putin pada 2012. Putin memang dikenal menyukai anjing. Dua tahun sebelumnya, pada 2010, Perdana Menteri Bulgaria Boyko Borissov menghadiahi anak anjing tipe Bulgarian kepada Putin. Putin juga memberikan anjing black terrier (dikenal sebagai "anjing Stalin" di Rusia) kepada Presiden Venezuela Hugo Chavez pada 2012.
Baca juga: Ritual Gadhimai, Membantai Hewan Atas Nama Agama
Australia juga dikenal dengan diplomasi koala. Ia meminjamkan empat koala kepada pemerintah Singapura selama 6 bulan pada 2015 lalu. Hal tersebut menandai 50 tahun hubungan diplomatik antarkedua negara.
Indonesia juga tidak ketinggalan. Presiden Soeharto mengirim empat ekor komodo kepada Perdana Menteri Singapura pada 1986. Presiden Amerika Serikat George H.W. Bush juga menerima hadiah komodo dari Soeharto pada 1990.
"Kami, masyarakat Singapura, melihat hadiah spesial ini sebagai sebuah ungkapan persahabatan karib yang ada antara kedua pemimpin negara. Kami juga memandangnya sebagai simbol lain kedekatan dan hubungan hangat antara kedua negara," ujar Yeo Cheow Tong yang pada 1986 menjabat Menteri Luar negeri dan Kesehatan Singapura saat menyambut kedatangan komodo di Singapore Zoological Gardens.
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Windu Jusuf