Menuju konten utama

Indonesia Merapat ke Cina

Konflik Laut Cina Selatan sempat membuat hubungan Indonesia – Cina memanas. Itu dari sisi hukum dan politik. Namun, jika ditelusuri dari sisi ekonomi, hubungan Indonesia sungguh mesra, terutama di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Proyek-proyek investasi Cina melesat hingga 100 persen dalam dua tahun kepemimpinan Jokowi.

Indonesia Merapat ke Cina
Seorang pria menggantung bendera nasional cina di beijing pada 29 september 20150. [antara foto/reuters/china daily]

tirto.id - Cina kini merupakan salah satu kekuatan ekonomi dunia. Negara-negara di dunia merapat ke Cina, untuk menjalin hubungan ekonomi yang lebih erat. Indonesia termasuk salah satunya. Hubungan yang erat dengan Cina ini semakin terjalin di era pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla. Hal itu setidaknya bisa dilihat dari proyek-proyek yang didanai Cina, ataupun hubungan kerja sama lainnya. Kedua negara juga terlihat aktif membangun lobi dan menjalin berbagai peluang kerja sama.

Misalnya kunjungan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani ke tiga kota utama di China, yakni Qingdao, Hangzhou dan Shanghai pada awal Juli. Tujuannnya, tentu saja melobi sebanyak-banyaknya investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

"Investor Tiongkok memiliki minat dan rencana yang semakin tinggi untuk berinvestasi ke luar Cina. Hal ini merupakan salah satu dampak positif dari kebijakan One Belt One Road yang diinisiasi oleh Presiden Xi Jinping. Di mana Indonesia menjadi salah satu negara yang dilewati," kata Franky.

Beberapa bidang industri yang ditawarkan Franky kepada investor di antaranya tekstil, otomotif, industri sepatu, obat-obatan, suku cadang pesawat dan industri kreatif.

Kalau pun ada kabar baik, menurut Franky, tak lain adanya benang merah antara kebijakan One Belt One Road atau “Jalur Sutra Maritim” dengan program “Tol Laut” yang digagas Presiden Jokowi. Keduanya sama-sama bertujuan memperkuat konektivitas dan mengintegrasikan perekonomian.

Adanya benang merah seperti disebut Franky, tampaknya menjadi penegas semakin eratnya hubungan bisnis Jakarta-Beijing. Simak bagaimana proyek investasi asal Cina di Indonesia yang melonjak hingga 100 persen dalam dua tahun kepemimpinan Jokowi. Jika di tahun 2014 jumlahnya 502 proyek senilai $800,03 juta atau sekitar Rp10,4 triliun, setahun kemudian melesat menjadi 1.052 proyek bernilai $628,34 juta atau Rp8,2 triliun.

Angka itu tampaknya bakal terus meningkat. Apalagi jika proyek kereta cepat Jakarta-Bandung senilai $5,5 miliar atau sekitar Rp71,5 triliun terealisasi pada tahun 2019.

Proyek lain yang dilahirkan dari hasil kerja sama dengan Cina adalah proyek pabrik Semen Maruni atau PT SDIC Papua Cement Indonesia di Papua. Untuk proyek ini, emerintah menggandeng Conch, pabrik semen raksasa asal Cina untuk proyek yang ditargetkan tuntas pada Agustus mendatang.

Proyek yang telah dibangun sejak awal tahun 2015 ini digadang-gadang akan jadi andalan Presiden Jokowi dalam menggenjot pembangunan infrastruktur Indonesia bagian timur adalah Proyek senilai $500 juta atau Rp6,5 triliun di Manokwari selatan itu merupakan kawasan industri semen terintegrasi. Mulai dari pembuatan semen, pengemasan, pelabuhan untuk sarana transportasi, hingga pembangkit listrik.

Pabik Semen Maruni bakal memiliki kapasitas produksi tiga juta ton. Sementara kebutuhan semen untuk pembangunan di Papua dan Papua barat hanya sekitar 700 ribu hingga 800 ribu ton. Kelebihan produksi bisa digunakan untuk memasok Maluku dan NTT, bahkan ekspor ke Papua Nugini.

Menebar Investasi

Cina kini memang sedang gemar memberikan utangan kepada negara lain. Termasuk dengan mendirikan Bank Infrastruktur Asia atau Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB). Untuk ambisinya mewujudkan AIIB, Cina rela mengeluarkan modal awal hingga 50 miliar dolar AS atau sekitar Rp650 triliun. Jumlah itu setara dengan setengah dari cadangan devisa Indonesia. Di AIIB, Indonesia sendiri ikut berpartisipasi, dengan setoran modal awal Rp3,73 triliun.

Sebagai catatan, AIIB pertama kali diusulkan oleh Presiden Xi Jinping dalam Pertemuan Tingkat Pemimpin Asia Pacific Economic Cooperation (APEC), di Bali, pada Oktober 2013. AIIB yang disokong 17 negara dinilai sebagai keberhasilan Cina dalam menjalankan kebijakan luar negerinya. Cina mengusulkan pembentukan AIIB karena merasa “gatal” ingin memprakarsai pendanaan proyek-proyek infrastruktur. Pembiayaan ini sebelumnya tidak tertangani oleh ADB.

ADB memang dibentuk untuk mengurangi kemiskinan di Asia dan Pasifik melalui pertumbuhan inklusif ekonomi, pertumbuhan lingkungan yang berkelanjutan, dan integrasi regional. AIIB bakal fokus pada pembiayaan proyek-proyek energi seperti listrik, transportasi, dan infrastruktur perkotaan di Asia.

Prakarsa Cina sukses. Sebanyak 57 negara mau bergabung di AIIB. Dukungan itu digalang hanya dalam waktu kurang dari 2 tahun. Indonesia termasuk salah satu yang memberikan dukungannya.

Realisasi Minim

Cina sedang gencar menebar investasi. Di saat yang sama, Indonesia sedang haus investasi, untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur andalan Presiden Joko Widodo. Namun, Indonesia harus waspada, mengingat rekam jejak Cina yang gemar memberikan janji investasi, tetapi minim realisasi.

Hal itu setidaknya bisa dilihat dari data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Pada periode 2010 – 2014, realisasi nilai investasi Cina ke Indonesia hanya mencapai 1,5 miliar dolar dari komitmen sebesar 11 miliar dolar. Ini artinya, realisasi investasi hanya berkisar 13 persen dari komitmennya.

Untuk tahun 2015, BKPM mencatat pengajuan izin prinsip dari Tiongkok yang masuk mencapai angka Rp277 triliun. Jumlah tersebut merupakan yang terbesar di atas Singapura sebesar Rp203 triliun dan Jepang sebesar Rp100 triliun.

Cina merupakan salah satu negara prioritas BKPM pada 2015 bersama Singapura, Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat, Australia, Taiwan, Timur Tengah, Malaysia, dan Inggris.

Berbagai analisa terkait kedekatan Presiden Jokowi dengan pemerintah Cina bermunculan. Ada yang mengingatkan agar Presiden Jokowi mencermati data yang di BKPM, di mana realisasi investasi dari Cina selama ini masih sangat kecil. Jauh jika misalnya dibandingkan dengan Jepang.

“Jika dipersentasekan, dari 10 rencana investasi China di Indonesia hanya 2 yang terealisasi. Jepang berbeda, dari 10 bisa 6 yang terealisasi dan sektornya pun lebih banyak ke sektor manufakturing yang punya nilai tambah,” kata Enny Sri Hartati, peneliti ekonomi dari Indef, kepada tirto.id.

Peningkatan Utang dari Cina

Sementara dari sisi utang Indonesia ke Cina, angkanya menunjukkan tren peningkatan. Bank Indonesia (BI) mencatat, posisi utang luar negeri pemerintah Indonesia terhadap Cina pada tahun 2004 masih sangat minim, hanya $27 juta atau sekitar Rp351 miliar. Angka itu meningkat tajam dalam kurun waktu sepuluh tahun menjadi $10,8 miliar atau Rp140,4 triliun.

Pada masa pemerintahan Presiden Jokowi memerintah, terjadi lonjakan utang yang luar biasa pasca kunjungan-kunjungan ke Cina. Utang luar negeri Indonesia dari Cina di 2015 menembus $121 miliar atau Rp1.573 triliun. Kenaikannya yang mencapai lebih dari 1.000 persen. Sebagai catatan, utang luar negeri ini terdiri dari utang pemerintah, utang swasta, dan Bank Indonesia (BI).

Memang, utang dari Cina masih lebih rendah dibanding utang dari AS yang total tercatat mencapai $124,6 miliar atau Rp1.619,8 triliun pada tahun 2015. Sementara total utang kepada AS pada tahun 2004 tercatat sudah mencapai $3,504 miliar atau Rp455,5 triliun. Jelaslah bahwa kenaikan utang terhadap Cina jauh lebih tinggi.

Hermawan Kertajaya, pakar marketing mengatakan, kebijakan lebih mendekat ke Cina, dikarenakan Presiden Jokowi sedang menyeimbangkan keberadaan investor-investor di negeri ini. “Jadi kalau umpamanya sekarang investor China banyak yang masuk, sepertinya untuk mengimbangi investor-investor yang ada selama ini. Banyaknya investor masuk merupakan sesuatu yang wajar sepanjang memenuhi aturan hukum,” katanya.

Sementara dari sisi pemerintah China, menurut Hermawan, lebih disebabkan prasarana infrastruktur di negeri Tirai Bambu yang sudah lengkap. Sehingga wajar apabila para investor China mulai melirik untuk menanamkan investasi di bidang pembangunan infrastruktur di luar negeri. Jadi ketika ternyata kemudian Presiden Jokowi sedang menggenjot pembangunan infrastruktur, maka bertemulah dua kepentingan tadi.

Baca juga artikel terkait CINA atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Indepth
Reporter: Kukuh Bhimo Nugroho
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti