Menuju konten utama

Akankah Indonesia Ketiban Untung Perang Dagang AS-Cina?

Bank Indonesia akan terus mewaspadai kebijakan tarif perdagangan tinggi yang dirilis Donald Trump.

Akankah Indonesia Ketiban Untung Perang Dagang AS-Cina?
Ilustrasi perang dagang antara US dengan China. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Amerika Serikat (AS) mulai menabuh genderang perang dagang melalui pengenaan tarif perdagangan sebesar 10 persen terhadap barang-barang asal Cina pada Selasa (4/2/2025). Sebagai balasan, per Senin (10/2/2025), Beijing mengenakan bea masuk 10 persen terhadap sejumlah barang AS dan 15 persen terhadap batu bara serta gas alam cair (LNG) dari negara yang kini dipimpin Donald Trump itu.

Kemudian, pada hari itu pula Trump mengumumkan penaikan tarif impor baja dan aluminium menjadi 25 persen dari tarif sebelumnya yang sebesar 10 persen. Tarif ini akan berlaku efektif pada 4 Maret 2025.

Meski berlaku secara luas, tarif bea masuk impor (BMI) ini bakal memukul keras Kanada dan Meksiko yang merupakan importir terbesar produk baja dan aluminium ke AS. Pun, melalui kebijakan ini Trump praktis membatalkan pengecualian dan kuota bebas bea masuk untuk pemasok utama kedua komoditas ini.

“Ini masalah besar. Ini adalah awal dari upaya menjadikan Amerika kaya kembali,” kata Trump, dikutip VOA, Jumat (14/2/2025).

Berdasar laman resmi Gedung Putih, whitehouse.gov, volume impor barang-barang baja dari Kanada dan Meksiko meningkat signifikan dari 7,77 juta metrik ton pada 2020 menjadi 9,14 juta metrik ton di sepanjang 2024.

Kendati masih menunda penerapan tarif sebesar 25 persen terhadap barang-barang asal Kanada dan Meksiko, namun kedua negara itu kompak melancarkan protes kepada Gedung Putih. Pasalnya, BMI terhadap produk baja dan aluminium mmebuat perang dagang akan semakin meluas.

“Tarif itu tidak dapat dibenarkan. Tarif itu tidak adil menurut argument Presiden Trump sendiri. Karena, saya ulangi, kita memiliki lebih banyak impor (baja) daripada ekspor,” kata Menteri Ekonomi Meksiko, Marcelo Ebrard, dalam konferensi pers, dikutip Reuters Jumat (14/2/2025).

Pada gilirannya, Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, mentang keras kebijakan tarif tinggi Trump terhadap impor baja dan aluminium. Bahkan, Uni Eropa akan bertindak untuk melindungi kepentingan ekonomi dari pajak yang buruk bagi bisnis dan juga konsumen tersebut.

“Tarif yang tidak dapat dibenarkan terhadap Uni Eropa tidak akan dibiarkan begitu saja — tarif tersebut akan memicu tindakan balasan yang tegas dan proporsional,” kata dia, dalam sebuah pernyataan, dinukil VOA, Jumat (14/2/2025).

Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM) BI, Juli Budi Winantya, menjelaskan, Bank Indonesia akan terus mewaspadai kebijakan tarif perdagangan tinggi yang dirilis Trump. Pasalnya, sebagai salah satu mitra dagang utama Indonesia, kebijakan itu akan berdampak pada nilai tukar rupiah, inflasi, hingga pertumbuhan ekonomi nasional ke depan.

“Kebijakan Trump tentu akan kita lihat seperti apa dampaknya ke nilai tukar rupiah, inflasi, dan bagaimana keperluan untuk dorong pertumbuhan ekonomi ke depan. Tentunya, dari waktu ke waktu, dalam Rapat Dewan Gubernur akan terus kita lihat dinamikanya seperti apa,” jelas dia, dalam Pelatihan Wartawan, di Kantor Perwakilan Wilayah BI Banda Aceh, Jumat (7/2/2025).

Nilai ekspor Jawa Timur turun 3,36 persen

Pekerja mengawasi proses bongkar muat peti kemas di PT Terminal Peti Kemas (TPS), Surabaya, Jawa Timur, Selasa (8/10/2024). Badan Pusat Statistik setempat mencatat nilai ekspor Jawa Timur pada Agustus 2024 mencapai USD 2,33 miliar atau turun 3,36 persen dibanding ekspor Juli 2024 sebesar USD 2,41 miliar. ANTARA FOTO/Rizal Hanafi/Spt.

Di AS, tarif perdagangan tinggi bakal membuat harga barang dan jasa di negara itu mengalami penaikan. Hal ini lah yang kemudian mendongkrak tingkat inflasi AS dari sisi permintaan (demand).

“Yang kedua dari sisi tax (pajak), jadi ada insentif lagi buat ekonomi Amerika Serikat terutama dari sisi korporasi yang ini juga akan meningkatkan demand,” kata Juli.

Tingkat inflasi tinggi AS ini lah yang kemudian memunculkan ketidakpastian pada perekonomian global. Sebab, seiring dengan inflasi tinggi, Bank Sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) berpotensi lebih lambat dalam menjalankan kebijakan penurunan suku bunga acuan (Fed Fund Rate/FFR) yang kemudian direspons oleh bank-bank sentral di seluruh dunia dengan tren suku bunga acuan tinggi.

Di sisi lain, Dosen Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan, Edwin Martua Bangun Tambunan, menilai tarif perdagangan tinggi yang diterapkan khususnya kepada Cina, Kanada dan Meksiko akan berdampak terhadap pemenuhan kebutuhan domestik AS akan komoditi yang diimpor dari ketiga negara tersebut. Apalagi, ketiganya merupakan mitra dagang utama AS dalam hal suplai makanan, obat-obatan, minyak, kayu, mobil, hingga barang-barang elektronik.

Dengan kini AS tengah sibuk membangun industri dalam negeri, Gedung Putih dipastikan akan mencari pemasok berbagai kebutuhan tersebut dari negara lain. Hal ini lah yang kemudian membuka peluang perdagangan bagi negara-negara lain.

“Untuk pemenuhan kebutuhan domestik yang tidak akan didatangkan lagi dari Cina, Kanada, dan Meksiko, dipastikan AS akan mendiversifikasi negara asal impor,” kata Edwin, kepada Tirto, Jumat (14/2/2025).

Selain mendapatkan kesempatan sebagai substitusi negara asal impor, diberlakukannya sanksi terhadap ketiga negara, juga berpotensi menyediakan ruang kerja sama yang besar antara negara-negara lain termasuk Indonesia dengan AS. Hanya saja, ini akan sangat bergantung dari bagaimana Indonesia menyediakan skema kerja sama yang dinilai menguntungkan oleh AS sekaligus Indonesia sendiri.

“Meski cenderung akan semakin terproteksi, pasar AS masih tetap salah satu yang terbesar di dunia dan oleh karenanya perlu dimanfaatkan semaksimal mungkin,” imbuh dia.

Jumlah penduduk yang diperkirakan mencapai 345 juta jiwa pada 2024 ini lah yang kemudian menjadikan AS sebagai negara dengan salah satu basis konsumsi terbesar di dunia. Sementara pada 2024, AS menjadi negara dengan kontribusi ekspor sebesar 11,22 persen terhadap total total ekspor Indonesia yang tercatat senilai 264,70 miliar dolar AS. Kontribusi tersebut meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya sebesar 9,57 persen dari nilai total ekspor 258,82 miliar dolar AS.

Sementara jika menilik kembali era perang dagang pada kepemimpinan pertama Trump di 2018 lalu, Indonesia berhasil menangkap peluang dengan menjadi salah satu pemasok produk tekstil dan alas kaki ke AS. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2018 volume ekspor produk tekstil Indonesia meningkat 5,51 persen menjadi 2,19 miliar ton dengan nilai mencapai 13,22 miliar dolar AS. Sedangkan pada 2017, volume dan nilai ekspor produk tekstil Indonesia tercatat masing-masing 2,23 miliar ton dan nilai mencapai 12,53 miliar dolar AS.

Menurut laporan Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), ekspor alas kaki menembus angka 5,11 miliar, dengan negara tujuan utama adalah AS (1,4 miliar dolar AS) dan diikuti oleh Cina (500 juta dolar AS), Belgia (400 juta dolar AS), Jerman (350 juta dolar), dan Jepang (300 juta dolar AS).

“Tekstil dan alas kaki itu juga kita mendapatkan keuntungan karena kita banyak mengekspor dua komoditas ini ke Amerika Serikat,” kata Head of Industry & Regional Research Bank Permata, Adjie Harisandi, dalam acara Economic Review secara daring, dikutip Sabtu (15/2/2025).

Sama halnya dengan apa yang telah terjadi di 2018, Indonesia seharusnya juga bisa menangkap peluang dari perang dagang dengan menjadi pemasok produk-produk yang sebelumnya disediakan oleh Cina, Kanada dan Meksiko. Karena hanya dengan menangkap peluang ini, Indonesia bisa menumbuhkan realisasi ekspor yang kemudian juga akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional.

“Kalau kita lihat ekspektasinya, semoga Indonesia tidak terlalu terkena (dampak) tarif dari Amerika Serikat. Tapi, dengan demikian (menjadi pemasok pengganti Cina, Kanada dan Meksiko), maka Indonesia bisa gain dari adanya trade war ini,” tutur Adjie.

Namun demikian, untuk menangkap peluang ini, Indonesia harus terlebih dulu memiliki data komoditi perdagangan produk Indonesia yang dibutuhkan AS sebagai substitusi atas komoditi-komoditi dari ketiga negara yang dikenakan tarif tinggi. Komoditi sejenis asal Indonesia, dengan harga yang lebih kompetitif sekaligus memenuhi standar AS, berpotensi untuk menembus pasar AS yang cenderung protektif.

“Indonesia harus bisa menunjukkan independensinya dalam ketegangan ekonomi yang sedang berlangsung. Untuk lebih berhasil, Indonesia harus bisa memposisikan diri sebagai mitra yang aman, bukan lawan, bagi AS,” ujar Dosen Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan, Edwin Martua Bangun Tambunan.

Karenanya, selain sebagai perluasan kerja sama perdagangan, Edwin juga melihat bergabungnya Indonesia dengan blok ekonomi Brasil, Rusia, India, Cina, and South Africa (BRICS) sebagai ujian bagi pelaksanaan hubungan luar negeri Indonesia. Sebab, beberapa negara negara anggota BRICS telah diketahui secara luas merupakan negara yang tak akur dengan AS.

Untuk menyikapi ini Indonesia juga memerlukan langkah taktis dan kreatif dalam memanfaatkan keterlibatan dalam BRICS. Ini perlu dilakukan agar keanggotaan Indonesia dalam blok ekonomi ini tidak menjadi manuver buruk bagi perjuangan Indonesia untuk meraih keuntungan ekonomi dalam situasi global yang tidak pasti saat ini.

“Tantangan hubungan luar negeri sangat kompleks saat ini. Ibarat mendayung di banyak karang. BRICS bisa menguntungkan bagi Indonesia meski anggotanya bermasalah dengan AS, asalkan Indonesia bisa memainkan perannya sebagai intermediary antara AS dan lawan-lawannya di BRICS,” sambung Edwin.

Arus peti kemas di Surabaya

Truk trailer melintas di kawasan penumpukan kontainer (container yard) PT Terminal Petikemas Surabaya di Surabaya, Jawa Timur, Jumat (29/12/2023). ANTARA FOTO/Didik Suhartono/nym.

Selain dari sisi perdagangan, Indonesia juga memiliki peluang untuk menangkap peluang investasi dari relokasi pabrik-pabrik asal Cina, Kanada dan Meksiko. Meski begitu, peluang ini harus diperhatikan betul oleh pemerintah karena saat perang dagang antara AS dan Cina pada 2018 lalu, Indonesia gagal memanfaatkan kesempatan ini.

Pada saat itu, Vietnam lah yang muncul sebagai pemenang dengan dapat menarik investasi asing (Foreign Direct Investment/FDI). Dari catatan Bank Dunia, 33 perusahaan manufaktur asal Cina merelokasi bisnisnya, dengan 23 di antaranya memilih Vietnam dan 10 lainnya ke Malaysia, Thailand dan Kamboja.

Setahun setelah perang dagang, yakni pada 2019, Presiden Joko Widodo (Jokowi), mengakui rumitnya perizinan investasi yang menjadi sebab tidak datangnya investasi Cina ke Indonesia. “Setelah dilihat lebih detil lagi, kalau mau pindah ke Vietnam hanya butuh waktu dua bulan rampung. Kita bisa bertahun-tahun. Penyebabnya hanya itu, nggak ada yang lain,” ujar dia, Rabu (4/9/2019) silam.

Selain itu, kegagalan untuk menangkap peluang investasi ini dinilai ditengarai pula oleh tingginya Incremental Capital Output Ratio (ICOR), rasio yang menunjukkan biaya investasi terhadap output yang dihasilkan. Pada 2018, ketika ICOR Vietnam, Malaysia dan Thailand masing-masing sebesar 5,2; 4,6 dan 4,5; ICOR Indonesia masih sebesar 6,4. Lima tahun berselang, ICOR Indonesia hanya menunjukan sedikit perbaikan, dengan berdasar catatan BPS hanya berada di angka 6,33.

Karenanya, sebagai antisipasi terhadap perang dagang, Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Rosan P. Roeslani, mengatakan pihaknya akan mempercepat penyederhanaan regulasi investasi. Dalam hal ini, ia akan melakukan penyesuaian pada kerangka regulasi (regulatory framework), layanan publik (public service) dan efisiensi operasional (business efficiency).

“Pertama dari segi business efficiency, kita memerlukan waktu kurang lebih hampir 65 hari, padahal hanya 1 sampai 3 aja bisa. Ini salah satu hal yang kita akan tingkatkan," ucapnya dalam agenda World Bank New Insight On The Business Environment In Indonesia: Exploring The World Bank’s Business Ready Report di Jakarta, dikutip Sabtu (15/2/2025).

Dengan berbagai upaya tersebut, Rosan yakin, Indonesia bisa meningkatkan daya saing sehingga dapat bersaing dengan negara-negara tetangga yang telah terlebih dulu memenangkan peluang perang dagang. Pada saat yang sama, melalui perbaikan regulasi ini Indonesia juga dapat menggaet lebih banyak lagi investor untuk menanamkan modalnya ke Indonesia.

“Kalau kita memang harus melakukan penyesuaian dari segi kebijakan, ya kita lakukan. Selama itu memang meningkatkan competitiveness kita,” tegas Rosan.

Baca juga artikel terkait PERANG DAGANG atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - News
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Anggun P Situmorang