tirto.id - Setelah beberapa tahun proses pemulihan pasca pandemi COVID-19, World Bank kembali mengukuhkan Indonesia sebagai negara berpendapatan kelas menengah ke atas karena pendapatan per kapitanya menyentuh USD4.580. Berita baik ini disampaikan langsung oleh.
“Indonesia berhasil naik menjadi UMIC, bahkan di saat ambang batas klasifikasinya naik mengikuti kenaikan inflasi global,” ungkap Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu dalam rilis resmi.
Tidak hanya sampai di situ, indeks daya saing investasi Indonesia juga menunjukkan perkembangan yang positif. Tahun ini, Institute for Management Development (IMD) menobatkan Ibu Pertiwi di peringkat 34 dari 64 negara. Itu berarti terjadi kenaikan sepuluh peringkat dari tahun sebelumnya (44).
Dalam menganalisa indeks daya saing investasinya, IMD mengembangkan empat faktor di sisi ekonomi, pemerintahan, bisnis dan infrastruktur. Indonesia menunjukkan kemajuan di seluruh aspek, terutama performa ekonomi dan efisiensi bisnis.
Keunggulan dalam kedua kategori tersebut ditopang oleh kondisi ekonomi domestik yang kuat seiring dengan keterjangkauan harga dan terkendalinya inflasi. Selain itu, lingkungan bisnis yang baik ditopang oleh pasar tenaga kerja yang kuat dan manajemen praktik.
Data PMA dan Neraca Perdagangan Mendukung Klaim IMD
Klaim IMD yang menyebutkan adanya peningkatan performa indeks daya saing investasi Indonesia, tampaknya bukan isapan jempol belaka. Hal ini terbukti dari penanaman modal asing (PMA) dan neraca perdagangan Tanah Air yang mencatatkan kenaikan signifikan.
PMA merupakan salah satu indikator utama yang dapat menggambarkan realitas negara dalam menarik para investor asing untuk menanamkan modal di negaranya. Dilansir dari World Investment Report, Indonesia terus menunjukkan tren yang positif atas aliran FDI dalam tiga tahun terakhir. Berbeda dengan negara tetangga, Vietnam, Filipina dan Thailand, yang mencatatkan tren yang fluktuatif.
Keberhasilan Indonesia dalam menarik PMA disebabkan oleh target dan program ambisius dari pemerintah.
Reuters melaporkan base metal dan pertambangan menjadi sektor yang paling besar menerima FDI, yakni sebanyak USD11 miliar dan USD5.1 miliar. Pemerintah memang dalam beberapa tahun terakhir berambisi untuk mengembangkan industri baterai dan mobil listrik (electric vehicle). Sumber PMA terbesar Indonesia datang dari Singapura, Hong Kong, Tiongkok, dan Jepang.
Selain PMA, trade balance atau neraca perdagangan juga dapat digunakan sebagai indikator yang mencerminkan arus perdagangan dan performa ekonomi suatu negara.
Pada tiga tahun terakhir, neraca perdagangan Indonesia menunjukkan tren yang positif, dan meningkat secara signifikan dibandingkan negara-negara lainnya. Bahkan di tahun 2022 membukukan surplus tertinggi sepanjang sejarah dan melebihi nilai surplus perdagangan negara-negara di Asia Tenggara.
Dikutip dari Bank Indonesia, ekspor logam mulia, pakaian dan aksesorisnya, serta minyak sawit (CPO), dan batubara menjadi beberapa komoditas dengan performa baik yang mendorong ekspor.
Di sisi lain, berdasarkan laporan Kementerian Keuangan, pada periode Januari hingga Desember 2022, nilai ekspor Indonesia menunjukkan peningkatan sebesar 26,07% mencapai USD291,98 miliar. Jika dilihat lebih rinci, terdapat kenaikan yang mencolok pada ekspor hasil tambang dan sektor lainnya, mencapai 71,22%.
Sementara itu, ekspor nonmigas hasil industri pengolahan juga mengalami kenaikan yang positif sebesar 16,45%. Sektor ekspor hasil pertanian, kehutanan, dan perikanan juga mengalami pertumbuhan sebesar 10,52% selama periode tersebut.
Indonesia Masih Kalah
Indonesia sejatinya tidak sendirian dalam mewakili Asia Tenggara. Ada beberapa negara lain seperti Singapura, Malaysia, Filipina, dan juga Thailand yang juga turut masuk ke dalam indeks yang dikembangkan IMD tersebut.
Sejak tahun 2020, posisi Indonesia dalam indeks ini masih berada di bawah Thailand, Singapura, dan Malaysia. Indonesia hanya unggul dari Filipina. Untuk menggali secara lebih mendalam, mari bandingkan peringkat lima negara Asia Tenggara lebih rinci berdasarkan kategorinya pada tahun 2023.
Dari keseluruhan variabel yang menjadi acuan bagi IMD untuk menentukan indeksnya, Indonesia memiliki keunggulan terutama di pasar ketenagakerjaan, bidang manajemen, nilai dan perilaku. Kemudian, meskipun bukan paling unggul dari segi kebijakan pajak, keuangan publik, ekonomi domestik, dan juga harga menunjukkan performa yang baik.
Meskipun demikian, beberapa kategori perlu diberikan perhatian khusus karena peringkat Indonesia tergolong rendah. Ambil contohnya kategori kepegawaian dimana Ibu Pertiwi kalah dari Thailand yang notabenenya sedang dilanda isu population aging atau penuaan penduduk.
Negeri Siam mampu membuktikan dirinya bekerja lebih efisien dan produktif. Thailand fokus kepada industri manufakturnya untuk bisa menggapai transisi ke high-income country pada tahun 2037.
Selain itu, dari sisi efisiensi pemerintahan, Indonesia masih memiliki catatan di sub-sektor kerangka institusi dan legalisasi bisnis. Presiden Joko Widodo per Juni 2023 kembali menyerukan agar birokrasi pemerintahan tidak berbelit-belit. Hal ini tentunya berlaku juga dari aspek bisnis.
Kemudian dari faktor infrastruktur juga Indonesia masih berada di bawah negara lainnya. Ibu Pertiwi seharusnya bisa belajar dari Malaysia yang telah berhasil membangun digital space. Merujuk reportase Reuters, ekonomi digital telah menjadi sektor yang pertumbuhannya paling cepat di Malaysia. Bahkan selama paruh ketiga tahun 2022, investasi yang masuk untuk sektor ini telah mencapai USD$15,7 miliar.
Lebih lanjut, pada studi terpisah, World Bank juga menyoroti adanya penurunan performa di sektor logistik, dimana performa Indonesia turun dari indeks skor 46 di tahun 2022 ke 63 pada tahun ini. Dari keseluruhan faktor yang menjadi penilaian seperti halnya infrastruktur, bea cukai, pengiriman internasional, kompetensi logistik, tracing & tracking, ketepatan berada di bawah Malaysia, Thailand, dan Filipina dalam hal ini.
Indonesia secara umum berhasil meningkatkan peringkatnya, dan kita patut berbangga akan hal tersebut. Beberapa catatan yang terlihat menunjukkan bahwa masih banyak pembelajaran yang patut diperhatikan, baik itu pemerintah ataupun masyarakat sipil untuk saling mendorong terciptanya iklim investasi yang baik di Tanah Air.
Penulis: Arindra Ahmad Fauzan
Editor: Dwi Ayuningtyas