Menuju konten utama

Dinobatkan Negara Upper-Middle Income, RI Belum Pantas Berbangga

Indonesia kembali meraih status upper-middle income country. Namun, sejatinya kondisi ekonomi kita belum mampu head-to-head dengan negara berstatus sama.

Dinobatkan Negara Upper-Middle Income, RI Belum Pantas Berbangga
Ilustrasi Pendapatan Naik. foto/IStockphoto

tirto.id - Sempat turun kelas, Indonesia kembali menyandang predikat upper-middle income country atau negara berpenghasilan menengah atas versi World Bank. Keberhasilan ini disambut riang sekaligus waswas oleh Pemerintah RI. Ada tantangan yang mengadang saat setumpuk pekerjaan rumah belum beres.

Kabar kembalinya negara kita ke daftar pendapatan menengah atas diumumkan World Bank pada Jumat (30/6/2023). Ini merupakan angin segar bagi Indonesia yang sejak tiga tahun terakhir digolongkan ke lower-middle income country alias negara berpendapatan menengah bawah. Penurunan kala itu disebabkan kekacauan ekonomi akibat pandemi.

Sejak 1980-an, World Bank membagi perekonomian dunia ke dalam empat kelompok pendapatan, yakni low, lower-middle, upper-middle dan high. Klasifikasinya diperbarui setiap 1 Juli dan diukur berdasarkan Gross National Income (GNI) atau Pendapatan Nasional Bruto atau (PNB) per kapita tahun sebelumnya.

Investopedia mendefinisikan PNB sebagai jumlah total uang yang diperoleh oleh penduduk dan bisnis suatu negara. Ia biasa dipakai untuk mengukur dan melacak kekayaan dari tahun ke tahun. Jumlah tersebut termasuk Produk Domestik Bruto (PDB) negara ditambah pendapatan yang diterimanya dari sumber luar negeri.

Per Juli 2023 terdapat pembaruan rentang kelompok pendapatan. Negara berpenghasilan rendah atau low income country adalah mereka yang mengumpulkan PNB per kapita di bawah USD1.135 atau setara Rp17,25 juta (kurs Rp15.200 per USD) pada 2022. Jika pendapatannya USD1.136 hingga USD4.465 per tahun, maka ia dikategorikan lower-middle country. Kita sempat berada di level ini pada 2020.

Sedangkan yang membukukan USD4.466 hingga USD13.845 per tahun ditempatkan pada golongan upper-middle income. Di sinilah posisi Indonesia sekarang. Pada 2022, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat PNB per kapita kita senilai USD4.783 atau Rp71 juta per tahun. Dengan kata lain, penghasilan rata-ratanya mencapai Rp5,9 juta per bulan.

Sementara itu, pendapatan penduduk lebih dari USD13.845 per kapita per tahun mendapat gelar high income country atau negara berpenghasilan tinggi. Mulai tahun ini hingga pertengahan tahun depan, daftarnya diisi oleh beberapa negara. Antara lain Amerika Serikat, Francis, Jerman, Inggris, Australia, Arab Saudi hingga Uruguay.

Indonesia pertama kali diklasifikasikan sebagai upper-middle income pada 2020 setelah PNB per kapitanya mencapai USD4.050 per tahun pada 2019 (saat itu rentang upper-middle adalah USD4.046 hingga USD 12.535). Namun akibat pandemi, posisinya melorot lagi ke lower-middle country.

Penobatan kelas menengah atas ini berarti negara kita menyandang status yang sama dengan Rusia, Tiongkok, Brasil, Turki dan lainnya. Di Asia Tenggara, Indonesia sekarang selevel dengan Malaysia dan Thailand. Sedangkan Vietnam, Kamboja, Myanmar, Filipina hingga Laos harus rela disematkan label lower-middle country.

Maps World Bank

Maps World Bank. foto/World Bank

Meski sedikit lega, dinamika global berpeluang mengubah segalanya dengan seketika. Tantangan ini tampaknya disadari Presiden Joko Widodo.

Saat membuka Sidang Kabinet Paripurna pada Senin (3/7/2023) lalu, Jokowi – sapaan popoler Joko Widodo – mewanti-wanti perubahan iklim hingga ketegangan geopolitik yang bisa menjadi ancaman serius selain kenaikan suku bunga akibat tekanan inflasi dunia. Ia meminta jajaran agar mencermatinya.

“Ini berimbas pada pertumbuhan ekonomi dan aktivitas perdagangan yang melemah, kelihatan ekspor kita juga menurun, kemudian berbagai lembaga internasional memprediksi perlambatan ekonomi global, ini juga harus betul-betul kita lihat,” kata Jokowi dikutip dari Antara.

Di tengah tantangan, negara kita masih punya cita-cita yang belum terwujud. Dalam Visi Indonesia Maju, pendapatan per kapita penduduk RI diproyeksikan naik ke level high income country sebelum 2045. Demi merealisasikannya, butuh pertumbuhan ekonomi di kisaran 6-7% secara konsisten. Untuk itu, Pemerintah RI menempuh berbagai cara.

Pekerjaan Rumah Pemerintah

Menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI Febrio Kacaribu, mereka bakal melanjutkan agenda reformasi struktural dan transformasi ekonomi. Ke depan, kualitas sumber daya manusia dan infrastruktur akan ditingkatkan guna mendongkrak daya saing serta produktivitas.

Melalui keterangan tertulis, Febrio juga membeberkan kunci di balik come back Indonesia ke golongan upper-middle income tahun ini. Selain berhasil menangani pandemi, semua itu juga tak lepas dari kebijakan hilirisasi sumber daya alam. Termasuk larangan ekspor bijih nikel yang kini terlilit sengketa perdagangan dengan Uni Eropa.

"Pemerintah berkomitmen untuk terus menjaga kualitas pemulihan perekonomian. Ini ditunjukkan dengan penurunan tingkat kemiskinan kembali menjadi satu digit di tahun 2021 dan konsistensi penurunan tingkat pengangguran yang terus mendekati level prapandemi," ujar Febrio.

Sesuai pandangan Febrio, tingkat kemiskinan dan pengangguran memengaruhi kualitas perekonomian suatu negara selain PNB. Meski relatif menurun sejak beberapa periode terakhir, dua masalah itu masih melilit Indonesia. Jika tidak mampu dituntaskan, maka Visi Indonesia Maju 2045 bakal tersisa slogan belaka.

BPS mencatat angka kemiskinan 26,36 juta orang pada September 2022, nyaris setara total populasi Australia. Jumlahnya bertambah 0,20 juta dari Maret 2022 tapi turun 0,14 juta dibanding September 2021. Artinya, orang miskin di republik ini mencakup 9,57% dari total penduduk. Meningkat 0,03% month to month (mtm) dan turun 0,14% year on year (yoy).

Persentase warga miskin di desa dan kota kompak naik pada September 2022. Masing-masing jadi 12,36% dan 7,53% atau sekitar 14,38 juta dan 11,98 juta orang. Sementara Garis Kemiskinan (GK) tercatat Rp535 ribu per kapita per bulan. Komposisinya terdiri atas GK Makanan Rp397 ribu atau 74,15% dan GK Bukan Makanan Rp138 ribu atau 25,85%.

Dari segi tenaga kerja, 7,99 juta penduduk RI saat ini berstatus penggagguran. Tingkatnya tercatat mencapai 5,45% pada Februari 2023, turun 0,38% (yoy) menurut catatan BPS. Tahun lalu, warga yang nganggur tembus 8 juta orang. Pada periode yang sama, rata-rata upah buruh hanya Rp2,94 juta, naik 1,80% (yoy).

Indonesia Masih Tertinggal

Walau sama-sama tergolong upper-middle income country, bukan berarti Indonesia mutlak selevel dengan negara-negara seperti Rusia dan Tiongkok. Status ini disematkan karena pendapatan per kapita penduduk RI berada dalam satu rentang dengan mereka. Tapi di sisi lain, faktanya negara kita masih jauh tertinggal.

Pada 2022, PNB per kapita Indonesia USD4.783 versi BPS dan USD4.580 atau Rp69,62 juta (kurs Rp15.200 per USD) versi World Bank. Sedangkan PNB Rusia mencapai USD12.830 atau Rp195,01 juta dan Tiongkok USD 12.850 atau Rp195,32 juta. Pendapatan penduduk kita juga lebih rendah dari Malaysia (USD11.780) dan Thailand (USD7.230).

Bila dibandingkan dengan dua negara tetangga itu, masalah sosial ekonomi di Indonesia juga relatif lebih buruk. Grafik di atas menunjukkan bahwa tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand.

Data terbaru mencatat Negeri Jiran memiliki tingkat pengangguran 3,05%. Sedangkan pengangguran di Negeri Siam bahkan lebih rendah lagi, yakni hanya di level 1,05%.

Soal tingkat kemiskinan, data terbaru yang didapat untuk Malaysia adalah hasil survei pada tahun 2020, dimana tingkat kemiskinan berada di level 8,4%, nilai yang cukup tinggi karena data diperoleh saat pandemi. Sementara itu angka kemiskinan di Thailand tercatat 6,3% pada 2021.

Berdasarkan perbandingan di atas, dapat disimpulkan bahwa sejatinya Indonesia belum bisa berbangga diri dengan penobatan kembali ke negara kelas menengah atas. Pasalnya, jika dibandingkan dengan koleganya di status yang sama, Ibu Pertiwi belum mampu head-to-head dan masih tertinggal, bahkan berpotensi turun level lagi.

Baca juga artikel terkait WORLD BANK atau tulisan lainnya dari Nanda Fahriza Batubara

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Nanda Fahriza Batubara
Editor: Dwi Ayuningtyas