Menuju konten utama

Kegagalan Link and Match, Sarjana Terus Dominasi Pengangguran

Sarjana masih mendominasi pengangguran di Indonesia. Perguruan tinggi wajib berbenah seiring kegagalan program link andmatch.

Kegagalan Link and Match, Sarjana Terus Dominasi Pengangguran
Ilustrasi Sarjana Menganggur. foto/IStockphoto

tirto.id - Curhatan lulusan Universitas Indonesia yang kalah bersaing dengan lulusan STM saat melamar pekerjaan membuka ingatan publik tentang program link and match di perguruan tinggi. Setelah berjalan tiga dekade, program yang diharapkan oleh dunia usaha mampu menghasilkan sarjana “siap pakai” itu ternyata belum berhasil.

Menteri Tenaga Kerja (Menaker) RI Ida Fauziah sebagaimana dikutip dari laman resmi UGM pada Kamis (23/2/2023) mengatakan, pengangguran di Indonesia masih didominasi oleh sarjana, dan diploma yang jumlahnya mencapai 12% dari total tingkat pengangguran terbuka pada Februari 2023.

Menurut Data BPS (Badan Pusat Statistik), tingkat pengangguran terbuka pada Februari 2023 telah turun sebesar 410 orang, yaitu dari 8,4 juta orang atau 5,83% dari total penduduk pada Februari 2022 menjadi 7,99 juta orang atau 5,45% dari total penduduk. Dari 7,99 juta pengangguran tersebut, sebesar 12% atau 958.800 orang adalah sarjana.

Meski angka pengangguran menurun, kata Menaker, pengangguran terdidik, yaitu lulusan sarjana dan diploma masih yang paling banyak. Kelompok pekerja justru didominasi oleh lulusan SMP dan SD. Penyebabnya, lanjut dia, tidak adanya link and match antara perguruan tinggi dengan dunia kerja. Benarkah demikian?

Program link and match yang bertujuan agar dunia pendidikan menghasilkan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja, sebenarnya sudah diluncurkan sejak tahun 1993, yaitu di era Mendikbud Wardiman Djojonegoro dan Menaker Abdul Latief. Program tersebut dijawab oleh pengelola perguruan tinggi, diantaranya dengan cara merekrut sebagian tenaga pengajar dari para praktisi, membuka program vokasi hingga magang kerja.

Setelah tiga dekade diluncurkannya program tersebut, banyak lulusan sarjana yang masih sulit bersaing di pasaran kerja. Mereka tidak siap pakai, sehingga lebih sulit mendapatkan pekerjaan dibandingkan lulusan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). Lulusan SMK dinilai lebih siap memasuki dunia kerja, karena sejak duduk di bangku sekolah sudah mendapatkan mata pelajaran dan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja.

Sarjana lulusan UI pun bisa kalah bersaing dengan lulusan STM yang punya pengalaman kerja dan sertifikat kompetensi. Ini membuktikan bahwa perusahaan lebih menyukai kandidat karyawan yang terampil dibandingkan sekedar gelar sarjana. Jika program link and match berjalan sesuai harapan, sarjana seharusnya punya daya saing yang kuat di dunia kerja.

Agar program link and match berhasil, kurikulum perguruan tinggi tentu saja harus lebih responsif dengan kebutuhan dunia kerja. Mahasiswa juga perlu didorong untuk menambah keterampilan atau kompetensinya, baik melalui aktivitas di organisasi atau kursus-kursus. Tantangan ini harus segera dijawab oleh dunia pendidikan agar anak muda tidak sinis dengan pendidikan.

Banyak anak muda zaman now yang mulai kendor semangatnya untuk kuliah, karena tidak yakin setelah jadi sarjana bakal mudah dapat pekerjaan. Mereka bilang, ”sarjana saja banyak yang nganggur, sulit mendapatkan pekerjaan. Lalu apa gunanya sekolah tinggi-tinggi?”

Pemikiran seperti itu memprihatinkan, karena sekolah tidak semata-mata demi mendapat pekerjaan. Pendidikan juga memiliki tujuan mulia lain, yaitu meningkatkan kualitas manusia, mengubah pola pikir, mencerdaskan bangsa, hingga mengangkat harkat martabat.

Negara-negara yang maju, penduduknya biasanya juga memiliki jenjang pendidikan tinggi. Di Indonesia saat ini, angkatan kerja masih didominasi oleh lulusan SD dan SMP. Rendahnya tingkat pendidikan itu membuat daya saing SDM (Sumber Daya Manusia) kita secara global lemah. Jika bangsa ini mau maju, anak-anak muda harus bersemangat meraih pendidikan setinggi mungkin.

Merujuk laporan yang dirilis INSEAD berjudul “The Global Talent Competitiveness Index 2022,” Indonesia mendapat peringkat 82 dari 133 negara, kalah dari rekan sebayanya yakni Filipina, Thailand dan Vietnam.

Dari enam aspek utama yang dianalisa, Ibu Pertiwi hanya unggul di bidang kemampuan vokasi dan teknikal. Meskipun demikian, dari ketersediaan profesional dan produktivitas tenaga kerja masih minim.

Sementara itu, studi juga menemukan bahwa Indonesia paling tertinggal di sisi keterampilan pengetahuan global dengan skor hanya 10,7 yang akhirnya menempatkan Indonesia di peringkat ke-100 dari 133 negara.

Pendidikan vs Pengalaman

Lebih penting mana antara pendidikan atau pengalaman? Keduanya, sama-sama penting. Pendidikan tetap merupakan aspek penting yang dilihat oleh pemberi kerja. Jika kamu ingin berprofesi sebagai dokter, pengacara, ahli hukum, dosen, misalnya, hal pertama yang dilihat pasti ijazahnya. Saat melamar kerja, perekrut pertama kali juga melihat jenjang pendidikannya.

Di lain pihak, dalam laman resmi ITB yang mengutip survei dari perusahaan perekrut tenaga kerja, Universum, mengungkapkan fakta bahwa 58% pengusaha terkemuka lebih menghargai pengalaman kerja dibandingkan nilai (Indeks Prestasi) dan asal universitasnya.

Sebesar 48% lainnya melihat kandidat karena kepribadiannya. Pelajar dan mahasiswa yang semasa sekolah aktif berorganisasi atau aktif di kegiatan kampus dan kemasyarakatan bisa menjadi poin plus yang dilihat oleh perekrut. Program magang kerja juga menjadi poin penting yang mempersiapkan lulusannya untuk masuk ke dunia kerja.

INfografik Perguruan tinggi Perubahan Zaman

INfografik Perguruan tinggi Perubahan Zaman. tirto.id/Quita

Pada prinsipnya, dunia kerja menuntut universitas melahirkan sarjana yang unggul. Tidak cukup hanya mengunyah teori, para sarjana juga penting menambah keterampilan-keterampilan lain yang dibutuhkan di dunia kerja. Hal tersebut, idealnya bisa terwujud melalui program link and match.

Maka dari itu, dunia pendidikan dituntut segera berbenah diri agar bisa mengikuti perkembangan zaman. Perguruan tinggi adalah pilar integral dalam mempersiapkan individu agar siap berkecimpung di pasar tenaga kerja, terlepas adanya keraguan bahwa pemberi kerja masih menghargai gelar pendidikan.

Studi dari perusahaan konsultan ternama, McKinsey, yang berjudul “The Skills Revolution and the Future of Learning and Earning,” mencoba menelaah strategi apa yang sebaiknya diterapkan perguruan tinggi untuk mengikuti perkembangan zaman. Mengingat tantangan pasar kerja dan kondisi keuangan akibat pandemi yang berkepanjangan, McKinsey menawarkan empat strategi yang dapat diterapkan institusi pendidikan tinggi.

Pertama, menciptakan kurikulum ke pendekatan yang mengutamakan keterampilan demi memastikan siswa memperoleh imbal hasil sepadan atas investasinya dalam pendidikan. Misalnya, program yang ditawarkan harus mencerminkan permintaan di pasar tenaga kerja.

Kedua, mengintegrasikan penerapan keterampilan dalam kurikulum inti, seperti membangun program kemitraan inovatif antara perguruan tinggi dan pelaku industri untuk menciptakan peluang aplikasi teori di dunia kerja. Tidak hanya membuka peluang magang.

Ketiga, melakukan investasi untuk membangun jaringan dan komunitas. Penelitian menemukan bahwa individu dengan jaringan yang kuat memiliki gaji yang lebih besar dan kesempatan promosi yang lebih tinggi.

Keempat, membangun ekosistem untuk sistem kredensial yang berkelanjutan. Saat ini, perguruan tinggi umumnya memberlakukan program gelar dan sertifikasi non-gelar secara terpisah.

Namun sudah saatnya institusi pendidikan lebih fleksibel dengan membuka peluang untuk pelatihan dan upskilling melalui program mikro kredensial. Hal ini penting agar mahasiswa dan tenaga pendidik dapat mengembangkan kemampuan seiring perkembangan zaman.

Kampus yang progresif bakal melahirkan sarjana “tidak biasa”, yang siap berkompetisi di dunia kerja. Ilmu-ilmu yang dipelajari juga bisa diterapkan di dunia nyata.

Sebaliknya, perguruan tinggi yang konservatif hanya akan melahirkan sarjana “biasa” yang berpotensi jadi pengangguran. Lulusannya akan sulit memenangkan persaingan di era industri 4.0, karena banyak pekerjaan yang sudah bisa digantikan oleh teknologi robot hingga aplikasi kecerdasan buatan, Artificial Intelegence (AI).

Baca juga artikel terkait PENGANGGURAN atau tulisan lainnya dari Suli Murwani

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Suli Murwani
Penulis: Suli Murwani
Editor: Dwi Ayuningtyas