Menuju konten utama

Pengangguran di Indonesia: Seperti Mengurai Benang Kusut

Bonus demografi akan menjadi sia-sia dan rawan menjadikan Indonesia macan kertas jika tingkat pengangguran tak segera diselesaikan.

Pengangguran di Indonesia: Seperti Mengurai Benang Kusut
Ilustrasi seseorang sedang mencari pekerjaan. FOTO/Istock

tirto.id - Pada 2011, media asal Inggris, BBC World Service, pernah membuat jajak pendapat terhadap 11.000 orang di 23 negara. Dalam survei tahunan yang bernama The World Speaks ini, BBC meminta para responden menulis daftar hal paling meresahkan sekaligus paling mengkhawatirkan.

Korupsi dan kemiskinan menempati posisi satu dan dua, seperti sudah dibayangkan oleh banyak orang.

Namun ada satu ketakutan yang mencuat: pengangguran. Masalah ini dikhawatirkan oleh 18 persen responden, melonjak enam kali lipat dibanding ketika masuk pertama kali dalam daftar pada 2009 silam.

“Hampir seperempat responden menyatakan telah membicarakan soal pengangguran dalam bentuk apapun dalam sebulan terakhir,” tulisBBC dalam laporannya.

Sialnya, ketakutan dan kekhawatiran terhadap pengangguran ini masih relevan. Malah mungkin makin relevan, termasuk di Indonesia.

Pengangguran di Indonesia: Menurun, tapi Tinggi

Setiap tahun, Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis berbagai data, termasuk soal kondisi ketenagakerjaan Indonesia. Dalam setahun, BPS merilis data ketenagakerjaan ini sebanyak dua kali, yakni Mei untuk kondisi Februari dan November untuk kondisi Agustus.

Di kondisi Agustus 2024, angkatan kerja nasional adalah 152,11 juta orang. Jumlah ini naik 4,40 juta orang dibanding Agustus 2023. Sedangkan jumlah penduduk yang bekerja mencapai 144,64 juta orang, naik 4,79 juta orang dibandingkan Agustus 2023.

Kenaikan ini punya andil dalam penurunan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT). Pada Agustus 2024, TPT ada di angka 4,91 persen, turun 0,41 persen dibanding tahun sebelumnya. Angka ini berada di atas target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024, yang menargetkan jumlah pengangguran di angka 3,6 - 4,3 persen saja.

Meski secara umum kondisi TPT di Indonesia terus menurun sejak 2021 lalu, ada satu masalah besar, yaitu angka pengangguran masih menyeramkan: 7,47 juta orang.

Yang Kompleks dan Mendesak

Masalah pengangguran memang pelik, sekaligus mendesak untuk segera diselesaikan. Hal ini dikarenakan lebih dari ⅔ populasi Indonesia berada dalam usia kerja. Alih-alih meraih mimpi Indonesia Emas 2045, bonus demografi akan menjadi sesuatu yang sia-sia dan rawan menjadikan Indonesia macan kertas jika perkara tingkat pengangguran tak segera diselesaikan.

Tentu saja, masalah pengangguran ini terjadi di seluruh dunia. Apalagi mengingat kondisi yang disebut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) yang menyebut ada tambahan dua juta orang yang akan berkompetisi mencari kerja.

Di Indonesia, faktor penyebab pengangguran memang seperti benang kusut. Kita bisa menyebut mulai dari kurangnya lapangan kerja, korupsi, ketidakpastian hukum, tingginya angkatan kerja akibat jumlah penduduk yang tinggi, hingga kondisi sosial politik dalam negeri yang seringkali tidak stabil. Kemiskinan struktural juga menjadi penentu lain terhadap pengangguran di negara berkembang seperti Indonesia. Dan acap, jejeran faktor ini saling tumpang tindih dan menyulitkan untuk diselesaikan secara tuntas.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebut arus investasi di Indonesia meningkat tapi tidak berdampak signifikan pada penciptaan lapangan kerja. Selain itu, investasi yang masuk ke Indonesia sekarang masih berbasis sumber daya alam dan ekstraktif.

“Ini karena investasinya ke luar dan mencari negara lain seperti Vietnam, Bangladesh, juga Laos. Karena negara-negara itu dianggap lebih ramah untuk investasi,” kata Bhima.

Tak hanya itu, Bhima juga menyoroti tentang banyaknya anak muda yang tidak terpenuhi potensinya. Menurut data BPS, ada sekitar 9,9 juta penduduk usia muda tanpa kegiatan atau NEET, yang merupakan singkatan dari Not in Education, Employment, or Training. Angka ini sekitar 22,25 persen dari total penduduk usia 25-25 tahun di Indonesia.

Lagi-lagi ada banyak faktor yang membuat generasi muda ini masuk dalam kelompok NEET, mulai dari rasa putus asa mencari kerja, kurangnya akses transportasi dan pendidikan, keterbatasan finansial, kewajiban rumah tangga, hingga disabilitas. Bhima juga menyebut adanya ruang kosong antara kebutuhan pasar tenaga kerja dan skill yang ditawarkan.

“Ini dibuktikan dari besarnya angka pengangguran usia muda 9,9 juta orang anak muda menganggur di Indonesia ini salah satunya karena masalah gap antara kebutuhan pasar tenaga kerja dengan kebutuhan skill dimiliki,” ujar Bhima.

Masalah kemiskinan juga menjadi salah satu faktor meningkatnya pengangguran. Masyarakat yang miskin akan kesulitan untuk mendapatkan akses pendidikan yang layak, dan sulit mengakses berbagai keterampilan. Sehingga, masyarakat miskin akan kesulitan untuk bersaing mendapatkan pekerjaan dengan masyarakat kaya atau berkecukupan.

Kementerian Keuangan mencatat, jumlah penduduk miskin per Maret 2024 tercatat sebanyak 25,22 juta orang atau 9,03 persen dari total populasi Indonesia. Ini turun dari masa pra pandemi atau tahun 2019 yang tercatat sebanyak 9,41 persen dari total populasi atau sejumlah 25,14 juta jiwa. Meskipun terjadi penurunan tingkat kemiskinan, jumlah orang miskin sejak 2019 sampai Maret 2024 tercatat bertambah sekitar 80 ribu jiwa.

Vokasi Bisa Menjadi Solusi

Pergeseran industri padat karya menjadi padat modal berdampak pada persyaratan keterampilan yang tinggi dan spesifik bagi para pekerja di Indonesia. Kondisi ini membuat angkatan kerja merasa kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan stabil, terutama pekerja yang memiliki pendidikan menengah ke bawah.

Sayangnya, komposisi pekerja di Indonesia masih didominasi oleh oleh pekerja dengan berpendidikan SD ke bawah (tidak/ belum pernah sekolah/ belum tamat SD/ tamat SD), yaitu sebesar 35,80 persen pada Agustus 2024.

Padahal, saat ini mayoritas perusahaan menerapkan persyaratan tinggi –bahkan terkesan tidak fair– bagi calon pekerjanya. Ini juga terjadi bahkan di posisi entry level, maupun menengah.

Persyaratan seperti minimal sarjana, usia maksimal 25 tahun, punya pengalaman minimal dua atau tiga tahun, menguasai aneka rupa keterampilan mengoperasikan software dalam bersamaan, dan berpenampilan menarik, menjadi sesuatu yang tak asing lagi dalam syarat lowongan pekerjaan.

Di saat seperti ini, sekolah vokasi bisa menjadi salah satu solusi. Pendidikan vokasi menjadi penting untuk menyiapkan tenaga kerja yang sesuai dengan tuntutan dunia kerja yang terus berkembang. Penguasaan keterampilan atau kompetensi yang lebih spesifik membuat lulusan pendidikan vokasi dapat fit-in pada industri yang bergerak dengan cepat.

Sekolah vokasi juga termasuk bisa beradaptasi dengan zaman dan kebutuhan. Saat ini, kita bisa melihat banyak sekolah vokasi yang menawarkan keahlian spesifik, seperti teknologi informasi yang banyak dicari oleh perusahaan. Beberapa jurusan klasik seperti boga juga masih relevan dengan kebutuhan industri saat ini.

Tentu saja, soal pengangguran tak bisa diselesaikan hanya dengan sekolah vokasi. Menyediakan lapangan kerja, memperbaiki kondisi ekonomi dan investasi, hingga menjamin kepastian hukum, menjadi pekerjaan rumah pemerintah.

Selagi ada dalam masa perbaikan itu, masuk di sekolah vokasi dan belajar skill-skill spesifik yang dibutuhkan oleh dunia saat ini mungkin bisa menjadi langkah jitu untuk bertahan. []

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis