tirto.id - Pengalaman buruk saat berlibur di Yogyakarta dirasakan oleh Retno (34). Penat dengan rutinitas macet di Jakarta, ternyata masih harus dihadapinya saat berlibur ke Kota Gudeg saat musim libur Lebaran 2025.
Dia bertandang ke Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) hanya satu malam. Bersama suaminya, Retno memilih untuk menginap di rumah kerabatnya yang berlokasi di Bendosari, Kalurahan Sumbersari, Kapanewon Moyudan, Kabupaten Sleman, DIY.
“Selain ngirit, enggak enak juga kalau ada kerabat di sana, tapi kami menginap di hotel,” cerita Retno saat dihubungi Tirto, pada Rabu (9/4/2025).
Tanpa rencana, Retno dan suaminya memesan taksi online untuk mengantar perjalanan yang dimaksudkan untuk liburan. Mereka bersama keponakannya berangkat ke destinasi utama di DIY, yaitu Malioboro. Namun, yang dijumpai oleh Retno justru kekecewaan.
Perjalanan yang sedianya memakan waktu sekitar 30 menit saat kondisi normal, harus ditempuhnya dalam waktu selama 1,5 jam. “Lalu lintas di DIY parah banget,” kata Retno.
Retno mengaku, kunjungannya itu bukan yang terburuk. Menurut dia, kondisi tersebut masih lebih baik daripada kunjungannya pada periode yang sama di 2022. Namun, tetap saja, Retno tidak dapat memaksimalkan kunjungan wisatanya di DIY akibat jalanan yang macet.
“Kami cuma ke Malioboro doang, karena di Malioboro saja makan waktu yang melebihi timeline kami. Seharusnya tidak segitu, tapi jadi kelamaan di Malioboro karena macet,” kata dia menunjukkan sesalnya.
Sudah terjebak macet, Retno dan keluarga juga tidak merasa mendapat pengalaman berlibur yang berkesan saat sampai di Malioboro. Sebab, sebagian besar penyedia layanan wisata mulai beberes untuk tutup, saat mereka menginjakkan kaki di jantung Kota Yogyakarta itu pada pukul 23.00 WIB.
Selain itu, kuliner yang dapat mereka cicipi hanya sate ayam. Kudapan, yang tentu bisa mereka temui tanpa harus jauh-jauh ke Yogyakarta.
“Harapan, kalau bisa wisata malam kalau pas liburan lebih diperbanyak. Terus kayak wisata makanan dan kuliner agak diperbanyak. Soalnya, penjual banyak tapi jenis yang dijual cuma itu-itu doang. Kayak sate, satenya pun cuma sate ayam. Terus makanan khasnya jarang ada yang jual. Dan kalau pun ada harganya nauzubillah mahal banget,” kata dia.
Pedagang Sepi Pembeli
Ironisnya, padatnya lalu lintas di Kota Yogyakarta pada saat musim libur Lebaran 2025, ternyata tidak dibarengi dengan tingginya belanja para wisatawan di Kota Gudeg. Erna, salah satu pedagang batik di Pasar Beringharjo, Malioboro, Yogyakarta, mengaku penjualannya justru surut.
“Kalau dibandingkan waktu puasa, meningkat. Tapi [omzet] dibandingkan musim liburan 2024 kemarin, memang ada penurunan,” ungkap Erna dihubungi Tirto, pada Selasa (8/4/2025).
Erna menduga-duga, kunjungan wisatawan ke Pasar Beringharjo menurun. Sebab, penjaga parkir pun mengatakan padanya, bahwa lahannya tidak penuh layaknya musim liburan biasa.
Erna juga bertanya-tanya, apakah omzetnya turun karena memang daya beli masyarakat yang turun atau ada faktor lain. Sebab kerap dia temui, pengunjung yang masuk Pasar Beringharjo hanya melihat-lihat dan tidak membeli.
Laporan mendalam Tirto terkait kondisi pasar tradisional jelang lebaran, dapat dibaca di artikel ini “Masihkah Pasar Tradisional Dilirik di Era Belanja Tinggal Klik.”
Situasi serupa dirasakan oleh pedagang di Teras Malioboro Beskalan, Supriyati. Perempuan yang akrab disapa Upik ini mengatakan omzetnya turun jauh pada musim Lebaran 2025.
Menurut Upik, sepinya pembeli di lapak miliknya karena lokasi TM Beskalan yang tidak terlihat. Oleh sebab itu, keberadaan pedagang di lokasi tersebut tidak diketahui oleh pembeli. “Tempatnya tersembunyi dan pengunjung agak susah untuk masuk,” kata Upik.
Musim Liburan Macet, tapi Tak Berdampak Signifikan
Ironi macetnya Kota Yogyakarta saat musim liburan, tapi tidak berdampak signifikan terhadap perekonomian pelaku pariwisata, dijelaskan oleh Kepala Pusat Studi Pariwisata (Puspar) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Mohamad Yusuf.
Yusuf mengatakan, tidak semua yang hilir-mudik di Yogyakarta saat liburan lebaran adalah wisatawan. Bisa jadi, sebagian besar adalah warga Yogyakarta yang tidak mudik. Dalam pandangan pariwisata, kelompok seperti itu bukan disebut wisatawan, tetapi pengunjung atau visitor.
Kemungkinan lainnya, bisa saja mereka yang beraktivitas itu adalah warga Yogyakarta bersama keluarganya dari luar kota yang mudik. Sehingga dimungkinan, para visitor ini menginap di rumah kerabatnya yang tinggal di DIY. Oleh sebab itu, mereka tidak memerlukan tempat menginap dan tidak banyak spending uang untuk belanja.
Menilik pada perputaran ekonomi, Yusuf turut menyinggung adanya penurunan daya beli masyarakat. Beberapa indikator menunjukkan terjadinya penurunan daya beli masyarakat. Misalnya angka deflasi 0,48 sampai dengan Februari 2025 yang menjadi indikator kuat turunnya konsumsi masyarakat.
“PHK di beberapa perusahaan dan pengurangan pendapatan masyarakat akibat kebijakan efisiensi juga ditengarai berakibat pada penurunan daya beli masyarakat,” kata Yusuf dihubungi Tirto, pada Rabu (9/4/2025).
Alasan lain yang mempengaruhi daya beli adalah ketidakpastian ekonomi ke depan. Hal itu, kata Yusuf, mengakibatkan orang cenderung untuk menunda pengeluaran yang bersifat konsumtif. Masyarakat pun cenderung sangat berhati-hati dalam membelanjakan uangnya.
“Bahkan saat ini, sebagian masyarakat saat ini sudah menggunakan tabungannya untuk memenuhi kebutuhan primer sehari-hari,” kata dia.
Apa Langkah Pemkot Yogyakarta?
Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo, mengakui terjadi kemacetan saat musim libur Lebaran 2025. Namun, durasinya dia sebut pendek, yaitu hanya pada saat H+1, H+2, dan H+3 Lebaran 2025. Kepadatan lalu lintas, disebutnya turun pada H+4 Lebaran.
Sementara terkait turunnya daya beli wisatawan, Hasto mengatakan, itu dipengaruhi oleh situasi global. “Karena daya beli tidak hanya lokal di Yogyakarta,” kata politikus PDIP itu saat diwawancara di Balaikota Yogyakarta, pada Selasa (8/4/2025).
Kendati begitu, kata Hasto, Pemkot Yogyakarta tetap berupaya untuk mengungkit perekonomian warga melalui sektor pariwisata. Salah satunya, mengadakan berbagai festival sebagai daya tarik kunjungan wisata.
“Sebentar lagi, kami akan undang wali kota di seluruh Indonesia, yang sudah konfirmasi sudah sekitar 80 wali kota untuk membawa atraksi ke Yogyakarta yang akan dipentaskan di Embung Giwangan,” beber Hasto.
Hasto juga berencana untuk membuat serambi Malioboro di Kotabaru. Sekaligus menghidupkan kawasan ini fokus pada wisata malam. Mengingat, kawasan Malioboro memiliki keterbatasan pengembangan. Seperti dilarangnya operasional pedagang kaki lima (PKL), angkringan, dan pijat refleksi.
“Maka saya akan mencoba outlet baru di Kotabaru. Tetapi harus saya bersihkan, harus saya kasih lampu yang terang, harus ada LED yang bagus. Ya pemandangannya nanti insyaallah menghadap ke Kali Code, Codenya bisa kita bersihkan juga,” imbuhnya.
Penulis: Siti Fatimah
Editor: Abdul Aziz