tirto.id - “Silakan ibu, bapak, mampir. Dipilih-dipilih kemeja flanelnya."
Nada suara Jum’an Budi (52 tahun) melembut ketika ia menyapa orang-orang yang lewat depan kiosnya di Blok III, Pasar Senen, Jakarta Pusat. Upaya Budi untuk menggiring pembeli mampir ke toko pakaiannya itu, rupanya tak membuahkan hasil. Sekalipun ada, pengunjung hanya sekedar melihat-lihat. Tak sampai satu menit, mereka kemudian pergi meninggalkan tanpa membeli.
Siang itu, kondisi kios berukuran 2x2 meter persegi milik Budi memang tak banyak yang singgah meski seluruh pakaian-pakaian bermerek sudah dijejerkan. Beberapa toko yang menjadi surganya pakaian bekas di Pasar Senen lainnya juga tampak terlihat lenggang dari aktivitas niaga. Meskipun ada, jumlahnya bisa dihitung jari. Di tempat Budi sendiri, kalau ia bisa mendapat dua sampai tiga pembeli per hari saja, ia sudah bersyukur.
“Ramadhan 2024 dan 2025 ini parah banget,” keluh pria asal Riau tersebut saat berbincang dengan reporter Tirto, di tokonya, pada Selasa (18/3/2025).
Bila dibandingkan tahun lalu, kondisi Ramadhan kali ini jauh lebih buruk. Biasanya, kata Budi, memasuki minggu kedua dan ketiga Ramadhan sudah banyak pengunjung datang. Namun, sampai dengan minggu ketiga Ramadhan tahun ini, baik pengunjung ataupun pembeli masih terpantau sepi, termasuk saat weekend atau Sabtu dan Minggu.
“Biasanya [penjualan] mengharapkan bulan Ramadhan, lebih meningkat lagi kan. Tapi [kenyataannya] tidak. Ya, bisa dilihat sendirilah. Biasanya hari-hari ini, jam segini orang padat ramai,” imbuhnya.
Dari segi omzet, diakui Budi jauh menurun dibandingkan Ramadhan tahun lalu. Penurunannya ditaksir hingga 80-an persen. Bahkan, untuk tahun ini ia malah menombok untuk biaya sewa kios, operasional harian dan lain sebagainya. “Kita nombok, nombok terus. Semenjak dari pertengahan tahun 2024 abis Lebaran, makin ke sini, semakin susah,” jelasnya.
Sadar akan kondisi tersebut, beberapa inovasi sudah dilakukan Budi. Termasuk memberi diskon untuk produk pakaian ia jual hingga merambah penjualan secara online. Namun, lagi-lagi upaya dilakukannya tak mampu mengerek penjualan. Karena bagi Budi, sekalipun ia mencoba memasarkan barangnya secara online melalui status WhatsApp dan Facebook, serta platform media sosial lainnya, dampaknya tak sebesar kalau masuk platform e-commerce.
“Kemarin-kemarin saya jual [online] juga. Penjualan secara non-berbayar itu agak susah. Orang cuma nanya-nanya akhirnya kan. Beda kalau kita melihat TikTok dan Shopee yang berbayar,” imbuh dia.
Pasar Beringharjo: Jelang Lebaran Masih Sepi Pembeli
Kondisi yang dialami Budi, turut dirasakan pedagang di pasar tradisional Beringharjo, Yogyakarta. Salah satu pemilik kios batik ‘Bayu Putra’ yakni Dini Cahyanti, merasakan penjualannya turun selama Ramadhan tahun ini. Padahal, seharusnya momentum ini bisa mendorong peningkatan penjualan di tokonya.
“[Penjualan] jatuh. Pokoknya sepi sih untuk tahun ini,” ujar wanita berusia 31 tahun tersebut kepada Tirto, Selasa (18/3/2025).
Kondisi ini, diakuinya sudah dirasakan sejak awal puasa. Di dua minggu awal puasa, memang biasanya masih sepi pengunjung dan pembeli. Tapi, seharusnya, di minggu ketiga dan keempat mulai ramai. Namun fakta di lapangan, sudah hampir dua minggu lewat, kondisinya masih lengang.
“Ini sudah lewat dua minggu tapi masih tetap [sepi]. [Harapannya] semoga kembali full ramai lagi setelah Lebaran,” pungkas dia.
Pasar Cipulir: Penuh Sesak Tapi Omset Menurun
Kembali ke Jakarta, salah satu lorong di Pasar Cipulir nampak penuh sesak pada Selasa (18/3/2025) siang saat reporter Tirto mengunjungi pusat grosir pakaian di selatan Jakarta tersebut.
Kondisi Pasar Cipulir dalam momen Ramadhan 2025 memang lebih ramai dibanding hari biasa, seperti yang dikatakan Agus (40 tahun), salah satu pedagang pakaian yang telah bertahun-tahun berniaga disana.
Agus bercerita, dalam beberapa tahun terakhir, kondisi Pasar Cipulir memang mengalami tren penurunan jumlah pengunjung seiring dengan penurunan omset penghasilan yang ia alami. Sejumlah faktor diperkirakan jadi penyebab, mulai dari pola belanja masyarakat yang mulai beralih ke daring hingga motif ekonomi masyarakat yang sedang lesu.
Oleh karena itu, ia sangat berharap momen satu tahunan seperti Ramadhan ini bisa membantu mendongkrak penjualannya lagi. Berkah Ramadhan memang dirasakannya, selama dua minggu awal bulan suci ini omset penjualannya memang meningkat dibanding bulan biasa.
“Kalo pas puasa gin,i memang lebih rame penjualan bisa 2-3 kali lipat dibanding hari biasa, apalagi nanti pas minggu ke-3 dan 4 pas mau lebaran itu puncaknya,” ujarnya
Meski mengalami tren peningkatan penjualan dan omset selama Ramadhan, Agus mengaku omset penjualan yang ia raih pada tahun ini belum sebanding dengan momen Ramadhan 2024 lalu. Ia memperkirakan penurunannya sekitar 50 persen.
“Kalo dibanding tahun lalu sih jauh (lebih ramai tahun lalu). Ini stock baju yang disini aja belum abis semua, tahun lalu sampe dua kali ngirim,” ujarnya.
Sejumlah pedagang, seperti yang diakui Agus, mulai berstrategi dengan menjual barang dagangannya di platform e-commerce dan social commerce. Tak jarang mereka rela membanting harga demi mendapatkan pembeli.
Meski begitu, ia mengaku belum terpikirkan untuk menjual barang dagangannya secara daring seperti melalui platform e-commerce atau social commerce. Sebabnya, ia pernah mencoba hal tersebut namun tetap tak membuahkan hasil maksimal.
Selain itu, ia percaya diri masih memiliki sisa-sisa pelanggan setia yang tetap memilih untuk berbelanja secara langsung di pasar.
“Kalo online tuh biasanya anak-anak muda, masih banyak juga pelanggan yang milih dateng ke pasar kan disini bisa coba langsung, bisa nawar langsung lebih enak juga,” ujarnya.
Cerita yang sama datang dari Ida (35 tahun) seorang penjual baju dan perlengkapan anak di Pasar Cipulir. Ia yang sedang sibuk menata jualannya tak mau bercerita banyak ketika ditanya soal kondisi penjualannya di momen Ramadhan tahun 2025 ini. Secara singkat, ia mengonfirmasi kalau penjualan tahun ini tak secemerlang momen Ramadan tahun 2024 lalu.
“Jauh (penjualan dibandingkan tahun lalu). Ini rame tapi yang beli sedikit,” ujarnya kepada Tirto, Selasa (18/3/2025).
Pasar Kosambi: Sepi Pembeli di Tengah Kenaikan Harga
Beda dengan kondisi Pasar Cipulir, geliat ekonomi Ramadan tak begitu dirasakan pedagang sayuran dan bahan makanan di Pasar Kosambi, Kota Bandung, Jawa Barat. Eli (50 tahun) yang telah 23 tahun berjualan di pasar itu mengaku omset penjualannya justru sepi jelang momen Lebaran 2025.
“Sekarang mah kayak sepi beda dengan lebaran kemarin, sekarang mah ada online mungkin, supermarket juga komplit kan sekarang,” ujarnya saat diwawancarai Tirto, Selasa (18/3/2025)
Hal yang sama dikeluhkan juga oleh Apih (63 tahun) seorang pedagang kerupuk di pasar tersebut.
“Biasanya mah tiga minggu menjelang lembaran teh udah padat pembeli sekarang mah kayak biasa aja. Enggak sibuk, dulu sibuk. Sekarang mah nyantai,” ujarnya kepada Tirto, Selasa (18/3/2025)
Dede Rico (25 tahun) seorang pedagang oleh-oleh khas Bandung dengan nama toko Murni Raos juga mengeluhkan hal serupa. Tak seperti tahun lalu, ia mengeluhkan penjualan kue-kue lebaran seperti nastar mengalami tren penurunan pada tahun ini, di tengah kenaikan harga kue kering yang ia jual.
“Ada kenaikan harga tapi sedikit oleh-oleh menjelang lebaran kaya kue-kue kering naik. Kue nastar tahun ini harganya 200 ribu per kilo tahun lalu 180 ribu. Tapi sekarang (penjualan) mah sepi,” ceritanya kepada reporter Tirto, Selasa (18/3/2025).
Senada, Guguh (28) seorang pedagang sayuran di pasar tersebut, juga mengeluhkan harga sejumlah bahan pokok yang naik jelang lebaran. Ia mencontohkan, harga bahan pangan seperti bawang, cabe dan sayuran terus naik di tengah kondisi cuaca hujan yang terus mengguyur dalam beberapa minggu terakhir.
“Sekarang cabe rawit merah 120 ribu dari kemarin Rp110 ribu. Gatau nanti seminggu mau lebaran pasti naik terus,” ujarnya kepada Tirto, Selasa (18/3/2025)
Ia merasa kenaikan sejumlah harga bahan pokok tersebut turut memengaruhi penjualannya yang terus menurun selama bulan Ramadhan 2025 ini. Ia merasa penjualan di momen ini tak ada bedanya dengan hari-hari biasa. Sama-sama sepi.
“Kalau pendapatan lumayan beda tahun ini gak terlalu rame kayak dulu. Soalnya udah jelek daya jualnya sejak sebelum puasa. Sekarang sepi banget cuman ngandelin yang nge-WA pesen online via ojek online,” ujarnya kepada Tirto, di hari yang sama.
Tak hanya dalam industri pakaian, sejumlah pedagang tersebut mengakui ada tren pergeseran pola belanja masyarakat dalam membeli sayur mayur, kue kering dan kebutuhan pokok itu melalui daring.
Meski begitu, tak semua pedagang yang ditemui di Pasar Kosambi tersebut mau beradaptasi untuk turut berjualan secara daring melalui sejumlah platform e-commerce dan social commerce.
“Belum coba sampai sekarang (berjualan secara daring) soalnya takut ribet. Kalau ke online gitu capeknya double, nyiapin barangnya, masukin barangnya, jadi capeknya dua kali lipat,” ujar Guguh salah satu pedagang sayuran.
Alasan Orang Tetap Belanja di Pasar Tradisional
Meski terjadi penyesuaian penjualan selama Ramadhan, bukan berarti kondisi pasar tradisional benar-benar sepi. Karena bagi sebagian orang, mereka tetap memilih belanja secara langsung dibandingkan melalui online atau e-commerce. Seperti halnya dilakukan oleh Ken Sofya Arini warga Jakarta dan Fitri asal Yogyakarta.
Bagi Ken Sofya, berbelanja di pasar tradisional jelang lebaran banyak keuntungan. Pertama, bisa melihat dan mencoba barangnya secara langsung dan tidak perlu menunggu lama. Ini berbeda ketika halnya membeli lewat online, karena pembeli tidak bisa melihat secara fisik dan harus menunggu paket datang lebih dahulu. Kedua, dari sisi harga yang dijual, harganya sebetulnya terjangkau, mirip dengan harga produk yang ditawarkan di platform e-commerce.
“Mengingat sebentar lagi akan menyambut lebaran, dikhawatirkan jika membeli barang melalui platform online barang tidak sampai sebelum lebaran. Apalagi jika barangnya tidak sesuai, maka memerlukan waktu yang lebih lama untuk proses retur barang dan juga karena banyak isu yang tersebar bahwasannya ekspedisi kurir sedang melonjak,” jelas dia.
Senada dengan Ken Sofya, Fitri juga mengaku lebih suka belanja di pasar tradisional, karena bisa melihat langsung barangnya daripada beli online yang kadang menurutnya tidak sesuai dengan ekspektasinya. Pun kelebihan belanja secara langsung, menurut Fitri, bisa saling tawar-menawar.
“Kita suka melihat barangnya, coba, terus bisa menawar dan sebagainya. Jadi harga sesuai dengan apa yang menjadi keinginan kita. Kalau online itu, pernah beli tidak sesuai ekspektasi. Ternyata banyak ketipu,” jelas Fitri.
Hal yang sama diungkap Rina (48 Tahun) seorang pembeli di Pasar Kosambi Bandung yang ditemui Tirto. Selama bertahun-tahun, ia mengaku masih setia untuk berbelanja membeli kebutuhan pokok pangan di pasar tradisional.
“Pertama karena deket rumah, kedua di sini (Pasar Kosambi) bisa tawar menawar kalau di online dan supermarket gak bisa,” ujarnya saat ditanya alasan tetap membeli kebutuhan pangan di pasar
Masyarakat Berbelanja Lebih Banyak Saat Ramadan
Di Indonesia, Ramadhan bukan sekedar bulan biasa, kehadirannya juga diharapkan bisa menjadi momentum untuk menggerakan ekonomi masyarakat.
Tirto, bekerjasama dengan lembaga survei Jakpat, mengadakan survei mandiri untuk menganalisis lebih dalam terkait pola konsumsi masyarakat di bulan Ramadhan 2025 ini. Survei ini dilakukan pada 5-7 Maret 2025, yakni pada minggu pertama bulan Ramadhan 2025, dengan melibatkan 1.336 responden. Metode yang digunakan adalah non probability sampling. Margin error dalam survei ini tercatat di bawah tiga persen.
Hasil survei ini menunjukkan, sebesar 66,47 responden berencana membeli atau sudah membeli baju lebaran pada momen Ramadhan 2025 ini. Sisanya, sebanyak 33,53 persen responden mengaku tidak memiliki rencana untuk membeli baju lebaran tahun ini.
Secara anggaran, 42,23 persen responden mengaku memiliki alokasi pengeluaran yang lebih banyak pada Ramadhan 2025 ini dibanding momen yang sama tahun lalu. Sementara itu, 32,21 persen responden mengaku memiliki alokasi pengeluaran yang sama dengan tahun lalu dan sebanyak 25,56 persen responden mengaku alokasi pengeluaran Ramadan tahun ini lebih dikit dari tahun lalu.
Gaji bulanan, tabungan pribadi, dan Tunjangan Hari Raya (THR) masih menjadi sumber dana yang paling banyak digunakan untuk membeli baju lebaran. Menariknya, ada 2,36 persen masyarakat yang membeli baju lebaran dari hasil pinjaman, baik itu pinjaman daring, pinjaman ke teman atau keluarga dan paylater.
Mayoritas responden mengaku memiliki bujet belanja baju lebaran antara Rp100 ribu - Rp500 ribu. Sebanyak 34,35 persen mengeluarkan anggaran belanja sebesar Rp250 ribu-Rp500 ribu. Sementara, hanya 8,56 persen yang mengeluarkan anggaran belanja lebih dari Rp1 juta.Sebagai perbandingan, survei Snapchart terkait belanja masyarakat pada Ramadhan 2025, merekam bahwa 75 persen responden memperkirakan pengeluaran mereka akan meningkat selama Ramadhan tahun ini.
Menariknya, survei pada Februari 2025, yang melibatkan 1.800 responden ini, menunjukkan kalau 89 persen responden akan melakukan efisiensi bujet saat berbelanja. Mereka akan mencari produk dengan potongan harga atau diskon paling besar (46 persen) dan membeli produk yang menawarkan harga lebih murah (43 persen). Hanya sekitar 12 persen yang tetap akan membeli kebutuhan Ramadhan tanpa mempertimbangkan harga.
Kondisi Ekonomi & Tren Belanja yang Mulai Bergeser
Kondisi ekonomi Ramadhan tahun ini dinilai lebih buruk dibanding tahun lalu. Pada tahun lalu, daya beli masih mendapat topangan bantuan sosial (bansos) terkait politik. Sedangkan tahun ini, sudah tidak ada topangan bansos sebesar tahun lalu. Hal ini diperparah pengeluaran pemerintah yang lesu akibat koordinasi efisiensi anggaran yang tengah dilakukan.
Pun, bila melihat tren perkembangan inflasi selama lima tahun ke belakang (2020-2024), momentum Ramadhan biasanya terjadinya inflasi secara bulanan. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi Ramadhan tahun 2020 (Maret) mencapai 0,08 persen month-to-month (mtm). Angka itu kemudian meningkat pada Ramadhan setahun setelahnya, yang jatuh pada April, sebesar 0,13 persen mtm.
Pada Ramadhan 2022, inflasi melesat di level 0,95 persen. Lalu pada Ramadhan 2023 (Maret), tren inflasi berlanjut, kendati alami perlambatan menjadi 0,18 persen. Inflasi kembali meningkat pada Ramadhan tahun lalu, alias pada Maret, yang mencapai 0,52 persen.
Sedangkan pada dua bulan pertama 2025, Indonesia sudah mulai mengalami deflasi secara bulanan mengindikasikan pelemahan daya beli. Deflasi tercatat sebesar 0,76 persen pada Januari dan 0,48 persen pada Februari 2025. Pada Maret atau selama Ramadhan ini pun, diperkirakan tetap terjadi deflasi, meskipun hasilnya masih menunggu rilis resmi dari BPS di awal April mendatang.
“Ramadhan biasanya inflasi, tapi ini justru deflasi. Ini fenomena yang jarang terjadi, harga harga turun karena sisi demand-nya yang buruk. Turunnya daya beli kelas menengah dan bawah kalau salah kelola ini bisa berdampak sistemik. Sebab pendorong utama ekonomi kita adalah mereka,” ujar Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), Suroto, kepada Tirto, Selasa (18/3/2025).
Fenomena menurunnya keuntungan pedagang khususnya di pasar-pasar tradisional, meskipun kondisi di lapangan terlihat ramai, bisa dibaca oleh beberapa faktor. Salah satunya menurut Peneliti Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Muhammad Anwar, adalah pergeseran pola konsumsi masyarakat yang semakin condong ke belanja online dibandingkan datang langsung ke pasar tradisional.
Pergeseran pola konsumsi ini sejalan dengan hasil riset mandiri Tirto bersama Jakpat dilakukan pada 5-7 Maret 2025. Survei tersebut memotret bagaimana pola konsumsi masyarakat belanja selama Ramadhan. Hasilnya, memang mayoritas 61,04 persen masyarakat memilih untuk berbelanja online atau di e-commerce. Sedangkan hanya 24,89 persen yang masih belanja di pasar tradisional.
“Tren ini mencerminkan adanya perubahan struktural dalam ekonomi ritel yang berimplikasi besar pada keberlangsungan usaha kecil, khususnya para pedagang tradisional,” kata Anwar kepada Tirto, Selasa (18/3/2025).
Dalam beberapa tahun terakhir, adopsi teknologi digital semakin masif di kalangan masyarakat. Ini didorong oleh kemudahan akses internet serta promosi besar-besaran dari e-commerce dan platform belanja online.
Faktor kenyamanan, efisiensi waktu, serta berbagai promo menarik seperti gratis ongkir dan diskon yang diberikan oleh platform digital, juga menjadi daya tarik utama yang membuat banyak konsumen beralih dari belanja fisik ke belanja online.
Meskipun kondisi pasar dan pusat perbelanjaan terlihat masih tetap ramai, bukan berarti transaksi yang terjadi sepadan dengan jumlah pengunjung, kata Anwar. Banyak orang mungkin hanya sekedar melihat-lihat atau mencari referensi harga sebelum akhirnya membeli secara online.
“Tidak dapat dipungkiri bahwa pergeseran ini juga dipengaruhi oleh tekanan ekonomi yang semakin dirasakan oleh masyarakat,” kata Anwar.
Inflasi yang berdampak pada kenaikan harga bahan pokok, lanjut Anwar, turut membuat konsumen semakin selektif dalam membelanjakan uang mereka. Belanja online kerap menawarkan harga yang lebih kompetitif dibandingkan pasar tradisional, karena e-commerce memiliki skala ekonomi yang lebih besar serta sistem logistik yang lebih efisien.
Di sisi lain, pedagang tradisional tidak memiliki fleksibilitas yang sama dalam menetapkan harga karena mereka menghadapi biaya operasional yang terus meningkat, seperti harga sewa, biaya distribusi, dan harga bahan baku yang naik. Akibatnya, mereka semakin sulit bersaing dan terpinggirkan dalam ekosistem perdagangan yang semakin digital.
Agar Pedagang Tradisional Bertahan di Tengah Gempuran Online
Oleh karena itu, agar tidak terpinggirkan, pedagang di pasar tradisional harus melakukan berbagai siasat agar tetap bisa bertahan di tengah gempuran tren belanja online. Pergeseran pola konsumsi yang semakin mengarah ke belanja digital memang menjadi tantangan besar, tetapi bukan berarti pedagang kecil tidak bisa bersaing.
Beberapa langkah yang dapat diambil oleh pedagang tradisional pertama adalah masuk ke ekosistem digital. Pedagang pasar tradisional, kata Anwar, tidak bisa lagi hanya mengandalkan transaksi tatap muka, tetapi harus mulai memanfaatkan platform online untuk menjangkau pangsa konsumen yang lebih luas.
Misalnya, mereka bisa menggunakan media sosial seperti Tiktok, Facebook, atau Instagram untuk menawarkan dagangan mereka secara langsung kepada pelanggan tetap maupun calon pembeli baru. Selain itu, mereka juga bisa mendaftarkan produk di platform marketplace.
Kedua, pedagang tradisional juga harus mampu menawarkan nilai lebih yang tidak bisa didapatkan dari belanja online, seperti layanan yang lebih personal, fleksibilitas harga, serta jaminan kualitas barang. Konsumen masih memiliki kebutuhan akan pengalaman belanja yang interaktif, di mana mereka bisa langsung melihat, menyentuh, dan menawar harga barang.
“Pedagang perlu mengoptimalkan keunggulan ini dengan meningkatkan kualitas layanan, memberikan diskon untuk pelanggan tetap, atau menyediakan layanan antar bagi mereka yang tidak sempat datang ke pasar,” jelas Anwar.
Tidak kalah penting, lanjut Anwar, kolaborasi dengan komunitas lokal juga bisa menjadi strategi yang efektif. Pedagang bisa membentuk kelompok atau koperasi digital yang memungkinkan mereka bekerja sama dalam pemasaran, logistik, dan promosi. Dengan sistem ini, mereka bisa berbagi biaya pengiriman, membuat promosi bersama, dan memperkuat posisi mereka dalam persaingan dengan e-commerce besar.
Terakhir, pemerintah juga harus turut andil dalam mendukung pedagang tradisional agar mereka tidak semakin terpinggirkan. Program pelatihan digitalisasi UMKM, subsidi akses teknologi, serta regulasi yang menciptakan persaingan yang lebih adil antara pedagang kecil dan raksasa e-commerce perlu diperkuat.
Jika pemerintah tidak segera turun tangan, maka ketimpangan ekonomi dalam sektor perdagangan akan semakin lebar, dan pasar tradisional yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi rakyat bisa semakin tergerus.
Data Pemerintah Indikasikan Keyakinan Konsumen Tetap Kuat
Di tengah adanya indikasi penurunan daya beli masyarakat, Survei Konsumen Bank Indonesia (BI) pada Februari 2025 mengindikasikan keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi akan tetap kuat. Hal ini misalnya tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Februari 2025 yang berada dalam zona optimis (>100) yaitu pada angka 126,4. Meski begitu
Keyakinan konsumen pada Februari 2025 tetap optimis untuk seluruh kategori, dengan IKK tertinggi tercatat pada responden pengeluaran >Rp5 juta (129,0), diikuti oleh pengeluaran Rp4,1-5 juta (128,8), dan Rp3,1-4 juta (126,0).
Meski demikian, perkembangan optimisme tersebut sedikit menurun dibandingkan kondisi bulan sebelumnya untuk seluruh kelompok pengeluaran, kecuali pada kelompok pengeluaran Rp3,1-4 juta yang masih menunjukkan peningkatan. Secara umum, IKK Februari 2025 juga turun dari IKK Januari 2025 sebesar 127,2.
Keyakinan konsumen yang tetap optimis pada Februari 2025 diklaim bersumber dari peningkatan keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini dan tetap kuatnya keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi ke depan.
Sebagai konteks, IKK adalah indeks yang mencerminkan keyakinan konsumen Indonesia mengenai kondisi ekonomi saat ini dan ekspektasi konsumen dalam periode yang akan datang. Indeks yang masih di atas 100 menunjukkan konsumen optimistis memandang perekonomian saat ini hingga 6 bulan mendatang.
Lebih lanjut, BI, dalam laporan yang sama, juga mencatat Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) Februari 2024 tercatat masing-masing berada di angka 114,2 dan 138,7 atau masih dalam zona optimis.
Berdasarkan komponennya, peningkatan IKE bersumber dari Indeks Pembelian Barang Tahan Lama/Durable Goods dan Indeks Penghasilan Saat Ini yang naik masing-masing sebesar 3,4 poin dan 0,1 poin menjadi 113,7 dan 122,7 pada Februari 2025, sementara Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja turun 1,5 poin menjadi sebesar 106,2.
Sementara itu, dari sisi kondisi keuangan konsumen pada Februari 2025 rata-rata proporsi pendapatan konsumen untuk konsumsi (average propensity to consume ratio) tercatat sebesar 74,7 persen, meningkat dibandingkan dengan proporsi pada bulan sebelumnya, yaitu sebesar 73,6 persen.
Sementara itu, proporsi pendapatan konsumen yang disimpan (saving to income ratio) dan proporsi pembayaran cicilan/utang (debt to income ratio) di Februari 2025 masing-masing sebesar 14,7 persen dan 10,6 persen, sedikit menurun dibandingkan Januari 2025 sebesar 15,3 persen dan 11,1 persen.
Menurut BI penjualan eceran diperkirakan juga tetap tumbuh pada Februari 2025. Hal ini tecermin dari Indeks Penjualan Riil (IPR) Februari 2025 yang diprakirakan mencapai 213,2, atau secara bulanan tumbuh sebesar 0,8 persen mtm.
Kinerja penjualan eceran tersebut terutama ditopang oleh Kelompok Peralatan Informasi dan Komunikasi, Subkelompok Sandang, dan Kelompok Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang diprakirakan mengalami kenaikan penjualan menjelang Ramadan dan persiapan Idul Fitri.
Kontributor: Akmal Firmansyah & Siti Fatimah
Penulis: Dwi Aditya Putra & Alfitra Akbar
Editor: Farida Susanty