Menuju konten utama

Yayat Supriyatna: Tata Kelola Pemakaman sejak Dulu Autopilot

"Ketika terjadi pembiaran, yang terjadi sekarang ini. Kan ini hasil karya bersama di masa lalu yang kurang tata kelolanya."

Yayat Supriyatna: Tata Kelola Pemakaman sejak Dulu Autopilot
Header Wansus Yayat Supriyatna. tirto.is/Fuad

tirto.id - Hidup di Jakarta sudahlah keras, matipun susah. Ungkapan itu boleh jadi mencerminkan realitas hari ini ihwal krisis lahan makam di Jakarta. Mendapatkan rumah peristirahatan terakhir dengan kondisi satu liang lahad, satu jenazah di TPU bak barang langka bagi mereka yang menghembuskan nafas terakhir di Jakarta.

Hanya 11 TPU dari 80 TPU eksisting di Jakarta yang kini melayani pemakaman baru. Sisanya hanya menyediakan pemakaman tumpang atau satu liang lahad berisi dua sampai tiga jenazah.

Tirto mendatangi sejumlah TPU di kawasan Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Sejauh mata memandang pusara memenuhi lahan makam tanpa tersisa. Bahkan di TPU Tanjung Barat, pihak pengelola makam terang-terangan memasang spanduk “Hanya melayani pemakaman tumpang”.

Warga Jakarta yang Tirto temui juga kadung pasrah dengan keadaan krisis lahan makam di Jakarta. Pemakaman secara tumpang menjadi opsi terakhir mereka kelak meninggal dunia. Meski keinginan mereka tetap dikubur seorang diri.

Krisis lahan pemakaman baru sudah lama berlangsung di Jakarta, dan praktik pemakaman tumpang sudah lama berlangsung, seiring terbitnya Perda DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2007—yang membolehkan pemakaman secara tumpang—dengan ketentuan satu keluarga.

Pihak Pemerintah Provinsi Jakarta mewanti-wanti permasalahan keterbatasan lahan berkelindan dengan pendudukan lahan makam oleh warga. Pemerintah daerah menyebutnya sebagai okupasi. Sebagian tanah makam disulap menjadi area pemukiman dan tempat usaha.

Untuk memperdalam masalah ini, selama kurang lebih 20 menit, Tirto berbincang dengan pakar tata kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna. Dia pernah terlibat dalam penataan pemakaman di Jakarta saat era gubernur terdahulu. Dia tidak segan berkata bahwa krisis lahan makam baru di Jakarta saat ini adalah manifestasi tata kelola tidak beres di masa lampau.

Berikut petikan wawancara dengan Yayat Supriyatna:

Pihak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyatakan bahwa salah satu faktor krisis lahan makam di Jakarta lantaran okupasi warga atas tanah makam yang menjadikannya tempat tinggal dan tempat usaha. Bagaimana ini bisa terjadi menurut Anda?

Okupasi lahan pemakaman di Jakarta itu oleh penduduk, oleh gepeng, oleh siapapun, itu karena lahan pemakaman kurang terawat, tidak terjaga, tidak berpagar. Jadi karena lahan makam tidak dijaga dan tidak ada pengawas, akhirnya pelan dan pasti, itu diduduki oleh warga. Bahkan warga mengambil keuntungan dari lahan pemakaman untuk usaha. Bahkan beberapa lahan makam itu, tepatnya yang dijadikan lahan itu menjadi jalan umum. Lalu ada yang bangun rumah mepet dengan TPU, dan pintu masuk lewat jalan kuburan. Akhirnya terjadi konflik antara lahan pemakaman dengan kebutuhan rumah untuk warga.

Dan kelemahan sewaktu dulu adalah pemerintah provinsi tidak bisa menguasai lahan karena sering konflik dengan ormas. Bahkan ormas dengan sengaja memasang bendera seakan-akan mereka yang berkuasa. Dari dulu memang berat membereskan lahan pemakaman dari okupasi kelompok-kelompok kepentingan tertentu.

Sewaktu saya diminta untuk menata pemakaman di Jakarta, seorang kepala pemakaman di suatu lokasi mengatakan kepala pemakaman itu tidak tanggung-tanggung bilang ‘Pak, saya minta pistol saja untuk menggusur penguasa, preman di pemakaman’.

TPU Karet Bivak

Tampak Muka Kuburan di TPU Karet Bivak, Jakarta Pusat. foto/Rohmnan

Warga butuh tanah, kalau dibongkar, ya mereka akan menuntut ganti rugi. Apalagi mereka hidup di lahan pemakaman juga, entah itu menjadi petugas kebersihan. Yang sebenarnya terjadi di Jakarta itu ibarat tragedi makam di tengah kota. Artinya, pemakaman makin terkepung oleh pemukiman. Untungnya yang di dalam kubur enggak bangkit melakukan demonstrasi.

Jadi, memang lemah dalam penataan dan pengawasan area pemakaman. Dulu saya sarankan untuk ditembok saja, mana batas lahan pemerintah provinsi yang digunakan untuk pemakaman. Sementara itu zaman dulu kantor-kantor UPT yang melayani administrasi pemakaman, terkadang tidak ada orang.

Kenapa bisa ada okupasi itu dan dibiarkan sejak awal?

Pertanyaannya siapa yang sejak awal mengizinkan. Kalau lahan yang diokupasi itu mau direvitalisasi, kemana mereka direlokasi. Kan harus ada kerja sama lintas sektoral misal Dinas Permukiman yang bisa bangun rumah susun. Kedua, kalau dilakukan pembongkaran, mohon maaf saja, tidak ada ganti rugi. Justru warga yang menempati lahan makam, itu mereka dapat dari siapa. Ya diarahkan untuk pindah, jadi harus tegas pemerintah, Dulu zaman Gubernur Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) cukup tegas dengan isu ini.

Atau kalau warga tidak mau direlokasi dari lahan makam, pemerintah bisa minta sewa, harus ada pajak. Bayar sewanya sesuai NJOP yang berlaku sekarang. Ya dari sana pemerintah bisa membeli tanah di tempat lain (untuk lahan makam).

Jangan atas nama keterbatasan, kemudian mengambil hak orang lain. Harus diajarkan kepada warga yang menduduki bahwa ini tanah negara, harus jelas batasannya kalau ingin membangun pemukiman.

Jadi sekarang ini Dinas Pertamanan dan Hutan Kota jangan kerja sendiri. Tanya Dinas Permukiman, tanya BPN, itu kalau mau bersatu menyelesaikan masalah.

Jadi krisis pemakaman itu terkait dengan tata kelola pemakaman yang juga mengalami krisis. Ada dualisme kelembagaannya.

Mengapa bisa terjadi krisis lahan di Jakarta selain faktor okupasi tadi?

Ya karena penduduknya turut bertambah. Bayangkan saja, kalau yang meninggal 100 sampai 120 orang sehari, satu tahun 365 hari. Berarti, ada 36 ribu sampai 40 ribu orang yang membutuhkan pemakaman. Berapa luasannya. Nah, dari 40 ribu yang meninggal dunia, berapa yang di-krematorium. Berapa yang dimakamkan di TPU.

Atau misalnya, sekarang ajak warga Jakarta, jangan maunya beli rumah di dunia saja, ya harus beli makam dari sekarang. Mereka yang punya duit jangan mewah-mewah rumah di dunia harganya Rp3 miliar, tapi ketika meninggal, mereka maunya gratis. Jadi jangan berumah di dunia mahal, tapi ketika dimakamkan susah nyarinya.

Decode Ketika Kuburan Jadi Barang Mewah

Balgis yusuf (59) sedang berziarah ke makam tumpang anak dan suaminya. tirto.id/Rohman Wibowo

Sudah dari zaman gubernur siapa soal tata kelola pemakaman yang tidak beres ini?

Sudah lama, dari zaman sebelum Bang Yos (Sutiyoso) pun sudah ada praktik-praktik itu. Saya dulu lihat beberapa makam yang ditutup sudah dipasang bendera ormas. Lalu ketika dipaksakan dimakamkan, mereka ormas yang mengatur letaknya. Sampai jalan pemakaman juga diatur mereka. Maka, sampai pada 2007, saya dapat keluhan dari pengelola makam yang tidak sanggup menghadapi ormas. Bagi yang mereka tinggal di sana, musibah kematian itu adalah berkah.

Satu-satunya cara saat ini adalah Gubernur harus membentuk satgas penataan pemakaman di Jakarta. Kerjanya antar OPD dinas. Satgas bertanggung jawab menyediakan lahan makam. Jadi tidak perlu macam-macam seperti beli tanah. Justru revitalisasi yang perlu dilakukan.

Krisis lahan ini berarti karena tata kelola pemakaman yang tidak beres?

Iya betul. Tata kelola pemakaman sejak dulu autopilot. Saya tahu karena saya terlibat dalam penataannya. Lalu saya cari tahu okupasi tanah pemakaman. Dan yang mengatur adalah masyarakat. Ketika terjadi pembiaran, yang terjadi sekarang ini. Kan ini hasil karya bersama di masa lalu yang kurang tata kelolanya. Makam-makam dibiarkan diatur oleh ormas.

Lantas, bagaimana solusi atas absennya tata kelola pemakaman oleh pemerintah provinsi?

Untuk orang ekonomi kaya non-Muslim bisa menggunakan cara krematorium atau ke pemakaman swasta. Boleh ikut pengembang, boleh ikut yayasan. Berapa persen warga Jakarta yang mapan, misal ada 20 persen, mereka silakan mempersiapkan lahan pemakamannya di luar Jakarta.

Jadi menurut saya, satu-satunya cara yang bisa dilakukan sekarang ini adalah kelanjutan makam tumpang. Itu sudah sejak 2007 dinyatakan makam di Jakarta sudah penuh. Sejak itu sudah terbaca sehingga sekarang 69 TPU tertutup untuk makam baru. Pertanyaannya betul-betul tertutup sama sekali tidak bisa menerima pemakaman atau bagaimana.

Kalau pun makam tumpang, kan harus ada kesepakatannya, dua atau tiga jenazah dalam satu liang lahad. Dulu kami berdiskusi dengan ahli agama. Kalau yang Muslim bisa dimakamkan secara tumpang. Yang umat Kristen boleh tidak secara makam tumpang karena ada menggunakan peti.

Mestinya, ada registrasi yang jelas siapa ahli waris selanjutnya yang akan dimakamkan secara tumpang dengan anggota keluarga sebelumnya.

Kalau mencari lahan baru, belum tentu bisa didapat dan warga mau jual. Ini karena nilai properti pasti jatuh kalau tanah berdekatan kuburan. Lalu misal ada tanah Pemda tapi jauh lokasinya, lalu bagaimana mengantar jenazahnya?

Lalu apakah bisa Pemerintah Provinsi (DKI) mengakuisisi tanah wakaf? Itu belum tentu bisa juga karena tanah makam ada harganya.

Betapa buruknya tata kelola di masa lalu sehingga berdampak pada kondisi sekarang. Yang tidak bisa dikendalikan juga adalah urbanisasi, kebutuhan rumah, kevakuman pengelolaan, buruknya pengamanan pemakaman.

Coba tata kelolanya benar seperti pengurusan ruang terbuka hijau. Jadi semua orang tidak bisa lewat pemakaman. Kalau perlu gubernur, juga harus merekrut petugas khusus pemakaman. Petugas yang informal yang ada di lingkungan provinsi Jakarta, itu dimasukkan saja, dikasih seragam, dikasih gaji.

Atau mereka yang tinggal dan bergantung hidup di area pemakaman juga diberdayakan. Jadi setelah bekerja dengan Pemprov, mereka bisa tidak tinggal di area pemakaman lagi.

Baca juga artikel terkait PEMAKAMAN atau tulisan lainnya dari Rohman Wibowo

tirto.id - Decode
Reporter: Rohman Wibowo
Penulis: Rohman Wibowo
Editor: Farida Susanty