Menuju konten utama

Krisis Lahan Jakarta: Ada Warga yang Rogoh Rp84 Juta per Makam

Di pemakaman swasta, meski harga yang dipatok mencapai Rp84 juta, warga Jakarta rupanya saling berebut unit pemakaman.

Krisis Lahan Jakarta: Ada Warga yang Rogoh Rp84 Juta per Makam
Header Decode Ketika Kuburan Jadi Barang Mewah. tirto.id/Fuad

tirto.id - Tangan Balgis Yusuf cekatan membersihkan sisa daun dan ranting pohon yang berserakan di atas makam suami dan anaknya. Setelah makam bersih, tangan perempuan berusia 59 tahun ini menjulur ke atas berdoa untuk keselamatan anggota keluarganya yang lebih dulu meninggal. Hampir sekali sebulan, Balgis selalu berziarah di rumah peristirahatan terakhir dua orang tercintanya di TPU Tanjung Barat, Jakarta Selatan itu.

Mulanya, anak Balgis lebih dulu meninggal tahun 2012. Anak Balgis wafat dalam usia muda, sekitar 22 tahun, akibat sakit ginjal. Lalu, enam tahun berselang, suaminya menghembuskan napas terakhir gegara serangan jantung selepas pulang bekerja.

Sewaktu suaminya meninggal pada 2018 lalu, kerabatnya mengurus pemakaman. Dia menyadari ada isu krisis lahan pemakaman di Jakarta. Dan di saat itu pula, sistem pemakaman tumpang sudah lumrah berlangsung di seluruh TPU di Jakarta. “Dari awal, keluarga sudah berpikir pasti ditumpang dimakamkannya,” kata Balgis kepada Tirto, Rabu (5/11/2025).

Decode Ketika Kuburan Jadi Barang Mewah

Balgis yusuf (59) sedang berziarah ke makam tumpang anak dan suaminya. tirto.id/Rohman Wibowo

Mulai dari sana, dia berpikir kelak dimakamkan secara sistem tumpang. Kalau anak dan suaminya bisa dimakamkan, dia ingin juga dimakamkan dengan orang tuanya yang disemayamkan di TPU Pasar Minggu. Baginya, makam tumpang dengan orang tersayang bakal menjadi sesuatu yang berbeda, kendati akan sulit dijelaskan.

“Kalau saya enggak panjang umur, saya mau tumpang di makam orang tua. Ingin dekat dengan orang tua, biar ada teman. Serasa berdua di dalam tanah kalau ditumpuk, ya walaupun saya tahu itu cuma perasaan aja,” ujar Balgis.

Selain karena faktor psikologis semacam itu, Balgis tidak ingin merepotkan anaknya ketika dirinya menjemput ajal. Dengan sistem makam tumpang, proses pemakaman dirasanya tidak akan menyulitkan.

Seturut itu, dia tidak ingin jauh dimakamkan dari tempat tinggal keluarganya. Jarak dari TPU Tanjung Barat ke kediamannya hanya berjarak 10 menit. “Kalau mau ziarah jadi dekat. Kalau memaksakan dimakamkan di makam baru, itu kan jauh,” tutur Balgis yang menyadari TPU Tanjung Barat sudah tidak ada petak makam baru.

Ihwal pemakaman tumpang, pihak TPU Tanjung Barat secara terang-terangan memasang spanduk berwarna kuning di depan lokasi kuburan bertuliskan “Hanya Melayani Makam Tumpang”. Sudah belasan tahun belakangan, TPU tersebut tidak melayani pemakaman baru. Meski memiliki luar tiga hektare dengan cakupan 12 ribu petak makam, TPU sampai kini hanya bisa menyediakan makam tumpang.

Decode Ketika Kuburan Jadi Barang Mewah

Spanduk tidak terima makam baru di TPU Tanjung Barat. tirto.id/Rohman Wibowo

Kendati hati kecil Balgis ingin dimakamkan bertumpuk dengan orang tuanya, seperti anak dan suaminya dalam satu liang lahad, dia sebenarnya ingin juga dikubur secara layak. Sejatinya, dia ingin dimakamkan sendirian di satu liang lahad.

“Iya ingin juga (makam tersendiri) kalau lahannya memungkinkan. Dari dulu mana ada makam ditumpuk kan. Tapi saya setua ini dan kondisi seperti ini (krisis lahan), ya saya mau enggak mau ditumpang saja dikuburnya,” kata Balgis.

Lebih Sulit Lagi Kalau Bukan Warga Asli DKI

Pelik mencari makam dirasakan betul oleh Musa Hajibandi. Ketua RT di Kelurahan Pondok Ranggon, Jakarta Timur ini dibuat pusing ketika ada kabar duka dari warganya yang meninggal dunia. Sebab, bukan apa-apa, TPU Pondok Ranggon yang hanya berjarak 10 menit dari kawasannya sudah tidak lagi menerima makam baru.

Kondisi ini menjadi makin pelik, ketika warga Pondok Ranggon yang meninggal tidak memiliki keluarga yang dimakamkan di TPU tersebut. Sehingga, pemakaman secara tumpang pun tidak bisa dilakukan.

Hal ini terjadi pada Maret 2023 lalu. Seorang warganya, asal rantau Tasikmalaya, meninggal dunia. Meski sudah memiliki KTP DKI Jakarta dan layak dimakamkan di Jakarta, Musa cukup kesulitan mencari tanah makam.

Opsi untuk memakamkan warganya tersebut di TPU Pondok Ranggon sama sekali tidak dipikirkan. Ini karena dia mengetahui tidak ada rekam jejak keluarga bersangkutan dimakamkan di sana. Ia sempat terpikir untuk memakamkan yang bersangkutan di TPU Cilangkap. Tapi, di sana pun warganya ditolak karena pemakaman sudah penuh.

“Terus saya lihat ada area makam kosong di belakang TPU, tapi itu punya lahan pribadi. Saya tanya, harganya Rp5 juta,” ujar Musa kepada Tirto, Rabu (5/11/2025), sembari menjelaskan opsi pemakaman di lahan pribadi itu tidak diambil.

Decode Ketika Kuburan Jadi Barang Mewah

Tampak dalam TPU Pondok Ranggon unit kristen. tirto.id/Rohman Wibowo

Musa tak patah arang, dia bergegas ke TPU Munjul yang sekira berjarak dua kilometer dari TPU Cilangkap. Di sana, dia akhirnya mendapat kemudahan. Ada sepetak makam baru yang bisa dipakai warganya yang wafat itu. Tapi, kondisinya disebut tidak ideal.

“Saya berpikir orang meninggal itu ada rezekinya, dikasih kemudahan. Akhirnya bisa dimakamkan setengah 11 siang. Tapi tanah petak makamnya pas-pasan, sewaktu memasukkan mayat ke jenazah, orang yang bantu turunkan jenazah sangat mepet dengan tanah,” kata Musa, yang juga bilang makam itu berjarak mepet dengan jalan makam.

Ada pula cerita soal warga Musa asal rantau Gorontalo. Warga RT 1 tersebut ditemui meninggal dunia di dalam rumahnya. Dia hidup sendiri. Suaminya sudah lama tidak pulang. Sang warga tersebut didapati meninggal oleh tetangganya setelah sekian lama tidak keluar rumah.

Musa bilang latar belakang ekonomi keluarganya pas-pasan. Sehingga, cukup sulit jika diterbangkan ke kampung halamannya. Lagi-lagi, TPU Pondok Ranggon tidak menjadi opsi. Sejurus itu beberapa TPU di sekitar Pondok Ranggon pun tidak bisa dilakukan karena tidak bisa tumpang dan tidak ada petak makam anyar.

Hingga akhirnya, opsi satu-satunya adalah memakamkan Musa di tanah wakaf di Pondok Ranggon, yang gratis. Tanah wakaf pemakaman ini sudah turun-temurun menjadi tempat peristirahatan warga Pondok Ranggon yang meninggal dunia. Musa terpaksa mengupayakan menguburkan warganya tersebut di kawasan makam tersebut.

“Saya makamkan di tanah wakaf makam di Ganceng (nama daerah pemakaman). Itu warga saya, sama sekali enggak punya duit, untuk pengurusan jenazah seperti kain kafan saja tidak punya,” ucap dia.

Kata Musa, warga bukan asli lahir Pondok Ranggon akan sulit dimakamkan di tanah wakaf Ganceng. Ke depan, jika tingkat kematian terus bertambah, dan lahan kian terbatas, maka Ganceng menjadi satu-satunya opsi tersisa bagi warga.

“Andai tidak ada makam tanah wakaf di Ganceng, saya juga bingung pemakaman warga saya. Ini urusan bersama dan pemerintah harus bertindak. Orang makin banyak yang lahir kan makin banyak yang meninggal juga kan,” ujarnya.

“Tapi kalau di Ganceng penuh dengan orang rantau, lalu gimana warga asli sini. Saya juga bingung mikirnya ke depan. Saya juga maunya orang meninggal itu cepat-cepat disolatkan, cepat-cepat dimakamkan,” imbuhnya.

Ketika membayangkan masa depan rumah istirahat terakhirnya, Musa juga berharap bisa dimakamkan di tanah wakaf Ganceng. Dia tidak ingin terjebak dalam krisis lahan pemakaman di Jakarta. Baginya pula, sudah tidak ada harapan dikubur di TPU Pondok Ranggon.

“Buyut saya dimakamkan di sana semua. Nah, di Ganceng juga sebenarnya semi-tumpang. Karena lahannya juga enggak luas banget. Jadi, makam yang sudah puluhan tahun yang tidak ada sisa tulang belulang mayat sebelumnya, itu dijadikan makam baru. Makanya, enggak ada yang dikeramik sekelilingnya makamnya,” ujar Musa.

Solusi Pemakaman Swasta

Ketika ada kesulitan mencari tanah makam di TPU di Jakarta, banyak warga Jakarta yang lebih memilih dimakamkan di luar Jakarta, termasuk menggunakan jasa pemakaman pihak swasta. Misalnya, ratusan warga Jakarta yang sudah membeli tanah makam yang disediakan Insira Memorial Park. Jasa pemakaman swasta ini berlokasi di kawasan Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, Banten.

Di situsnya, Insira Memorial Park digambarkan sebagai “kawasan pemakaman Muslim bernuansa Maroko, dengan fasilitas eksklusif serta layanan personal penuh empati yang menghadirkan ketenangan hati.”

Meski berada yang tidak terlampau dekat dari Jakarta, warga Jakarta berbondong-bondong ingin dimakamkan di sana.

Sales manager Insira Memorial Park, Riki Hendarmawan, mengatakan, sejak Oktober, atau saat pembukaan unit makam, sedikitnya 300 warga Jakarta telah membelinya. Bahkan, meski harga yang dipatok mencapai Rp84 juta, warga Jakarta rupanya saling berebut unit pemakaman.

“Mereka yang memilih dimakamkan di tempat kami, mereka yang sudah sadar akan rumah istirahat terakhir. Mereka yang di dunia sudah mapan memiliki rumah mobil sampai tanah. Dan sekarang memikirkan rumah terakhir. Mereka tidak mau di akhir hidup direpotkan karena krisis lahan makam di Jakarta. Mereka sudah cukup paham isu itu,” kata Riki kepada Tirto, Rabu (5/11/2025).

Decode Ketika Kuburan Jadi Barang Mewah

Jajaran karyawan insira memorial park. tirto.id/Rohman Wibowo

“Saat kami open sesi untuk titik pemakaman. Ada yang bilang ‘saya mau blok ini, kalau saya enggak dapat blok ini, saya tidak mau beli’. Saat booking session untuk unit itu chaos. Kami sampai menyampaikan permohonan maaf kepada calon konsumen yang tidak kebagian,” Riki melanjutkan.

Kata Riki, warga Jakarta yang membeli unit makam ini seperti membeli rumah di dunia. Ada yang tidak ingin tidak dekat dengan jalan karena khawatir tanah bergetar, ada pula yang tidak ingin makamnya berhadapan dengan toilet karena takut aroma tidak sedap.

“Mereka (konsumen) sudah sadar manusia tidak abadi dan lemah. Makanya, mempersiapkan dari sekarang bukan hal tabu. Rumah terakhir kita seharusnya lebih baik dari rumah yang kita tempati sekarang,” kata Riki.

Bagi Balgis, dimakamkan di pemakaman swasta menjadi impian belaka. Tapi, dia pernah merasakan betul indahnya suasana pemakaman di San Diego Hills, Karawang. Saat masih bekerja, dia pernah diajak ikut berziarah oleh atasannya. Dia menyaksikan bagaimana keasrian dan kenyamanan pemakaman yang bernilai ratusan juta itu.

“Rasanya seperti berada di surga,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait PEMAKAMAN atau tulisan lainnya dari Rohman Wibowo

tirto.id - Decode
Reporter: Rohman Wibowo
Penulis: Rohman Wibowo
Editor: Farida Susanty