tirto.id - Sektor pariwisata dan budaya di Kota Yogyakarta saat ini masih tersentral di kawasan tengah, yaitu Tugu Jogja-Malioboro-Keraton (Gumaton). Sementara kawasan Jogja bagian utara tumbuh menjadi salah satu pusat ekonomi melalui kehadiran warung-warung kopi. Bagaimana dengan Jogja bagian selatan?
Jika dibandingkan, maka terjadi kesenjangan yang signifikan antara kawasan Jogja utara yang memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi dengan kawasan Jogja bagian selatan yang pertumbuhan ekonominya lebih rendah. Padahal, kawasan selatan juga punya potensi budaya dan sejarah yang besar dengan keberadaan Kotagede. Selain itu, wilayah ini didukung oleh fasilitas transportasi dengan adanya Terminal Giwangan.
Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta pun berupaya melakukan langkah strategi untuk menunjang kawasan selatan menjadi ruang budaya lokal, yang mampu meningkatkan perekonomian warganya. Salah satu strateginya adalah penguatan peran masyarakat lokal dalam pengelolaan kawasan budaya melalui Taman Budaya Embung Giwangan (TBEG).
Kepala Bappeda Kota Yogyakarta, Agus Tri Haryono, membeberkan, TBEG memiliki berbagai infrastruktur dan sarana prasarana seperti amphitheater, galeri budaya, embung, jogging track, gedung souvenir. Bahkan, Graha Budaya ditarget rampung pembangunannya pada akhir tahun ini.
“Namun pemanfaatan serta dampak TBEG yang divisikan sebagai generator kawasan Jogja selatan ini masih jauh dari kata optimal,” kata Agus saat kegiatan FGD TBEG Upaya dan Tantangan Membangkitkan Jogja Selatan, Rabu (25/9/2024) di Restoran Sekar Kedhaton Jogja.
Agus bilang, Kota Jogja telah melalui kemajuan dari perkembangan pariwisata kebudayaan. Tercatat Rp5,94 triliun dari kegiatan wisata berupa akomodasi dan makan minum, dan bahkan angkanya mencapai sekitar Rp13,57 triliun pada 2023.
Jumlah tersebut berdasarkan kunjungan tujuh juta wisatawan yang datang ke Kota Jogja untuk menikmati kekayaan budaya yang ada serta lama tinggal mereka selama di Kota Jogja.
“Untuk itu, mari berbagi peran dan saling mendukung serta menguatkan untuk mewujudkan pembangkit pembangunan kawasan Jogja selatan. Tentunya hal ini memerlukan komitmen bersama dari seluruh pihak dan forum seperti ini perlu dilakukan secara berkesinambungan,” kata Agus.
Agus turut membeberkan potensi wisata di Jogja selatan selain TBEG. Antara lain meliputi, XT Square, Situs Warungboto, Kebun Binatang Gembira Loka, Balai Benih Ikan, Kebun Plasma Nutfah Pisang. “Bahkan Unit Pengelolaan Sampah juga dapat menjadi tempat tujuan wisata edukasi,” kata dia.
Di sisi lain, Agus menyatakan, peran penting seniman, budayawan, serta komunitas dalam memperkuat daya tarik kawasan. Sebab pembangunan diharapkan berorientasi pada city branding, yaitu Jogjakarta City of Festivals atau Jogja sebagai Kota Festival.
“Akademisi juga diperlukan untuk menjaga pembangunan kawasan berjalan secara inklusif dan berkelanjutan sehingga tidak hanya ekonomi yang bertumbuh, tetapi juga kesejahteraan masyarakat dapat meningkat, pengangguran menurun, serta kemiskinan dapat ditekan,” kata dia.
Agus juga mengatakan perlunya dukungan dari masyarakat lokal di Kelurahan Giwangan. Masyarakat lokal diharapkannya dapat menampilkan potensi seni budaya, tradisi serta ekonomi kreatif berbasis UMKM lokal.
“Upaya sinergi kolaborasi antara pihak ini tentu akan memiliki berbagai kendala dan tantangan. Tetapi kesadaran dari semua stakeholder atas permasalahan ketimpangan yang terjadi di kawasan Jogja selatan, saya meyakini akan menyatukan komitmen kita bersama dalam menapaki setiap proses ke depan,” kata dia.
Sekretaris Daerah Kota Jogjakarta, Aman Yuriadijaya, menyatakan dukungannya terhadap pengembangan kawasan Jogja selatan. Sebab, kata dia, upaya ini dapat menjadi alternatif wisata di Kota Gudeg selain di Gumaton dan Jogja utara.
“Utara ini merupakan kawasan metropolis, sedangkan kawasan selatan menjadi lokalis budaya. Kita harus membangun pemahaman kesadaran ini. Sehingga potensi kawasan yang disepakati menjadi kunci untuk mencoba mengeksplorasi potensi, merangkai sumber daya secara nyata. Selain itu, prioritas kita saat ini mengembangkan kawasan selatan yang perlu dipikirkan dengan sungguh-sungguh,” kata Aman.
Aman berharap, dalam pengembangan kawasan selatan, stakeholder terkait mampu mengoptimalkan penggunaan teknologi digital untuk mempromosikan dan mendokumentasikan budaya lokal. “Sehingga dengan memaksimalkan promosi budaya lokal di kawasan selatan ini dapat menarik minat wisatawan, baik domestik maupun internasional untuk datang ke sini,” kata dia.
Bidik Semangat Pemimpin Baru
Selaras dengan hal tersebut, Paksi Raras Alit, praktisi seni yang merupakan narasumber dalam FGD TBEG tersebut, mendukung akselerasi potensi di kawasan Jogja selatan. Dia mengharapkan pengembangan Jogja selatan sebagai sebuah alternatif baru melalui TBEG.
“Jadi bukan menduplikasi apa yang sudah ada. Tapi menciptakan ruang alternatif baru, pumpung tempatnya baru,” kata Paksi.
Selain bangunan TBEG yang masih baru, kata Paksi, Jogja juga akan menyambut pemimpin baru. “Semangat baru itu perlu kita tunggangi hari ini. Keuntungannya adalah bangunan baru ditambah pemimpinnya baru pasti ada semangat baru,” kata dia.
Pria yang juga merupakan anggota dewan budaya Kota Jogja ini mengatakan, semangat baru yang ditunggangi dengan benar merupakan potensi luar biasa jika dimanfaatkan secara optimal.
“Saya sebagai pelaku seni, budaya, dan kreatif bisa jadi baik kalau kita tunggangi dengan benar. Opo yang baru pasti menarik, semangatnya masih menggebu-gebu kenapa tidak. Bisa kita set up baru anggarannya, perencanaannya baru, perlu kita manfaatkan,” kata dia.
Namun demikian, Paksi mengingatkan pentingnya kehati-hatian dalam pengembangan Jogja selatan lewat TBEG. Sebab, semangat bangunan ini harus terjaga sebagai taman budaya.
“Kalau itu dikurasi dan dikawal dengan baik bisa tumbuh dua-duanya, ekonomi tumbuh dan budayanya tumbuh. Jadi fungsi kurator di situ,” kata Paksi.
Ia menambahkan, “Dan kurator harus dari yang punya kompetensi dengan konsekuensi pemerintah harus menambah slot anggaran untuk menggaji kurator. Tapi kenapa tidak? Yo wong ki bidang e dewe dewe to. Nek wes kerjo dadi pegawai negeri ojo dadi curator.”
Penulis: Siti Fatimah
Editor: Abdul Aziz