tirto.id - Di tengah lalu lalang wisatawan Malioboro, pada Minggu malam (14/07/2024), ratusan PKL mendaras bacaan-bacaan doa. Mereka duduk bersila dikelilingi pendar lilin sebagai simbol belasungkawa dan keprihatinan. Aksi tersebut merupakan rangkaian protes para PKL Malioboro meresnpons ketidakjelasan informasi terkait rencana kelanjutan relokasi.
Doa bersama ini juga diiringi orasi beberapa perwakilan PKL. Mereka menyampaikan kembali keresahannya terkait kebijakan Pemkot Yogyakarta yang dianggap tidak partisipatif. PKL sendiri meminta kepastian mekanisme relokasi yang masih simpang siur. Selama ini, para PKL mengaku tak mendapat transparansi dan informasi resmi dari pemerintah. Proses pengambilan kebijakan pun tidak melibatkan PKL.
Beragam aksi sebetulnya sudah dilakukan sejak 25 Juli 2023 dan 25 Oktober 2023 hingga sekarang. Audiensi terakhir digelar di Kantor DPRD DIY pada 5 Juli 2024, di mana disepakati penundaan relokasi dan pelibatan masyarakat dalam perencanaan. Namun, ketiadaan respons dari Pemda DIY dan DPRD DIY memicu aksi kembali ke trotoar pada Jumat dan Sabtu malam lalu.
Dalam aksi malam itu, PKL menyayangkan imbas rencana pembangunan Jogja Planning Gallery di kawasan Teras Malioboro. Para PKL di sana akan dipindahakan secara serentak setelah proses pembangunan tempat relokasi rampung hingga akhir 2024. Rencana pembangunan ini merupakan bagian dari penataan kota, khususnya Malioboro sebagai kawasan cagar budaya.
Setelah dicabutnya Peraturan Walikota Nomor 37 Tahun 2010 yang memperbolehkan aktivitas jual beli di sepanjang trotoar Malioboro, ribuan PKL dipaksa angkat kaki dan menempati lapak yang baru. Pemindahan PKL ini dilandasi kemudian dengan munculnya Peraturan Walikota Nomor 13 Tahun 2022.
Ekwanto, selaku Kepala UPT Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya Dinas Kebudayaan Yogyakarta, mengatakan, tuntutan para PKL untuk tetap berjualan di trotoar tidak bisa diizinkan karena melanggar Perwal tersebut.
Malioboro sendiri lebih dari sekadar jalan ikonik, tetapi juga nadi kehidupan bagi warga Yogyakarta. Keberadaannya sebagai pusat kegiatan ekonomi dan budaya selama bertahun-tahun. Semarak wisatawan berpadu dengan keringat para PKL yang menjajakan dagangannya.
Namun keberadaan PKL di Malioboro menimbulkan dilema dalam upaya pelestarian Sumbu Filosofis. Di satu sisi, PKL merupakan bagian tak terpisahkan dari denyut nadi Malioboro dan menjadi sumber pendapatan bagi banyak orang. Di sisi lain, keberadaan mereka dianggap mengganggu estetika dan kelancaran lalu lintas di kawasan yang ingin ditata sebagai warisan budaya UNESCO.
“Memang ini agak berbeda. Dulu sebelum ada penetapan dari UNESCO, Malioboro, kan, milik Jogja. Sejak September 2023, setelah penetapan dari UNESCO, tidak hanya milik kota dan provinsi, tapi Malioboro sudah menjadi milik internasional,” kata Ekwanto saat diwawancara kontributor Tirto via telepon pada 16 Juli 2024.
Sumbu Filosofis menjadi konsep tata ruang Kota Yogyakarta yang menghubungkan sejumlah bangunan bersejarah dan situs budaya penting. Bentangan budaya yang menghubungkan Keraton Yogyakarta dengan Pantai Parangtritis itu dinobatkan sebagai Warisan Budaya Takbenda UNESCO. Gelar prestisius inilah yang menjadi alasan Pemda DIY untuk menata ulang Malioboro sebagai gerbang utama Sumbu Filosofis.
Penetapan ini menjadi pengakuan internasional atas kekayaan budaya Yogyakarta. Namun ambisi ini tak sejalan dengan penghidupan PKL, yang selama ini menjadi sentra ekonomi dan identitas Malioboro. Mereka terancam digusur demi terciptanya Malioboro yang ‘tertata, bersih, dan asri’.
Pada 2021, pemerintah daerah mulai melakukan relokasi PKL ke Teras Malioboro 1 dan 2. Upaya relokasi ini menuai pro dan kontra. Pihak pemerintah terkait berdalih bahwa relokasi dilakukan untuk menciptakan kawasan Malioboro yang sesuai dengan standar warisan budaya UNESCO.
Faktanya, pasca relokasi, para PKL kehilangan sumber mata pencahariannya. Meski Pemerintah DIY telah menyediakan tempat relokasi, PKL mengeluhkan tempat relokasi di Teras Malioboro sepi dan tak layak. Pasalnya mereka merasa pasca relokasi ke Teras Malioboro 2, kondisi mereka kian terpuruk, berbanding terbalik dengan kondisi saat di selasar.
Hari ini, persoalan PKL Malioboro kembali menjadi sorotan pasca ricuh pada Sabtu malam (13/7/2024) setelah para PKL berjualan di trotoar. Mereka menggelar berbagai bentuk aksi protes setelah terdapat kabar relokasi lanjutan, di mana para PKL di Teras Malioboro 2 akan dipindahkan serentak ke tempat baru. Rencana ini menuai respons ramai. PKL yang merasa keberatan karena tak ada transparansi dan pelibatan PKL dalam proses kebijakan relokasi. Dialog dan solusi yang berpihak pada pedagang masih terus mereka upayakan.
Nelangsa PKL di Lapak Sempit
Di balik gemerlapnya Malioboro, tersembunyi kisah pilu PKL yang terancam digusur. Mimpi Pemda DIY untuk membangun Jogja Planning Gallery dan menata ulang Malioboro menjelma menjadi mimpi buruk bagi para PKL yang kehilangan mata pencaharianya.
Pasca relokasi, para PKL mengeluhkan berbagai persoalan terkait pendapatan yang turun drastis. PKL menegaskan komitmen mereka untuk terus berjuang dan mencari solusi yang menyejahterakan.
Usai aksi Sabtu malam lalu, keesokan harinya para PKL tetap membuka lapak di Teras Malioboro. Mereka tak punya pilihan selain tetap bertahan di lapak yang sepi. Penuh sesaknya kawasan budaya itu tak menjadi pengaruh apa pun bagi penghidupan para pedagang.
Raja, salah satu PKL yang telah berjualan selama 25 tahun, menjadi salah satu pedagang yang mengeluhkan ketimpangan itu. Saat ditemui Tirto pada Senin (15/07/2024), lapak Raja dan para pedagang lain tampak lengang. Mereka hanya berbincang satu sama lain, tak ada suasana jual beli yang terjadi di sepanjang lorong. Satu dua pedagang nampak duduk termangu dan terantuk. Bahkan sejak pagi, Raja sendiri mengatakan belum ada satu pun dagangannya yang terbeli. Pendapatannya turun drastis jika dibandingkan dengan dulu ketika melapak di selasar.
“Anjlok sekali. Biasanya dapat Rp200 ribu, ini sekarang ibaratnya hanya Rp20 ribu,” kata dia mengeluh.
Para pedagang mengaku selalu mencoba beradaptasi di tengah keadaan yang menyulitkan mereka. Pria yang harus menghidupi tiga anak itu menjual baju dan gamis batik. Dari Raja, diketahui bahwa banyak PKL yang terpaksa gonta-ganti barang dagangan dengan harapan bisa laku.
Selain pendapatan anjlok, ia mengeluh kondisi lapak yang tidak strategis. Fasilitas Teras Malioboro 2 yang dinilai tak layak juga menjadi alasan mereka ingin kembali berdagang di selasar. Sejak awal ia keberatan jika dipindah-pindah dengan alasan strategis dan ekonomis. Menurutnya, hampir semua pedangan ingin kembali berjualan ke pedestrian Malioboro.
“Kan harapannya lebih besar di situ daripada di sini. Anaknya sekolah, bisa sekolah. Kalau di sini ibaratnya cuma nambahin utang,” kata Raja.
Di sepanjang lorong, hanya ada satu atau dua aktivitas jual beli. Saat hari biasa, lorong Teras Malioboro 2 nampak sepi dan hanya ramai ketika liburan. Pria itu mengandalkan pendapatan dari berjualan untuk menghidupi keluarga. Berdagang menjadi satu-satunya mata pencahariannya untuk bertahan. Kebanyakan pedagang berjualan puluhan tahun dan diteruskan ke kerabat atau keluarga secara turun temurun.
Salah satu PKL muda yang juga Tirto temui adalah Amri Fajar. Amri meneruskan usaha bapaknya yang sudah berjualan dari selasar sejak tahun 90-an. Amri meratapi hal serupa dengan PKL lain.
Menurut Amri, meski disediakan panggung hiburan untuk gelaran seni di depan Teras Malioboro, keramaian itu tak banyak menarik banyak pembeli masuk. Ia pun mengeluhkan kondisi di dalam teras yang sangat panas ketika terik. Selain itu, fasilitas lapak di Teras Malioboro 2 tidak layak. Saat petang, acapkali semua penerangan mati. Petak lapak seluas 120x120 cm itu ditata sedemikian rupa oleh pedagang untuk menarik pengunjung. Amri mengungkapkan, para pedagang membeli meja dan memasang lampu di sepanjang lorong secara mandiri karena penerangan yang redup.
“Kalau habis magrib biasanya mati lampu. Satu teras mati semua, enggak tahu sebabnya apa. Makanya ini kita pasang lampu emergency dan ada genset di depan. Ini semua dari pedagang sendiri, bukan dari pemerintah. Dari pemerintah lampunya hanya satu kecil di tengah untuk empat pedagang,” terang Amri saat ditemui Tirto di lapaknya pada Senin (15/7/2024).
Kondisi itulah yang menurut Amri, menggerakkan para PKL untuk terus menuntut pada pemerintah terkait. Bagi para PKL, mendapat satu pembeli dalam sehari itu sudah melegakan. Mereka menyebut satu pembeli pertama itu sebagai ‘pelaris’. Terkadang, ada pedagang yang menjual dagangannya seharga modal karena sudah tak laku selama sepekan.
Menanggapi keluhan PKL atas fasilitas di Teras Malioboro 2 yang dinilai tak layak, Ekwanto, Kepala UPT Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya Dinas Kebudayaan, menyampaikan bahwa semua pedagang sudah diberi fasilitas dan tidak dipungut biaya apa pun. Listrik yang sering padam, kata Ekwanto, akibat dari membengkaknya tagihan listrik. Dulu ketika awal relokasi, tagihan listrik adalah Rp9 juta per bulan, tetapi kini naik menjadi Rp17 juta.
“Fasilitas untuk para pedagang menurut kami itu sudah luar biasa. Terkait listrik, itu sudah over kuota, melampaui daya yang disediakan. Sehingga mbok jangan bawa alat masak dan sebagainya, menambah beban kami itu,” kata dia.
Isu yang didengar di kalangan pedagang, lapak di tempat relokasi yang baru nantinya berukuran 60x60 cm. Separuh dari lapak yang sekarang. Terkait mekanisme dan rincian desain bangunan relokasi tersebut, Amri merasa mestinya ada transparansi ada partisipasi dari pedagang. Namun, dalam prosesnya PKL merasa tidak dilibatkan dan hanya mendengar informasi pemindahan secara sepihak.
“Kita bukannya menolak, kalaupun relokasi ya relokasi yang ada jaminan kesejahteraan, transparan lapaknya berapa, akses jalan itu gimana, kita dikasih di lantai mana. Itu selama ini kami tidak diajak komunikasi,” sambung Amri.
Sementara terkait transparansi yang dituntut PKL, pihak Pemkot melalui Ekwanto mengatakan, telah melakukan sosialisasi sejak awal ketika relokasi bahwa Teras Malioboro merupakan shelter sementara sebelum dipindah lagi ke lapak yang permanen.
“Seperti desain lapaknya itu sudah disampaikan semua, tetapi melalui perwakilan tokoh-tokohnya, tidak semua,” kata dia.
Menurut Ekwanto, rencananya sebagian PKL akan dipindah ke tempat yang akan dibangun di Ketandan dan Beskalan. Rencana ini ditargetkan rampung pada awal 2025. Relokasi PKL Malioboro merupakan isu kompleks yang berkaitan dengan pelestarian budaya, ekonomi lokal, dan hak-hak masyarakat. Bagi PKL, ambisi warisan budaya ini bagaikan mimpi buruk.
Penulis: Dina T Wijaya
Editor: Abdul Aziz