tirto.id - Malioboro kembali menjadi sorotan. Sabtu malam (13/7/2024) terjadi ricuh saat digelar aksi demonstrasi Pedagang Kaki Lima (PKL) yang menuntut hak mereka untuk kembali ke trotoar. Paguyuban pedagang yang tergabung dalam Paguyuban Lindungan Pedagang Kaki Lima Malioboro (PLPKM) diketahui sejak Jumat (12/7/2024) berjualan di selasar setelah ditertibkan oleh Satpol PP beberapa hari sebelumnya.
Upaya PKL Malioboro tersebut dihadang oleh petugas, dan berujung aksi saling dorong. Kericuhan malam itu juga menegang ketika terjadi pemukulan beberapa PKL oleh aparat keamanan. Demonstrasi berlangsung beberapa jam sebelum akhirnya dibubarkan oleh pihak kepolisian.
Ketegangan ini merupakan buntut dari kebijakan relokasi PKL ke Teras Malioboro 2 yang digagas Pemerintah Kota Yogyakarta. Sejak awal PKL menolak relokasi tersebut dengan alasan strategis dan ekonomis. Teras Malioboro 2 dianggap kurang ramai wisatawan dan merugikan pendapatan mereka.
Ketidakjelasan informasi dan minimnya sosialisasi terkait rencana kelanjutan relokasi menjadi alasan para pedagang melakukan protes. PKL mempertanyakan transparansi Pemkot Yogyakarta dalam proses pengambilan keputusan.
Arif Usman, perwakilan PKL, menegaskan bahwa kericuhan ini merupakan puncak kekecewaan mereka atas aspirasi yang terabaikan. Ia kembali menekankan tuntutan utama: dialog terbuka dan transparansi terkait relokasi.
Menurut Arif Usman kericuhan yang terjadi malam itu merupakan puncak sekaligus cara mereka menuntut aspirasi yang belum dipenuhi. Ia mengatakan bahwa dialog yang terbuka dan transparan masih menjadi solusi yang terus ditagih.
“Semalam sebetulnya tujuan kami di selasar itu berdagang secara politis. Dalam artian supaya kita diperhatikan, kami kembali ke selasar bukan menentang pemerintah. Ini adalah respons kami dari tanggal 5 Juli kemarin,” katanya pada Tirto, Minggu (14/7/2024).
Rakha dari LBH Yogyakarta menambahkan bahwa PKL telah mengikuti audiensi dengan DPRD DIY pada 5 Juli 2024, di mana disepakati penundaan relokasi dan pelibatan masyarakat dalam perencanaan.
Namun, ketiadaan respons dari Pemerintah Provinsi DIY dan DPRD DIY memicu aksi kembali ke trotoar pada Jumat dan Sabtu malam kemarin.
Penutupan gerbang Teras Malioboro 2 dan minimnya penerangan memperparah situasi. PKL yang terkepung berusaha keluar, memicu gesekan dan dorong-dorongan. Negosiasi dengan UPT Malioboro menemui jalan buntu, tanpa solusi konkret.
Aksi mereka merupakan aksi yang bersambung sejak 25 Juli 2023 dan 25 Oktober 2023 hingga hari ini. Usai relokasi PKL mengeluhkan berbagai persoalan terkait pendapatan yang menurun drastis.
Arif mengatakan, “Dulu ketika di selasar, teman-teman bisa menabung dan mendapatkan aset, bisa menyekolahkan anak dan bisa untuk hidup sehari-hari. Tapi sekarang ini periuk nasinya jomplang. Saya sendiri jualannya remuk.”
PKL menegaskan komitmen mereka untuk terus berjuang dan mencari solusi yang menyejahterakan. Arif Usman kembali menegaskan bahwa tuntutan mereka jelas, yaitu relokasi partisipatif dan mensejahterakan. Ketidakpedulian pemerintah dan DPRD DIY akan memicu aksi yang lebih masif.
“Aksi kita tidak berakhir di sini, sampai pemangku kebijakan bisa diajak bicara dan kompromi. Karena ini juga demi kesejahteraan masyarakatnya sendiri. Tuntutan kami simpel sebenarnya, tapi kenapa itu dibuat rumit?” tegasnya.
Kericuhan ini menjadi pengingat bahwa dialog dan transparansi adalah kunci dalam menyelesaikan konflik. PKL Malioboro menanti solusi yang adil dan menyejahterakan, demi kelanjutan usaha dan kesejahteraan masyarakat Yogyakarta.
Penulis: Dina T Wijaya
Editor: Bayu Septianto